Itu sebabnya saya belum menjelaskan dalam forum kemarin itu. Persis ditulis dalam buku itu, bahwa surat itu dinilai melemahkan. Karena itu saya perlu menjelaskan bahwa nomor satu cara atau proses lahirnya surat itu, yang kedua supaya publik tahu bahwa itu bukan inisiatif saya. Kalau saya menjalankan perintah kemudian saya disalahkan melemahkan posisi kan tidak fair lah.
Dan sebetulnya kalau mau propper, sekarang kan katanya sudah diambil mayoritas saham. Ya selesai, nggak perlu lagi ada diskusi-diskusi atau reaksi yang berlebihan dari cerita ini. Ini anggap saja cerita sejarah yang perlu diketahui oleh publik, kemudian ambil sebagai catatan. Itu saja. Seperti Pak Simon menerbitkan bukunya kan. Tapi saya sebagai orang yang mengalami proses itu, membaca itu, berkepentingan meluruskan kepada publik.
Tapi kalau melihat kemarin hasilnya adalah seperti sekarang, yaitu 51% saham Freeport milik Indonesia, Pak Sudirman menilai bahwa surat Anda menjadi dasar kepada perundingan itu, negosiasi itu?
Saya nggak melihat ada hubungan itu karena seperti Pak Jonan tadi atau kemarin menyatakan bahwa, kata Pak Jonan, apa yang dihasilkan sekarang itu kan proses yang awal sama sekali. Jadi saya mungkin harus berasumsi pernyataan itu betul, karena surat itu tidak ada hubungan sama sekali dengan hasil perundingan. Dan sekali lagi perlu diluruskan bahwa apakah surat itu betul melemahkan, kalau memang keadaannya kan sudah mendapatkan 51%.
Waktu itu belum ada rencana sama sekali bahwa Indonesia akan mengambil 51% saham?
Tentu saja sejak bicara mengenai divestasi, kita selalu punya jangkauan ke sana. Bahkan saya sendiri menanyakan kepada salah satu petinggi Freeport. Ini supaya kita terbantu mengambil keputusan, kasih signal kepada kita, bahwa satu ketika Indonesia bisa menguasai 51% atau mayoritas saham. Itu akan sangat membantu kita dalam proses ini, dan saya berlali-kali bertanya soal itu.
Jadi pikiran itu ada tapi tidak sedrastis sekarang lah. Kan nomor satu perlu memberi kesempatan mereka menyelesaikan kewajiban-kewajiban. Lingkungan, kemudian smelter dibangun, investasi di tambang bawah tanah dikerjakan, jadi kan lumayan resikonya tidak digendong kita gitu. Tapi kalau ini semua masih gantung, kemudian sahamnya diambil alih mayoritas, itu artinya resiko itu kan berpindah ke kita sebagian besar. Jadi waktu itu sih bayangan saya begitu.
Dan saya tidak pernah dalam mood saya, dalam posisi menganjurkan pemerintah beli saham Freeport, bahwa uang pemerintah dipakai untuk yang lebih baik. Tapi kan sekarang sudah kejadian seperti itu jadi tidak boleh ada, Pak Jonan mengatakan jangan komentar-komentar lah, saya ikut saja nggak komentar lagi.
Karena waktu itu benar kenapa Moffett ke Presiden Jokowi, karena waktu itu Moffett lagi grillnya mencari dukungan terkait isu Indonesia akan mengambil 51% saham itu ya?
Saya nggak tahu, saya nggak tahu. Dan bahwa Moffett bergaul dengan banyak orang sejak dulu kan, karena dia ke sini kan dari tahun 60an-70, bahkan saya ingat November 2014 ketika sebulan saya baru dilantik, dia kan kortosi lah memberi selamat, ucapan saya begitu pertama kali, 'Pak Moffet, saya menghargai Anda sudah lama bergaul sama orang-orang Indonesia, tokoh-tokoh politik, tokoh-tokoh penting, tapi saya nggak mau ditekan-tekan ya. Kalau Anda ketemu siapa pun, saya diberitahu untuk supaya saya bisa jaga proses dengan baik' begitu.
Jadi saya nggak tahu apakah ketika itu sedang lobi-lobi saya nggak tahu.
Tadi Pak Sudirman mengatakan tidak merekomendasikan pembelian 51% saham Freeport, ini kenapa?
Tidak merekomendasikan seketika. Karena pertama sebaiknya memberi kesempatan pada dunia usaha, malah saya dorong waktu itu kan go public lah. Terus yang kedua sebaiknya sebelum diambilalih saham, Freeport menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang tadi, penyelesaian lingkungan, nanti bisa dicek ke DPR, sekarang mungkin masih ada masalah. Katanya salah satu syarat pengambilalihan adalah diselesaikannya dulu kewajiban lingkungan. Tapi sekarang kan sudah dibebaskan barangkali ya. Kemudian kewajiban untuk bangun smelter harus diselesaikan.
