Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan akan menghapus informasi kode broker dan tipe investor (foreign/ domestic) di tampilan real time running trade atau post trade. Penghilangan informasi kode broker tersebut akan diberlakukan pada 22 Juli 2021 dan disusul penutupan informasi tipe investor enam bulan setelahnya, yakni pada Februari 2022.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo menyampaikan, penghilangan informasi kode broker dan tipe investor pada real time running trade dilakukan untuk meningkatkan tata kelola pasar dengan mengurangi herding behaviour. BEI juga merujuk ke bursa-bursa lain di dunia yang secara umum tidak memberikan informasi kode broker dan tipe investor.
Menurutnya bursa efek di hampir semua negara tidak mencantukan kode broker. Hanya dua negara yang menampilkan informasi itu selain Indonesia yakni Filipina dan Korea.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semua negara tidak mencantumkan kode broker kecuali Filipina. Korea menampilkan kode broker hanya untuk top 5 stocks (by value) yang di trade di hari itu," tuturnya kepada awak media, Jumat (26/2/2021).
Laksono menilai dengan adanya informasi kode broker dalam running trade justru membuat penggiringan atau goreng saham. Dengan ditutupnya informasi kode broker yang bisa dilihat di akhir perdagangan akan mencegah praktik tersebut.
"Bukan praktek market conduct yang baik menurut saya ya. Yang ada malah sahamnya digoreng ke atas. Dengan rencana penutupan kode broker, praktek seperti ini akan lebih sulit dilakukan," tegasnya.
Sementara Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Eddy Junarsin mengatakan kebijakan penghapusan kode broker dan tipe investor tersebut sangat cocok dilaksanakan untuk membuat efisiensi terhadap pasar saham Indonesia.
"Jadi kebijakan itu untuk mengurangi perilaku ikut-ikutan (behavior). Termasuk pasar yang masih sedikit dimana jumlah orang yang terdapat di itu paling separuhnya," ujar Eddy.
Informasi kode broker dan tipe investor akan tetap tersedia pada data olahan di akhir hari perdagangan. Eddy menyampaikan, dengan adanya kebijakan tersebut maka ke depan para investor ritel yang melakukan transaksi jual beli saham tanpa analisis dan mengikuti broker besar akan berkurang.
Kebijakan ini, menurutnya juga akan melindungi investor ritel dari kerugian akibat mengikuti broker besar ketika membeli dan terlambat menjual kembali saham tersebut.
"Dengan kebijakan ini, yang ritel tidak sepenuhnya bisa ikut-ikutan lagi karena kita tidak sepenuhnya bisa melihat kodenya, jadi lalu mengandalkan praktik ikut-ikutan. Gorengan saham kan butuh kecepatan tinggi karena broker besar memiliki kecepatan yang tinggi dan investor ritel belum tentu bisa mengikuti ritme tersebut sehingga kehilangan momentum dan membuat kerugian itu sendiri," paparnya.
Maka, lanjutnya, dari investor ritel harus mulai belajar agar tidak mengalami kerugian akibat mengikuti broker tersebut. Salah satu caranya adalah dengan memahami fundamental dan teknikal daripada perusahaan yang ada di pasar modal.
(das/dna)