Director for International Affairs and Climate Finance CLIMA, Diana Acconcia menyoroti berbagai peristiwa cuaca ekstrem di seluruh dunia. Menurutnya, di sejumlah wilayah Eropa serta di Indonesia terjadi sejumlah kebakaran seperti di California.
Di saat yang bersamaan, belum lama ini AS memutuskan keluar dari Perjanjian Iklim Paris. Ini menjadi hambatan kuat bagi mereka yang bergerak untuk menghentikan perubahan iklim, serta mendukung realisasinya lewat kerja sama di bawah perjanjian tersebut.
"Kita semua telah melihat bahwa Amerika Serikat telah meninggalkan Perjanjian Paris. Kami sangat menyesali hal ini, tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak perlu bertindak lagi, bahwa kita harus memperlambat langkah," kata Diana dalam acara Kick Off Meeting IETF di Pullman Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (5/2/2025).
Menurutnya, masyarakat harus terus bersatu untuk menghentikan perubahan iklim. Hal ini lah pesan terpenting yang Diana bawa dan telah didiskusikannya dengan Pemerintah Indonesia beserta mitra lainnya.
Selain itu, Diana juga menegaskan bahwa Uni Eropa tidak akan menengok ke belakang. Pihaknya akan tetap mempertahankan komitmen untuk terus melawan perubahan iklim.
"Kami tetap berkomitmen untuk menjadi benua dengan emisi nol bersih pada tahun 2050 dan kami siap mencapai target kami untuk tahun 2030, guna mengurangi emisi CO2 sebesar 55% pada tahun 2030," ujarnya.
Sebagai dampak atas aksi pengurangan emisi yang cepat, Diana mengatakan, Uni Eropa kini hanya menyumbang 6% emisi di dunia. Sedangkan China, AS, dan India mengeluarkan emisi lebih banyak daripada Uni Eropa.
Atas hal ini, pihaknya mendorong kerja sama dengan seluruh dunia, serta mendukung negara-negara ekonomi baru dan berkembang untuk mengurangi emisi menuju planet yang netral iklim. Hal ini juga menjadi salah satu misi yang dibawa Diana ke Indonesia.
"Indonesia adalah mitra utama bagi Uni Eropa dan aktor utama dalam aksi iklim, Indonesia memiliki lebih dari 280 juta penduduk. Indonesia memiliki tujuan untuk mengembangkan ekonominya dengan cepat, untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya," kata dia.
Sebagai informasi, Presiden AS Donald Trump resmi mengumumkan bahwa negaranya keluar dari Paris Agreement. Langkah ini diambil hanya beberapa jam setelah ia dilantik untuk masa jabatan kedua, Senin (20/1/2025).
Aksi AS tersebut membuat Indonesia dilema terkait pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Dilema tersebut disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.
"Bicara tentang energi baru terbarukan, ini bicara tentang sesuatu yang ke sini-ke sini sudah mulai hampir ketidakpastian. Kenapa? Karena energi baru terbarukan ini kan komitmen dari Paris Agreement. Yang menginisiasi Paris Agreement, perlahan-lahan sudah mulai mundur. Amerika sudah mulai mundur dari itu. Tapi oke, kita kan bagian daripada konsensus global yang harus kita jalani." kata Bahlil di Hotel The Westin Jakarta, Kamis (30/1/2025).
Bahlil mengatakan Indonesia sebagai konsensus dari kesepakatan Paris Agreement, dimana waktu itu hampir semua lembaga-lembaga keuangan dunia yang besar-besar mau membiayai projek yang pendekatannya adalah green energy.
Akan tetapi dengan keluarnya AS dari perjanjian tersebut yang merupakan inisiator menjadikan Indonesia dilema dalam menjalani perjanjian tersebut. "Sebenarnya kita pada posisi yang sangat dilematis untuk mengikuti gendang ini. Ini jujur aja, tidak usah kita tutup-tutupi," katanya.
Meski begitu, Bahlil akan mengikuti amanah dari Presiden Prabowo untuk mewujudkan kedaulatan energi dengan tidak menggantikan energi secara keseluruhan ke energi baru terbarukan.
(shc/ara)