Tenaga Surya dan Angin Bisa Kejar Target Energi Baru Terbarukan

Andi Hidayat - detikFinance
Selasa, 04 Feb 2025 10:35 WIB
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta - Pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060 sebesar 75,6 gigawatt (GW). Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menilai pencapaian target RUKN dapat diakselerasi melalui pemanfaatan energi surya dan angin melalui perencanaan strategis dan pemantauan ketat.

Menurut laporan CREA, tenaga surya menjadi opsi terbaik untuk memastikan target 75 GW tercapai lebih cepat dari jadwal. Dari 45 GW, setidaknya terdapat 16,5 GW proyek tenaga surya prospektif di Indonesia dengan lima kali lebih tinggi dari yang diuraikan dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) CIPP 3,1 GW, dan 30% lebih tinggi dari target RUKN 2030 12,8 GW.

Menilik pengalaman Vietnam dan China, Indonesia masih punya waktu untuk mengupayakan proyek energi surya lebih besar sebelum 2030-2035. Analis CREA, Katherine Hasan mengatakan, proyek prospektif ini perlu dipantau dan dipercepat pengembangannya.

"Meningkatkan kapasitas energi terbarukan Indonesia hingga empat kali lipat pada dekade berikutnya, melampaui target yang ditetapkan dalam RUKN pada 2030, dan memastikan Indonesia untuk mencapai target di tahun-tahun selanjutnya, di mana capaian pengembangan EBT terus meningkat," kata Katherine dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/2/2025).

Untuk energi angin, kata Katherine, terdapat selisih yang perlu diisi mengingat proyek prospektif yang tercatat oleh GEM hanya 2,5 GW, lebih rendah dari kapasitas yang ditargetkan pada 2030 dalam RUKN 4,8 GW. Kesenjangan antara potensi tenaga angin dan penerapan yang optimal dari segi biaya, bahkan lebih besar dan mendesak.

Untuk itu, Katherine menilai, Indonesia perlu lebih banyak upaya dalam pengembangan tenaga angin dan menciptakan iklim investasi yang dapat menarik pembiayaan yang dibutuhkan.

"Dengan memetakan proyek pembangkit listrik tenaga surya dan angin mana yang secara realistis dapat dilaksanakan sebelum 2030, Indonesia akan melampaui target yang saat ini dijabarkan dalam RUKN," jelasnya.

Sementara proyek prospektif 45 GW yang dimaksud saat ini telah masuk ke tahap konstruksi, pra-konstruksi, dan pengumuman. Namun begitu, Katherine mengatakan, baru 30,6 GW di antaranya yang telah ditetapkan jadwal mulainya.

Sementara 13,6 GW lainnya, yang mencakup energi surya 10,7 GW, angin 1,8 GW, dan panas bumi 1,1 GW, perlu ditetapkan tahun mulainya. Katherine mengatakan, realisasi proyek ini akan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik Indonesia menjadi 58,5 GW atau 77% dari target RUKN pada 2035 sebesar 75,6 GW.

Untuk mencapai target RUKN 2035 dari kapasitas saat ini 13,5 GW, Katherine menilai, Indonesia masih membutuhkan tambahan 18 GW lagi, yang perlu diprioritaskan untuk segera dimasukkan dalam perencanaan nasional.

Sementara itu, Analis Utama CREA, Lauri Myllyvirta mengatakan porsi energi fosil di RUKN masih signifikan kendati Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan visi bebas fosil 2040.

Dalam RUKN 2024-2060, produksi listrik dari pembangkit listrik berbasis batubara sebanyak 41% dan gas sebanyak 17%, untuk memenuhi permintaan energi sebanyak 1,140 TWh di tahun 2040.

Sementara energi terbarukan, tercatat hanya 36%. Hingga 2060 pun, porsi energi terbarukan ditargetkan mencapai 50%, sedangkan sisanya dari nuklir, PLTU co-firing biomassa, dan pembangkit listrik tenaga gas, di mana keduanya dilengkapi teknologi penangkapan karbon (CCS).

Kondisi ini berbalik dengan pemodelan skenario bebas energi fosil dan hemat biaya dalam Laporan Penilaian Keenam (AR6) Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang mengecualikan seluruh pembangkit listrik berbasis fosil, amonia, hidrogen, dan energi laut.

"Dibandingkan dengan jalur hemat biaya yang dimodelkan di laporan IPCC AR6 untuk sistem listrik Indonesia bebas fosil pada 2060, RUKN sangat kurang berinvestasi di energi terbarukan yang fluktuatif (variable renewable energy) seperti surya dan angin, dan berinvestasi berlebihan pada solusi yang lebih mahal dan penerapannya lebih lambat," kata Lauri Myllyvirta.

Laporan IPCC mengkaji dampak perubahan iklim terhadap alam dan manusia, mempertimbangkan kerentanan dan kapasitas ekosistem di bumi dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim.

"Hal ini dapat menghambat visi bebas fosil Presiden Prabowo, dan membatasi peluang investasi energi bersih selama dekade-dekade yang menentukan," tutupnya.


(rrd/rrd)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork