Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta untuk membantu usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk melantai di bursa. Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah mengungkapkan hal ini untuk membuka akses pembiayaan sektor UMKM di bursa saham agar pembiayaan tidak bertumpu pada APBN yang jumlahnya terbatas.
"Otoritas dan bursa tinggal memastikan kelayakan dan kesehatan usaha, sekaligus prospek bisnisnya," kata Said dalam keterangan resmi, Sabtu (1/8/2020).
Dia mengungkapkan APBN ke depan akan menghadapi tantangan yang makin berat. Apalagi situasi ekonomi yang berkembang sangat dinamis dan penuh dengan ketidakpastian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu dibutuhkan transformasi struktural yang berkelanjutan. Said mengatakan, dalam situasi ini dibutuhkan kebijakan extraordinary yang berdampak pada postur APBN 2021, krena APBN 2021 ini akan jadi faktor kunci untuk pemulihan ekonomi nasional.
Said menyebut intervensi ke UMKM sangatlah penting khususnya sektor primer dan ekspor karena UMKM menyumbang hampir 60% produk domestik bruto (PDB).
"Evaluasi terhadap intervensi sektor UMKM pada tahun ini adalah keterlambatan penyaluran likuiditas. Pembatasan sosial dimulai Per Maret 2020, tetapi penyaluran bantuan likuiditas untuk UMKM melalui penempatan dana pemerintah pada perbankan baru mulai Juli 2020," kata dia.
Menurut dia, keterlambatan bantuan yang disalurkan bisa menahan pemulihan ekonomi. Dia menyebut dalam survei Asian Development Bank (ADB) dari 60 juta UMKM sebanyak 48,6% diantaranya sudah menutup usaha.
Selain UMKM pemerintah juga diminta untuk menekan kegagalan aksi korporasi BUMN di situasi sulit seperti saat ini. Lalu kebijakan fiskal ekspansif melalui penambahan utang pemerintah tahun depan harus mampu dikompensasi dengan peningkatan rasio penerimaan negara, baik pajak maupun non pajak.
Oleh karena itu berbagai kemudahan dan insentif perpajakan tahun depan harus mulai selektif. Hanya sektor-sektor strategis dan perlu recovery dari dampak Corona yang mendapat fasilitas perpajakan.
Target penambahan penerimaan pada tahun depan sebagai bukti belanja pemerintah harus punya dampak ekonomi. Salah satu ukuran punya dampak ekonomi adalah bertambahnya basis penerimaan negara.
Dia menjelaskan rasio perpajakan beberapa tahun terakhir cenderung turun sejak tahun 2012 sampai sekarang. Tahun 2012 rasio perpajakan sempat 14% PDB, terus melandai 2014 menjadi 13,1%, 2017 menjadi 10,1% dan tahun 2019 menjadi 9,7%.
Sebaliknya rasio utang malah naik, akibat COVID-19 dinaikkan sampai 36% pada tahun ini. Maka kenaikan rasio utang harus mampu dibayar pemerintah dengan kenaikan rasio penerimaan mulai tahun depan.
Kemudian, bauran kebijakan fiskal dan moneter, terutama skema burden sharing pada tahun depan perlu di kembangkan kerjasamanya antara pemerintah dan BI.
"BI juga harus lebih antisipatif dalam kebijakan currency, dan devisa, sebab pertumbuhan PDB kita yang signifikan seolah tiada arti bila tergerus oleh selisih kurs yang tajam depresiasinya," jelasnya.
Per Desember 2010, kurs transaksi BI masih pada level rata-rata Rp 9.000 per dolar AS kini Juli 2020 pada kisaran Rp 14.600 per dolar AS.
Selanjutnya skema partisipasi pembiayaan, khususnya yang bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) harus mulai melibatkan seluas-luasnya rakyat. Hal ini secara perlahan mengurangi proporsi kepemilikan asing untuk mengurangi resiko ekonomi dan politik. Jepang jelas Said rasio utangnya terhadap PDB mencapai 230% karena menjual surat utang ke rakyatnya sendiri.
Karena itu Kementerian Keuangan juga diminta untuk lebih agresif mendorong pembelian SBN untuk rakyat sendiri. Selain itu pemerintah juga harus menjaga program Bantuan Sosial yang beragam. Program ini untuk menjaga daya beli rumah tangga kelompok bawah.
(kil/ara)