Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah ada sejak jaman kolonial Belanda tepatnya pada 1912 di Batavia yang kini bernama Jakarta. Pasar modal saat itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.
Dalam perjalanannya, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan mulus-mulus saja, bahkan pada 1956-1977 kegiatannya sempat vakum. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia I dan II, hingga perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke pemerintah Republik Indonesia.
"Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977 dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah," bunyi keterangan resmi BEI dikutip Rabu (12/10/2022).
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto tepatnya pada 10 Agustus 1977, BEI yang masih bernama Bursa Efek Jakarta (BEJ) diresmikan kembali dan dijalankan di bawah Badan Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM). Pengaktifan kembali ini juga ditandai dengan penawaran perdana saham (IPO) perusahaan bernama PT Semen Cibinong Tbk yang berkode SMCB.
Jadi SMCB adalah perusahaan publik pertama di Indonesia. Perdagangan kala itu tentu tidak seramai saat ini, terlihat dari SMCB yang hanya memiliki 24 emiten setelah 10 tahun IPO tepatnya di 1987 karena masyarakat saat itu lebih memilih instrumen perbankan dibandingkan pasar modal.
Semen Cibinong didirikan pertama kali pada 15 Juni 1971 oleh Kaiser Cement & Gypsum Corporation dan International Finance Corporation (IFC). Keberadaannya telah melalui perjalanan panjang aksi korporasi hingga berubah nama berkali-kali.
Saat itu, Semen Cibinong melepas 178.750 sahamnya ke publik dengan nilai nominal Rp 1.000 per saham dan harga penawaran Rp 10.000 per saham. Artinya dana yang diperoleh dari IPO sebesar hampir Rp 1,8 miliar.
Setelah IPO tepatnya pada 1988, pendiri menjual 49% kepemilikan perusahaan kepada PT Tirtamas Majutama (Grup Tirta Mas) milik Hashim Djojohadikusumo, anak begawan ekonomi Orde Baru Soemitro Djojohadikusumo yang juga merupakan adik dari Prabowo Subianto.
Setelah bergantinya kepemilikan saham tersebut, SMCB cukup agresif melakukan aksi korporasi berupa akuisisi. Pada 1993, SMCB mengakuisisi PT Semen Nusantara yang memproduksi Semen Borobudur.
Dua tahun berselang, SMCB mengambil alih 100% saham PT Semen Dwima Agung Tuban Jawa Timur. Namun pada 1998 saat krisis moneter terjadi, SMCB pun ikut terdampak.
Setelah krisis usai dan lahir era reformasi, tepatnya pada tahun 2000, Holcim Ltd asal Swiss tertarik dan masuk menjadi pemegang saham pengendali. Satu tahun berselang, akhirnya Holcim resmi menjadi pemegang saham SMCB melalui proses right issue sebanyak 6,51 juta pada Desember 2001.
Pada 2005, Holcim Participation mengalihkan seluruh kepemilikan sahamnya di Semen Cibinong kepada Holdervin BV senilai Rp 2,47 triliun. Holdervin BV adalah perusahaan Belanda yang juga induk usaha dari Holcim Ltd.
Satu tahun setelah pengalihan saham tersebut tepatnya pada 2016, SMCB resmi berganti nama menjadi PT Holcim Indonesia Tbk dari sebelumnya PT Semen Cibinong Tbk.
Selanjutnya di era Jokowi jilid I tepatnya 2016, Holcim Indonesia mengakuisisi 100% saham PT Lafarge Cement Indonesia senilai Rp 2,13 triliun. Termasuk di dalamnya adalah PT Semen Andalas di Aceh yang diakuisisi sejak 1994 dan selesai direkonstruksi pasca-tsunami pada 2010.
Aksi akuisisi tersebut juga mengikuti induk Holcim global yang merger dengan perusahaan semen asal Prancis yaitu Lafarge dan berganti nama menjadi LafargeHolcim Ltd.
Sejarah SMCB tidak berhenti begitu saja. Selang 2 tahun setelah berganti nama menjadi LafargeHolcim, SMCB kembali berganti kepemilikan. PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) merampungkan akuisisi 80,6% saham LafargeHolcim di SMCB.
Akuisisi senilai US$ 917 juta atau Rp 13,47 triliun (kurs Rp 14.735/US$) tersebut dirampungkan pada 12 November 2018 pukul 19.00 WIB.
Setelah seluruh proses akuisisi tersebut, maka resmi LafargeHolcim tidak lagi memiliki saham di Holcim Indonesia. Hal ini sekaligus menandakan bahwa perusahaan asal Swiss tersebut cabut dari Indonesia.
SMCB kini bernama Solusi Bangun Indonesia dan menjadi bagian anak usaha perusahaan pelat merah Semen Indonesia. Saat ini mayoritas sahamnya (83,52%) dimiliki dan dikelola PT Semen Indonesia Industri Bangunan (SIIB), yang merupakan bagian dari Semen Indonesia Group atau produsen semen terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.
(aid/das)