Hasilnya, pembangkit ini disebut memiliki tarif atau harga jual yang relatif murah karena efisiensi yang dihasilkan. Namun dia berharap predikat tersebut juga sejalan dengan penggunaan komponen dalam negeri untuk konstruksi pembangkit.
"Sebetulnya ada hal lain yang pemerintah ingin titip terutama ke PLN. Karena yang paling berperan menentukan siapa yg menang dan prioritas itu PLN," kata Darmin.
"Saya tahu Pak Sofyan (Dirut PLN) itu bankir. Pasti senang betul yang paling efisien itu yang mana. Tapi jangan cuma paling murah, tapi juga harus paling siap untuk membangun bagian-bagian dari pembangkitnya itu di Indonesia. Jangan asal murah saja," tambahnya.
Sementara untuk tahap operasi, Darmin berharap PLN bisa menggunakan bahan bakar ramah lingkungan yang lebih optimal pada proyek-proyek pembangkit lainnya. Dia menantang PLN untuk bisa menerapkan biodiesel 100% dengan berbagai kolaborasi yang memungkinkan sehingga ujungnya impor BBM bisa ditekan.
"Bisa nggak pakai B100? Saya tahu General Electric (GE) bisa. Pada waktu kita tanya PLN pakai B20, Bu Rini waktu ke pabrik GE bilang, kalau mereka bisa pakai B100. Kalau itu kita lakukan, kita dapat keuntungan tiga sampai lima macam dengan sekali pukulan," ujar Darmin.
Merespons hal tersebut, Direktur Pengadaan Strategis PLN, Supangkat Iwan Santoso mengatakan pihaknya memiliki rencana menggunakan bahan bakar biodiesel100%. Namun untuk penggunaan biodiesel secara penuh, penerapannya kata dia bisa dilakukan di pembangkit baru karena berhubungan dengan teknologi atau mesin yang digunakan.
"Kemarin kita kunjungi Wartsila, pabrik diesel di Finlandia, dia sudah produksi. Itu PLTD diesel B100. Tapi dia harus baru (bangun PLTD baru), yang lama (eksisting) tidak bisa," katanya.
Saat ditanyakan kapan rencana tersebut akan mulai direalisasikan oleh PLN, Iwan belum bisa berkomentar banyak.
"Masih kita rencanakan," ujarnya singkat. (eds/ang)