Saya ingin terima kasih ke detik tapi saya ingin meluruskan sedikit bahwa kerja saya bukan hanya mengkritik, tapi tetap menjalankan apa yang menjadi kebijakan negara dalam peran apa pun. Dan kalau kebetulan ketemu hal-hal yang perlu diluruskan, kita luruskan. Dan itu sebetulnya bukan karena posisi, memang tugas orang yang berpendidikan harusnya begitu, mau di mana pun ia harus menjaga kepentingan negara, kepentingan bangsa, kepentingan masyarakat.
Jadi kalau nggak pas harus dikoreksi ya?
iya caranya berbeda-beda, kalau di pemerintahan ya tentu dengan pena dengan apa, tapi kalau di luar ya mau tidak mau dengan statement, dengan tulisan-tulisan.
Jadi di tanggal 6 Oktober 2015 yang terjadi kemarin itu sebetulnya tidak lebih dari saya merespon bukunya Pak Simon Sembiring. Jadi Januari kemarin kan Pak Simon Sembiring menerbitkan buku, judulnya Satu Dekade Dasawarsa Nasionalisasi Minerba. Bukunya Baguslah karena ditulis oleh seorang praktisi, tapi juga beliau keilmuan kan, dulu kan memang seorang akademisi juga ngajar sampai hari ini. Jadi sempat saya merespon itu.
Kenapa mesti direspon, karena dalam buku itu dikatakan bahwa, pada surat yang di tanggal yang tertanggal 7 Oktober 2015, yang punya persoalan, satu persoalannya adalah yang menulis menteri, waktu itu saya, dianggap melampaui kewenangan. Tidak pada tempatnya surat yang ditulis. Yang kedua, dikatakan 'loh kok surat tanggal 7, dibalas tanggal 7'. Nah yang ketiga, oleh Pak Simon ditulis, bahwa surat itu dianggap melemahkan posisi pemerintah Indonesia ketika bernegosiasi dengan Freeport kelak. Karena itu saya respon.
Responnya adalah, saya jelaskan kronologis munculnya surat, kemudian pertemuan-pertemuan itu, pertemuan dengan presiden, pertemuan dengan Moffett dan proses penyelesaiannya. Dan saya jelaskan bahwa surat itu dibuat atas perintah Presiden.
Jadi kalau saya harus mendudukkan proporsi bahwa, jangan saya menjalankan tugas atasan, kemudian saya disebut sebagai melemahkan. Itu saya perlu luruskan di masyarakat. Karena buku kan beredar dan dijual di umum. Jadi saya berkepentingan untuk meluruskan itu, dan saya kira Pak Simon menyambut baik lah.
Perintah untuk membuat surat itu dari Presiden pada pertemuan 6 Oktober itu?
Iya betul.
Bisa diceritakan waktu itu pertemuannya itu, perintahnya seperti apa dan pertemuannya seperti apa?
Saya ingat pada waktu itu sebetulnya Freeport sedang dalam keadaan apa, saya sebut cemas kali ya atau bertanya-tanya, ini pemerintah mau ngambil keputusan kapan. Dan saya sangat menjaga untuk tidak bertemu langsung karena biarkan struktur saya bekerja. Maka itu ketika tanggal 6 saya diundang kemudian masuk ke ruangan ada Freeport itu, saya betul-betul kaget.
Yang ngundang Pak Sudirman ke Istana itu Pak Presiden langsung?
Iya lah. Saya dipanggil pagi-pagi, seperti biasa diminta ajudan datang ke Istana kemudian saya datang jam 08.30 pagi dan diminta ketemu. Akhirnya saya dibawa ke ruang kerja.
Nah itu yang menjadi di heboh sekarang itu kan, saya menjelaskan ya memang ada yang menyampaikan 'Pak Menteri pertemuannya tidak ada' begitu. Dan saya tidak pernah menyebut pertemuan rahasia ya. Presiden boleh memanggil siapa saja, kapan saja.
Itu yang memberi tahu bahwa pertemuannya tidak ada itu staf istana, ajudan, atau?
Staf Istana lah, dan menurut saya tidak perlu diungkapkan ya. Karena pegawai biasa dan tentu dia melakukan itu karena ada yang memerintahkan, saya nggak tahu siapa begitu.
