Jakarta -
Elliana Wibowo muncul ke publik setelah menggugat PT Blue Bird Tbk ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan sebesar Rp 11 triliun. Dia meluruskan pendirian perusahaan taksi tersebut hingga terjadi permasalahan seperti saat ini.
Elliana mengatakan bahwa mendiang ayahnya, Surjo Wibowo yang pertama kali mendirikan Blue Bird pada 1971 dengan nama PT Sewindu Taxi dari PT Semuco. Perusahaan itu mendapat izin sebagai transportasi ber-argometer dari Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin.
"Adanya klaim dari manajemen Blue Bird, saudara Sigit Suharto Djokosoetono dan saudara Yusuf Salman bahwa Blue Bird Group adalah milik satu keluarga saja yaitu Mutiara Djokosoetono adalah sebuah penyesatan informasi dan pembohongan publik," kata Elliana kepada wartawan di Madame Delima Cafe, Jakarta Pusat, Kamis (18/8/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Elliana menjelaskan bahwa Surjo Wibowo adalah seorang pengusaha terkenal dari Ponorogo dan Surabaya. Pada akhir 1940-an mereka pindah ke Jakarta dan meneruskan usaha-usahanya seperti pabrik rokok, pabrik batik, pabrik kembang api, transportasi, importir makanan, serta perhiasan.
"Almarhum Surjo Wibowo bersama istrinya (Janti Wirjanto) yang juga putri pengusaha besar dari Pekalongan, sejak 1950-an telah berkecimpung dalam bidang usaha transportasi yaitu perbengkelan, Suburban, Taxi limousine, dan mendapatkan penunjukan langsung dari Presiden Soekarno untuk melayani transportasi Asian Games tahun 1962 serta memiliki dealership mobil Eropa," jelasnya.
Pada 1968, kata Elliana, keluarga Mutiara Djokosoetono mendatangi kediaman Surjo Wibowo untuk menitipkan dua buah kendaraan mobil bekas karena mengetahui bahwa Surjo Wibowo merupakan pengusaha transportasi besar di Jakarta yang telah memiliki izin taksi resmi beserta pool dan segala fasilitasnya.
"Sebenarnya kala itu bisa saja keluarga Surjo Wibowo menolak permohonan dari Mutiara Djokosoetono dan keluarganya karena kami sudah punya berpuluh-puluh mobil, tapi karena keluarga mereka saat itu datang waktu hujan ke kediaman kami, keluarga Surjo Wibowo pun tidak tega langsung memberikan bantuannya kepada mereka," jelasnya.
Singkat cerita, keluarga Surjo Wibowo dan keluarga Mutiara Djokosoetono sepakat mendirikan perusahaan bernama PT Sewindu Taxi. Saat itu perusahaan tersebut diklaim dengan mudah mendapat pinjaman dana usaha dari beberapa bank terkemuka di Jakarta karena kredibilitas Surjo Wibowo.
Dengan perkembangan perusahaan Taxi yang semakin membaik, pada tahun 1980-an para pendiri PT Sewindu Taxi sepakat melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mengubah namanya menjadi PT Blue Bird Taxi. Dalam perjalanannya perusahaan tersebut telah memiliki berbagai anak usaha antara lain PT Big Bird, PT Ziegler Indonesia, Hotel Holiday Resort (Lombok), hingga RITRA Warehouse.
"Sehingga sebenarnya pendiri utama Blue Bird Taxi yang awalnya bernama PT Sewindu Taxi/PT Semuco adalah Surjo Wibowo dan Mutiara Djokosoetono," tegasnya.
Sekitar awal tahun 1980 sampai dengan awal tahun 2000, beberapa pemegang saham dalam Blue Bird menjual kepemilikan sahamnya, yang diikuti dengan penjualan saham dari beberapa perusahaan lainnya yang dibeli oleh keluarga dr. Purnomo Prawiro dan Alm dr. Chandra Suharto.
Lihat juga video 'Kala Tjahjo Ingin Gaet Bos Blue Bird Jadi PNS Tapi Kandas karena Gaji':
[Gambas:Video 20detik]
Ada keretakan di Blue Bird hingga minta bantuan Jokowi. Cek halaman berikutnya.
Keretakan dalam tubuh Blue Bird mulai terjadi pada 2000-an setelah Surjo Wibowo meninggal dunia pada 10 Mei tahun 2000. Selang beberapa hari, Elliana mengaku bersama ibunya mendapat kekerasan dari keluarga Purnomo Prawiro karena mereka ingin menguasai seluruh saham Blue Bird Group.
"Pada 23 Mei diadakan RUPS. Setelah selesai rapat tersebut, di depan ruang rapat dengan tiba-tiba Purnomo Prawiro beserta istrinya Endang Basuki, anaknya Noni Purnomo, menantunya Indra Marki beserta sejumlah besar pasukan keamanannya yang berbadan besar mengepung, mengeroyok, menganiaya, memaki-maki, memukuli, menendang, mendorong ibu saya dan saya sendiri. Sungguh merupakan perbuatan yang tidak berperikemanusiaan," tuturnya.
