Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero) Rachmad Hardadi mengatakan, sudah banyak sekali investor yang datang ke Indonesia ingin membangun kilang. Namun ujungnya selalu gagal.
"Investor itu banyak yang mau bangun kilang minyak di Indonesia. Karena produksinya sudah pasti terserap seluruhnya," ujar Rachmad dalam Workshop Direktorat Pengolahan Pertamina di Sentul, Bogor, akhir pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rachmad mengungkapkan, sebenarnya masalah dalam pembangunan kilang bukan soal insentif. Menurutnya, sulitnya Indonesia memiliki kilang baru lebih disebabkan hambatan lahan.
"Yang buat gagal bangun kilang itu karena setiap kita umumkan lokasinya, sementara tanahnya belum bebas, pastinya harganya langsung melonjak dan proyek kilang jadi tidak ekonomis. Seperti dulu kita mau bangun kilang di Gresik dan Banten, harganya tanah di sana (lokasi kilang) langsung melonjak. Makanya, kalau mau sukses bangun kilang jangan diumumkan lokasinya," ungkap Rachmad.
Rachmad menambahkan, apabila tidak melakukan apa-apa, baik meremajakan kilang yang ada atau membangun kilang baru, maka pada 2025 Indonesia akan sangat tergantung pada impor BBM.
"Saat ini kebutuhan bensin Premium kita mencapai 39 juta kiloliter (kl)/tahun, tapi yang hanya mampu disediakan dalam negeri hanya 13 juta kl. Begitu juga untuk Solar, kebutuhannya 34 juta kl/tahun, yang mampu dipasok dalam negeri hanya 19 juta kl/tahun. Kalau kita tidak berbuat apa-apa, maka pada 2025 kebutuhan bensin kita diperkirakan mencapai 77 juta kl/tahun dan 64 juta kl/tahun dipasok dari impor. Hal yang sama juga terjadi pada diesel, pada 2025 kebutuhannya diperkirakan 54 juta kl/tahun sehingga akan ketergantungan impor sebanyak 35 juta kl/tahun," terangnya.
Sebagai antisipasi dari ancaman yang sudah nyata tersebut, Pertamina melakukan 2 langkah. Pertama melakukan peremajaan dan penambahan kapasitas kilang yang ada saat ini melalui program Refinery Development Master Plan (RDMP).
"Total dana yang dibutuhkan untuk meningkatkan performa 5 kilang yakni Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, dan Balongan mencapai US$ 25 miliar (Rp 300 triliun). Sudah dimulai proyeknya dan akan selesai pada 2025. Sehingga kapasitas pengolahan dari 820.000 barel/hari menjadi 1,68 juta barel/hari," kata Rachmad.
Kedua, membangun kilang di Bontang (Kalimantan Timur) dengan investasi diperkirakan sekitar US$ 10 miliar (Rp 120 triliun) dengan kapasitas 1 x 300.000 barel/hari.
"Kenapa di Bontang, karena tanahnya sudah bebas 150 hektar, sudah siap. Mei akan dimulai feasibility study. Tapi sebenarnya idealnya kita harus punya 3 kilang baru, kita fokusnya bisa selesainya kilang di Bontang ini. Selain tanah, di sana sudah memiliki fasilitas infrastruktur lainnya mulai dari pelabuhan, bandara, rumah sakit dan lainnya, sehingga investasi bisa kurang dari US$ 10 miliar. Tapi untuk bangun kilang baru belum ada fasilitas seperti di Bontang biayanya US$ 10 miliar," jelas Rachmad.
(rrd/hds)