Tapi yang penting adalah saya masuk ke ruangan dan terkejut karena sudah ada Jim Moffett yang sebetulnya dengan kita pun sedang dijaga untuk tidak berinteraksi, karena saya tidak ingin didesak-desak terus. Tapi kemudian saya diberitahu ini sudah bicara dan minta tolong dibuatkan surat seperti yang dibutuhkan dia dan silakan dibicarakan suratnya.
Jadi waktu itu di ruangan kerja Pak Jokowi itu Pak Sudirman berapa lama?
Nggak sampai 10 menit. Jadi saya lebih menerima instruksi untuk menyiapkan surat saja, tidak ada diskusi, tidak ada dialog, dan sesudah itu saya bersama Pak Moffett duduk hampir seharian di satu tempat untuk menegosiasikan draft itu.
Instruksi presiden itu untuk membuat surat, draft, sesuai yang dibutuhkan ya. Yang dibutuhkan itu apa?
Yang dibutuhkan itu kira-kira signal bahwa Indonesia akan tetap menjaga kelangsungan investasi kepada siapa pun, termasuk kepada Freeport. Nah karena itu ketika sudah bertemu dengan Pak Jim Moffett di luar, ya beliau menyodorkan draft lah, draft yang mungkin, draft yang dikehendaki. Tapi saya mengatakan 'jangan begitu lah, ini bukan cara saya bekerja' begitu. Kasih tau saya apa yang diinstruksikan Pak Presiden, trus saya siapkan draft yang propper'. Dan dengan itu maka saya menyusun satu konsep yang oleh banyak pihak sebenarnya normatif saja, misalnya kata-kata, barangkali nanti bisa dicari di internet juga, bahwa Indonesia menjamin kelangsungan investasi, karena investasi dibutuhkan. Itu kan statement yang normatif.
Kedua, kita sedang menata regulasi di bidang Minerba. Dan itu bukan hal yang salah karena memang waktu itu kita sedang menata regulasi. Ada rencana perbaikan PP, ada rencana revisi UU Minerba, segala macam. Kemudian poin ketiga kurang lebih, sambil menunggu ini silakan bersiap-siap melanjutkan rencana investasi. Mengapa disebut begitu, karena kita menunggu kapan Anda bangun smelter, kapan mulai mendevelop tambang bawah tanah. Terus yang keempat nanti setelah regulasi selesai ditata kita akan mengambil keputusan sesuai dengan regulasi itu.
Jadi tidak ada satu pun kalimat yang mengatakan Anda diperpanjang, atau Anda diteruskan kontraknya, tidak ada.
Jadi tunggu regulasi Undang-Undang Minerba itu?
Iya. Nah itu, surat itu yang disebut normatif itu sorenya saya tunjukkan ke Pak Presiden kan. Kalau nggak salah tanggal 6 juga. Karena suratnya kan besoknya. Nah, ini sebetulnya cerita ini sudah pernah diungkapkan berbagai media pada waktu itu. Jadi tidak ada yang kurang tidak ada yang lebih, itu lah kejadiannya.
Tapi sekarang ramai karena mendekati Pilpres?
Ya saya tidak tahu, kenapa reaksinya agak berlebihan. Karena sebenarnya ini kan hal yang sudah pernah ada di media. Dan kalau ditrace ketemu lah itu.
Waktu di ruang kerja Pak Jokowi, ketika Pak Jokowi meminta Pak Sudirman menyusun draft dengan Jim Moffett, Pak Sudirman nggak memberi saran?
Nyusun draftnya tidak di ruang presiden. Jadi cuma diberitahu, silakan dibuatkan surat untuk membantu dia, terus silakan dibicarakan di tempat lain. Dan kami mencari tempat lah.
Sebelumnya presiden belum menginformasikan atau menginformasikan bahwa ada Moffett ke situ?
Tidak ada. Dan saya harus mengatakan bahwa terhadap Freeport itu sikap Presiden berubah-ubah dari awal.
Berubah-ubah maksudnya bagaimana?
Di awal pemerintahan beliau mengatakan cepat diputuskan, cepat diputuskan. Tapi pada satu titik mengatakan nggak ada komitmen, jangan dulu, jangan buru-buru. Hati-hati, begitu. Terus suatu ketika kita sedang berunding, tiba-tiba, 'sudah jangan ada komitmen apapun'. Makanya kaget, tiba-tiba beliau menerima yang bersangkutan kemudian perintahnya buatkan surat. Jadi memang kami sebagai pelaksana kebijakan atau yang menavigate di lapangan itu memang harus pandai-pandai membaca, sebetulnya maunya apa.
Soal surat tadi, suratnya tanggal 7, terima surat tanggal 7 dibalas tanggal 7. Itu bagaimana ceritanya?
Iya itu ditulis oleh Pak Simon juga, kok bisa surat tanggal 7 dibalas tanggal 7. Jadi begini, menjelang saya menandatangi surat yang dikehendaki itu, saya kan tidak mau konyol kok tiba-tiba kirim surat, dasarnya apa gitu. Sementara tadi dikatakan bahwa pertemuan dengan presiden tidak ada. Maka itu saya minta supaya kalian bikin surat, ya karena tanggal surat balasan saya tanggal 7, ya suratnya sebelum itu lah, gitu. Maka surat mereka tanggal 7 meminta semacam signal, saya membalas.
Jadi surat dari mereka itu karena saya yang minta, karena saya tidak ingin konyol kok menyampaikan sesuatu tanpa permintaan dari si pemegang Kontrak Karya itu.
Ada 4 poin ya kalau nggak salah dalam surat balasan itu. Dari 4 poin ini apakah menjawab dari permintaan Freeport tadi atau sesuai arahan presiden?
Yang jelas kan itu setengah harian dinegosiasikan, dari setelah keluar dari kantor presiden sampai sore, sampai menjelang saya berangkat ke Istana itu kan memang dibicarakan.
Itu Pak Sudirman berdua doang Jim Moffett atau ada yang lain?
Dia ada lawyernya, saya ada staf khusus. Jadi seluruh diskusi saya punya saksi lah. Saya punya saksi, saya bukan ngarang-ngarang. Saya menyampaikan apa adanya. Jadi setelah selesai, draft itu dikirim ke Amerika segala macam untuk direview, dan mereka terjemahkan dalam bahasa Inggris. Jadi ketika saya berangkat ke, bahkan sebelum saya berangkat ke presiden, saya kembali ke kantor untuk meminta pandangan dari biro hukum, dari Sekjen, mereka mengatakan semuanya aman, nggak ada masalah. Baru saya ketemu presiden sorenya.
Menariknya yang bikin heboh adalah ketika kemudian Pak Sudirman bilang, pernyataan Pak Sudirman ini berbeda dengan yang disampaikan Pak Sudirman pada majalah tambang edisi 2015 lalu?
Dicek saja, dideret statement saya itu, yang berubah apa. Nggak ada yang berubah, saya menjelaskan itu sebagai proses biasa saja, pertemuan juga saya katakan, ya presiden pimpinan tertinggi negara boleh bertemu siapa saja. Kadang-kadang memberitahu, kadang-kadang nggak, ke stafnya, itu biasa.
Tapi menurut saya yang bikin heboh adalah reaksinya. Reaksi daripada pihak yang seolah-olah ini hal yang sangat besar. Padahal sebetulnya kan saya kira biasa saja lah, tadi Pak Presiden bertemu siapa saja dan saya membaca di media juga, presiden mengakui itu. Artinya, ya saya ketemu nggak sekali-dua kali, saya sering kok ketemu chairmannya perusahaan, dirutnya perusahaan, nggak ada masalah. Diakui sama beliau.
Jadi pertemuan itu rahasia atau bagaimana?
Saya tidak menyebut itu rahasia, saya hanya menceritakan proses di mana sebelum saya masuk ke ruang presiden, ada yang mengatakan pertemuan ini tidak ada gitu. Itu saja.
Bukan juga diam-diam ya pertemuannya?
Nanti ditanya kepada yang memberitahu, kenapa mesti begitu, dan apa maknanya gitu. Tapi yang jelas kan follow up dari pertemuan itu saya harus membuat surat. Jadi saya harus menindaklanjuti keputusan yang diambil oleh atasan saya, kan gitu.
Ada juga yang mengatakan bahwa Moffett sengaja ke Indonesia untuk bertemu presiden karena waktu itu harga sahamnya lagi anjlok, jadi lagi turun. Dengan pertemuan itu terbukti setelah pertemuan Moffet dengan presiden yang kemudian Pak Sudirman, harga sahamnya agak naik?