Kalau semua kewajiban itu dilaksanakan ketika kita tidak punya saham mayoritas, artinya kan bebannya ada di Freeport. Perhitungan begitu saja.
Kalau sekarang ternyata sudah diambil 51% berarti bebannya ke?
Nggak boleh komentar. Nggak boleh komentar, hahaha.
Jadi keputusan sudah diambil, kita hargai, dan nanti kita lihat resikonya bagaimana.
Kalau dari sisi keuntungan finansial, apakah jadi pertimbangan Pak Sudirman kemudian tidak merekomendasikan pembelian itu?
Tentu saja, tapi kan sebetulnya saham kita yang 9% sekian itu kan bertahun-tahun juga tidak mendapatkan dividen. Dengan alasan mungkin dijadikan fan untuk pengembangan, jadi ada banyak hal lah yang menurut saya sangat teknis. Jadi mungkin tidak pas diceritakan.
Karena kemarin saya ingat Pak Sudirman mengutip salah satu rilis dari Freeport, bahwa ternyata meskipun kita punya 51%, benefit ekonomi kita, 82% itu justru lari ke McMoran, bukan ke kita?
Itu sebenarnya informasi publik ya, dan saya mendapat dari kolega-kolega lah. Mereka bertanya bagaimana ini, dan saya kira baik untuk dijelaskan pada masyarakat. Karena 100% sahamnya Inalum kan punya negara ya, jadi seluruh tindakannya harus dipertanggungjawabkan ya. Jadi 24 Januari kalau tidak ada salah ada rilis dari Freeport McMoran yang menjelaskan beberapa hal tadi. Dan itu dicari di website, di internet ada.
Di sana dikatakan, meskipun mayoritas saham itu ada di pihak Indonesia, artinya Inalum dan Pemda, tetapi kontrol operasional tetap di tangan Freeport McMoran, dan itu kan memang bisa dilihat di struktur pengurusan. Chairmannya siapa, CEO-nya siapa, begitu. Terus yang kedua dikatakan mayoritas saham di Indonesia tapi 81% benefit ekonomi tetap akan dinikmati Freeport McMoran sampai tahun 2022. Yang ketiga kewajiban bangun smelter dan investasi selanjutnya dilakukan proporsional sesuai jumlah saham.
Jadi terlihat kalau orang awam baca ini, kok sahamnya dipegang mayoritas, tapi benefitnya sebagian besar ke sana, sementara resikonya proporsional. Ini kan menjadu tanya tanya, jadi kita perlu meminta pemerintah dalam hal ini Inalum atau Kementerian BUMN untuk menjelaskan. Ini suara saya sebagai orang yang sedang di oposisi, wajar saja perlu penjelasan karena itu haknya publik. Dan minta penjelasan begini berarti kita benci mau menyerang, biasa saja begitu. Itu lah demokrasi, begitu ada di luar pemerintah ya bertanya.
Kalau seharusnya yang 81 koma sekian persen itu menjadi haknya?
Tidak tahu, karena itu harus dijelaskan kepada publik, isi perjanjiannya apa sebetulnya. Kan begitu kan. Yang tidak pernah terbuka kan itu, isi perjanjian jual beli itu apa. Tentu saja itu diatur dalam perjanjian. Tapi akan lebih kalau detail perjanjian dibuka ke publik saja.
Kalau yang sudah dilihat adalah kontrol manajemen, Pak Sudirman melihat bahwa kontrol manajemen sekarang memang masih ada di McMoran itu, bukan di kita?
Lah kan itu ditulis oleh rilisnya sendiri, diakui oleh Freeport McMoran.
Maksudnya dalam praktiknya sekarang ini?
Saya nggak tahu, karena kan saya orang luar tidak bisa bertanya, tidak bisa, tidak punya hak lah untuk bertanya.
Dari susunan komisaris, direksi, dan sebagainya?
Kalau susunannya kan memang fungsi-fungsi utama dipegang oleh pihak mereka. dan itu itu biasa saja dalam perjanjian. Jadi bisa saja sebagai masa transisi karena tidak mungkin tiba-tiba pindah tapi yang paling penting adalah ini dijelaskan pada masyarakat. Kalau sekarang itu kan kita dapatnya dari luar kemudian ketika ini dibicarakan jadi wacana publik ada yang bereaksi berlebihan itu yang disayangkan.