Setelah peristiwa pengeroyokan dan penganiayaan tersebut, Elliana Wibowo beserta ibu tidak berani lagi memasuki Gedung Blue Bird dan pool-pool lainnya. Pada 2001, keluarga Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto mendirikan perusahaan taksi dan bus pariwisata yang serupa dengan Blue Bird Taxi dan Big Bird, yang dinamakan PT Blue Bird dan PT Big Bird Pusaka.
Pada Juni 2013, Purnomo Prawiro dan keluarga Chandra Suharto menyelenggarakan RUPS yang memutuskan untuk diberlakukannya sistem Manajemen Operasional Bersama (MOB) antara perusahaan pribadinya (PT Blue Bird, PT Pusaka Djokosoetono dan lain-lain) dengan PT Blue Bird Taxi.
Pada 2014, keluarga Purnomo Prawiro dan keluarga almarhum Chandra Suharto memutuskan untuk go public perusahaan pribadi mereka. Pada 11 Mei 2015 dilakukan RUPS PT Blue Bird Taxi yang agenda rapatnya penambahan modal Rp 50 miliar dari para pemegang sahamnya dengan konsekuensi bahwa bagi pemegang saham yang tidak turut serta maka jumlah sahamnya akan dikurangi sesuai komposisi perhitungan masing-masing.
"Hal itu upaya jahat merampok saham pendiri dengan cara-cara yang melanggar norma moral dan norma hukum. Saya menilai upaya ini merupakan perbuatan sistematis, terstruktur dan masif untuk mengambil saham-saham milik pendiri Blue Bird (Elliana Wibowo dan Lani Wibowo pemegang saham 20%) untuk menguasai saham Blue Bird tanpa melalui proses jual beli saham yang sah menurut hukum," ujarnya.
Elliana yang mengaku sebagai ahli waris dan pemegang saham Blue Bird tidak menerima dividen dari Blue Bird Group sejak 11 tahun terakhir. Untuk itu, dirinya menggugat PT Blue Bird Tbk ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan sebesar Rp 11 triliun.
"Saya sebagai pemegang saham dari pendiri orang tua saya, belum menerima pembagian dividen selama kurang lebih 10-11 tahun sampai permohonan gugatan ini saya sampaikan," kata Elliana.
Minta Bantuan Jokowi
Elliana meminta bantuan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga Kapolri untuk meneruskan kasus kekerasan fisik-psikis yang pernah dialami dirinya dan almarhum ibunya pada tahun 2000 lalu.
"Saya mohon supaya Presiden Jokowi yang terhormat, Kapolri yang terhormat, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mahkamah Agung, KPK untuk melihat ini dan Kejagung juga. Betapa histerisnya saya dan ibu saya, kami tidak bikin-bikin dan buat-buat," tuturnya.
Kepada awak media, Elliana menunjukkan bukti rekaman saat kejadian berlangsung dalam bentuk kaset dan diputar di radio jadul. Tidak terlalu jelas percakapan dari rekaman tersebut, yang pasti terjadi percekcokan dan sesekali suara teriakkan perempuan.
"Itu suara saya dan ibu saya yang teriak-teriak dengan suara Dr. Purnomo yang komandoi 'habisi saja, bantai saja, dasar China ini ini ini' dengan istri dan anaknya. Itu kan biadab sekali ya," ujarnya.
Pada 25 Mei 2000, Elliana sudah melaporkan kejadian pengeroyokan tersebut ke Polres Jakarta Selatan. Sayangnya kasus tersebut ditarik ke Polda Metro Jaya dan pada Maret 2002 kasus tersebut di SP3 dengan alasan tak cukup bukti.
"Padahal pelaporan tersebut sudah disertai hasil visum dari rumah sakit, alat bukti dan beberapa orang saksi yang cukup. Apalagi penyidik Polres Jakarta Selatan telah menetapkan Purnomo Prawiro, Endang Basuki, Noni Purnomo dan Indra Marki menjadi tersangka dalam kasus tersebut dan laporan polisi ini harus dilanjutkan ke pihak jaksa berdasarkan putusan praperadilan PN Jakarta Selatan," tuturnya.
Oleh karena itu, selain menggugat Blue Bird, Elliana juga menggugat mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Kapolda Metro Jaya Irjen Fadli Imran karena dianggap melakukan perbuatan melawan hukum yang menghambat keadilan pihaknya.
"Saya memohon dengan hormat kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, atas nama hukum dan keadilan agar segera memerintahkan Kapolda Metro Jaya membuka kembali kasus saya yang sudah dihentikan oleh mantan Kapolri Bambang Hendarso Danuri dahulu Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya," imbuhnya.