Saya nggak terlalu memperhatikan itu karena kan urusan saya Freeport Indonesia kan. Urusan saya urusan kita, saya kira yang paling penting adalah bagaimana caranya tambang di Papua itu jangan sampai berhenti, karena berbahaya bagi urusan-urusan sosial ekonomi gitu. Lapangan pekerjaan, kemudian kondisi sosial. Bayangkan kalau tambang itu berhenti, Timika juga berhenti beroperasi, dan Papua sangat terpengaruh. Sebagian pekerja itu datang dari Indonesia timur, itu juga pasti kena dampaknya. Jadi saya tidak tahu apakah itu dalam kaitan dengan saham, kan mereka yang tahu. Dan saya tidak pernah bertanya. Pokoknya saya menjalankan instruksi presiden, buatkan surat dan ketika surat dibuatkan, dibicarakan draftnya sampai ujung, mereka menerima itu, ya sudah.
Ada satu lagi ketika draft diserahkan ke presiden, kemudian presiden ada kutipan kalau tidak salah 'Kalau bisa lebih kuat lagi, kenapa nggak?'
Ya itu juga saya ceritakan di, dalam rangka mengklarifikasi buku itu. Saya ceritakan bahwa ketika draft saya sodorkan ke Pak Presiden, komentar presiden 'loh kok begini saja sudah mau, kalau memang mereka mau lebih kuat ya diberi saja'. Artinya, penafsiran saya, bahwa saya sebenarnya boleh memberika satu statemen yang lebih komitel, yang lebih menunjukkan komitmen kita. Tapi saya menjawab ke Pak Presiden, regulasinya kan masih dalam penataan, jadi kita tidak mungkin menjanjikan apapun. Bahkan menjanjikan memperpanjang juga tidak dibenarkan.
Dan dengan begini mereka, presiden, sudah, ya sudah. Cukup aman lah begini.
Waktu itu yang dijanjikan apa?
Tidak spesifik. Tapi kan yang mereka kehendaki adalah arah keputusan perpanjangan. Dan itu tidak mungkin dilakukan.
Dan itu tidak menyiggung 51%. Indonesia akan mengambil 51%?
Nggak, nggak ada diskusi itu. Mungkin saja antara Pak Presiden dan Moffett bicara. Tapi kepada saya tidak menjelaskan itu.
Pernyataan bapak kemudian menjadi viral, menjadi polemik, khususnya karena bapak sekarang menjadi timsesnya 02, ada keteganggan 01, apalagi Pak Sudirman mantan menteri. Kenapa baru sekarang disampaikan, dibuka?
Jawabannya sederhana, karena buku itu baru terbit Januari kemarin. Bersamaan dengan ulang tahunnya Pak Simon.
Bukan karena sakit hati?
Sakit hati karena apa? Saya sering mengatakan begini, perang politik kaya menteri itu tidak boleh dianggap rezeki, karunia, power, itu amanah. Kalau dicopot itu artinya kita dibebaskan dari beban itu. Jadi tanyalah kepada seluruh orang yang menyaksikan saya ketika diberhentikan, reaksi saya, sampai seluruh langkah-langkah setelah itu, ada nggak yang menunjukkan sakit hati.
Tetapi bahwa saya akan terus konsisten membela kepentingan negara, itu sih sebelum jadi apa-apa saya begini. Waktu saya mahasiswa, waktu jadu aktivis, saya begini. Jadi ada yang mengatakan, kok nyebrang ke Pak Prabowo. Saya nggak nyebrang saya bilang, saya di jalan yang sama. Dan ketika saya di jalan lurus kemudian atasan saya mengatakan tidak fit kan, artinya yang berubah bukan saya gitu. Dan saya teruskan ini.
Jadi menurut saya salah itu sama sekali, mengatakan saya begini berubah. Cek trackrecord saya, apa yang saya kerjakan.
Kenapa waktu itu Pak Sudirman nggak langsung mengkoreksi Pak Presiden misalnya, kenapa ini pertemuan rahasia, pertemuannya diam-diam dan hanya Pak Presiden, Moffett, kemudian Pak Sudirman. Apakah lazim sebuah negara untuk memutuskan Freeport hanya bertiga?
Sampai hari ini pun saya tidak pernah menggugat itu kan. Saya hanya mesimulasikan dalam satu diskusi. Kalau kalian mau tanya silahkan tanya. Tapi saya jelaskan kronologisnya, jadi saya tidak pada tempatnya mempertanyakan itu karena bertemu siapa pun, itu haknya seorang presiden. Saya kira beliau lebih tau mana yang patut mana yang tidak patut dan publik silakan menilai.