Indonesia kini resmi memiliki bursa karbon sendiri yang diberi nama IDXCarbon. Bursa ini diselenggarakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan izin penyelenggaraan yang didapatkan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Keputusan Nomor KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023.
Pembentukan bursa karbon ini didorong oleh penerbitan Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon. POJK ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Jeffrey Hendrik mengatakan, salah satu manfaat paling utama yang didapatkan atas berdirinya bursa karbon ini ialah dalam membantu menurunkan emisi CO2 atau gas rumah kaca. Lewat pasar karbon ini, perusahaan yang mampu menekan emisi bisa menjual kredit karbonnya kepada perusahaan yang melewati batas emisi sehingga terbentuklah skema insentif-disinsentif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selama ini, selama belum ada bursa karbon, upaya apapun yang dilakukan untuk mengurangi emisi, apakah ada rewardnya? Tidak ada," katanya, kepada detikcom, Rabu (27/9/2023).
"Ke depan dengan adanya bursa karbon ini, siapapun yang melakukan upaya pengurangan emisi rewardnya adalah bentuk sertifikasi unit karbon di mana unit karbonnya punya nilai ekonomi," sambungnya.
Di sisi lain, bursa karbon juga mengakomodasikan 'hukuman' alias punishment untuk perusahaan-perusahaan yang menghasilkan emisi melampaui batasan. Perusahaan tersebut harus mengkompensasikannya lewat pembelian kredit karbon sesuai dengan jumlah pengurangan angka kredit karbon yang dibutuhkannya.
"Siapapun yang mengotori alam, harus membayar dengan membeli karbon atau membayar dengan pajak karbon yang nantinya akan ditetapkan kemudian," ujarnya.
Dengan adanya bursa karbon, perusahaan-perusahaan yang telah berupaya mengurangi emisi akan memperoleh nilai ekonomi. Salah satunya, mereka diberikan keleluasaan untuk menjual kembali produknya mengikuti harga pasar. Mirip dengan saham, di bursa karbon untuk pasar reguler, pembeli dan penjual menentukan harga sehingga terjadi continous auction.
"Yang beli unit karbon itu bisa saja mau disimpan untuk dijual lagi kalau harga naik. Itu ada keuntungan," katanya.
Akan tetapi, menurutnya justru kebanyakan pihak-pihak yang turut serta dalam perdagangan karbon tidak hanya mencari keuntungan dalam bentuk capital gain atau deviden. Banyak juga pihak yang membeli untuk digunakan atau dipensiunkan atas nama pihak pembeli tersebut.
"Kalau itu digunakan, artinya membeli sesuatu yang digunakan untuk apa? Untuk meng-offset (mengurangi) kegiatan operasional yang menimbulkan emisi. Seperti kita tahu, banyak perusahaan dalam operasinya menimbulkan emisi," jelasnya.
Salah satu contohnya perusahaan perbankan. Jeffrey mengatakan, perbankan juga mengeluarkan emisi lewat serangkaian aktivitas dengan penggunaan listrik hingga kendaraan bermotor. Sedangkan di antaranya tak sedikit yang sudah menyatakan telah menuju net zero emission. Oleh karena itu, demi mencapai tujuan tersebut walau disaat bersamaan operasionalnya masih menghasilkan emisi, bursa karbon menjadi salah satu jalan keluar.
"Mereka membeli unit karbon dan mereka gunakan untuk mereka. Sehingga dalam sustainability report maupun laporan publik, mereka bisa bilang 'kami sudah menuju net zero, kami sudah mengkompensasi polusi yang kami sebabkan dari operasional usaha dengan beli karbon'. Dan tidak untuk dijual lagi tapi digunakan. Dihanguskan atau dipensiunkan. Itu adalah keuntungan juga," kata Jeffrey.
"Seperti yang disampaikan Pak Dirut kemarin, dengan begitu label yang ada di mereka adalah perusahaan concern EFG dan hijau, investor akan lebih banyak melirik. Akan ada keuntungan juga," sambungnya.
Apabila optimalisasi bursa karbon terus didorong, Jeffrey percaya Indonesia akan menjadi lebih bersih dari emisi. Selain itu, juga dapat mencapai cita-cita Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat.
"Kalau untuk mencapai NZE, tidak ada insentif yang diberikan kepada pihak-pihak yang menurunkan emisi, siapa yang akan melakukannya? Dengan adanya bursa karbon, orang-orang yang melakukan upaya untuk menurunkan emisi akan mendapatkan insentif," pungkasnya.
Sebagai tambahan informasi, dalam momentum peluncurannya, Presiden Joko Widodo sempat membeberkan potensi jumbo dalam perdagangan bursa karbon. Indonesia memiliki banyak sekali kekayaan nature based solution. Indonesia juga diklaim Jokowi bisa menjadi satu-satunya negara yang 60% pemenuhan pengurangan emisi karbonnya berasal dari sektor alam.
"Di catatan saya kurang lebih 1 giga ton CO2 yang berpotensi di kredit karbon dan bisa ditangkap," terang Jokowi, di Gedung BEI, Selasa (26/9/2023)
Bila dikalkulasi, Jokowi bilang potensi perdagangan Bursa Karbon di Indonesia juga sangat besar. Dia mengatakan potensinya mencapai Rp 3.000 triliun.
"Dan kalau dikalkulasi, potensi bursa karbon kita bisa capai potensinya Rp 3 triliun bahkan lebih, Rp 3.000 triliun. Rp 3.000 triliun, bahkan bisa lebih. Sebuah angka besar yang tentu jadi kesempatan ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan sejalan dengan arah dunia yang menuju ekonomi hijau," papar Jokowi.
Simak juga Video 'Jokowi Luncurkan Bursa Karbon Indonesia: Kontribusi Lawan Krisis Iklim':