"Affordability di kita beda dari negara maju, yang pendapatan cukup tinggi, dengan daya beli tinggi, kalau ada terobosan karena teknologi baru, cost cukup tinggi, itu bisa di- pass through ke konsumen," katanya.
Hal itu berbeda dengan di Indonesia. Dia bilang, Indonesia terbiasa dengan energi murah. Dia mencontohkan seperti halnya penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
"Kita ingat sejarah kita masa lalu. Kita terlalu dininabobokan oleh subsidi BBM, sehingga kita menikmati energi yang murah akibatnya saat kita beralih atau perubahan mindset agak susah," jelasnya
Dia juga mencontohkan, saat listrik naik pada tahun 2005-2006. Dari survei yang ia lakukan di Pekalongan, Jawa Tengah, kenaikan itu membuat warga sampai rela 'menarik' kabel sampai 1 km demi ada listrik. Padahal, listrik saat itu masih murah.
"Padahal harga listrik waktu itu 5 cent per kWh. Inilah yang di satu sisi ada masyarakat mampu ingin akses listrik, tapi secara politik agak sudah melakukan adjustment," ujarnya.
Namun begitu, dia bilang, pemerintah tengah mencari jalan agar pembangkit panas bumi itu cepat berkembang. Salah satunya dengan penyediaan infrastruktur yang dibangun pemerintah sehingga listrik panas bumi bisa murah dan diterima masyarakat.
"Ini kan panas bumi membangun infrastruktur, bisa nggak infrastruktur itu di-reimburse pemerintah, misalnya, karena sebagian dari infrastruktur pembangunan transmisi sudah dilakukan oleh developer. Misalnya PLTA Poso membangun sekitar 200 km transmisi dibiayai dulu oleh developer tapi reimburse oleh pemerintah. Nah strategi-strategi seperti ini yang kita upayakan," ujarnya.
"Mungkin teman-teman ingat ya PLTA harganya murah 5 cent per kWh bahkan kurang. Kenapa? Karena dam yang bangun pemerintah, untuk irigasi untuk lain-lain," tambahnya. (fdl/fdl)