-
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengkritisi pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi yang berjalan lamban. Sebab, hingga saat ini kapasitas terpasangnya hanya sekitar 2.000 megawatt (MW).
Hal itu disampaikan JK dalam acara bertajuk The 7th Indonesia Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2019 di JCC Senayan Jakarta, Selasa (13/8/2019). Acara itu dihadiri pengusaha di bidang panas bumi.
Oleh karena itu, JK meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT PLN (Persero) dan pelaku usaha lain untuk memecahkan masalah ini. Berikut selengkapnya dirangkum
JK mengaku heran dengan lambatnya perkembangan pembangkit panas bumi di Indonesia. Padahal, Indonesia punya pengalaman cukup lama.
"Semuanya sudah puluhan tahun, jadi kalau kita bisa mengatakan bahwa walaupun sudah 7 konferensi Pak Ketua ini kemajuannya lambat sekali. 7 kali bikin pameran, hasilnya baru 2.000 MW, (padahal) 30 tahun pengalaman," kata JK.
Bukan hanya panas bumi, JK menilai perkembangan energi terbarukan yang lain juga lamban.
"Nah bukan hanya geothermal yang lambat. Selama puluhan tahun energi terbarukan baru 8.000 MW itu termasuk PLTA, termasuk sebagiannya, angin, tapi biothermal PLTU itu sudah lama sekali, PLTU sudah ratusan tahun. Jadi pada dasarnya teknologi bukan masalah karena bisa dikuasai lebih mudah," ujar JK.
Oleh sebab itu, JK meminta agar Kementerian ESDM, PLN dan para pemangku kepentingan lain duduk bersama menyelesaikan masalah ini.
"Karena itulah maka, PLN, menteri ESDM harus mengkaji kenapa terjadi kelambatan proses ini. Karena arti daripada apa yang terjadi minggu lalu, tambah transmisi dan sistem. Karena harus diperbaiki, jadi listrik suatu infrastruktur yang tanpa hilir," ujarnya.
Di tempat yang sama, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Prijandaru Effendi mengatakan, di tahun 2018 ada tambahan kapasitas terpasang sebanyak 140 MW. Tahun ini diperkirakan ada tambahan 185 MW tambahan kapasitas sehingga total kapasitas menjadi 2.133,5 MW.
"Sampai saat ini baru 1.948,5 MW atau 7,8 persen dari potensi panas bumi yang dimanfaatkan. Untuk bisa genjot 23% dari energi terbarukan di tahun 2025 panas bumi diharapkan bisa 7.200 MW. Sehingga diperlukan tambahan 5.000 MW dalam 5 tahun ke depan," ujarnya.
Acara The 7th Indonesia Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2019 juga diisi oleh perjanjian kerja sama pengembangan panas bumi. Tapi, JK menyindir nilai perjanjian kerja sama itu.
JK bilang, kerja sama itu kecil nilainya. Seharusnya, perjanjian yang diteken di depannya lebih besar.
"Saya mengatakan minta maaf tadi, Dirutnya Pertamina Energi ya mbok kalau mau tandatangan perjanjian dibuka wapres dan menteri masa 10 MW, 200 kek, dengan asing lagi. Kalau kerja sama dengan pengusaha lokal boleh lah ya, 10 MW pakai perjanjian diteken aduh kelewatan itu, tidak percaya diri," kata JK.
JK menilai pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih sangat lambat. Dia memberi contoh salah satu pengoperasian PLTP Kamojang yang tidak berkembang sejak 35 tahun lalu.
"Jadi bukan barang baru kita mengenal geothermal di Indonesia. Kebetulan 35 tahun kapasitas Kamojang berapa 35 MW juga, jadi tahun depan 35, 35 megawatt ," jelas JK.
JK menyinggung banyaknya pameran maupun konvensi namun tidak berdampak kemajuan energi terbarukan. JK meminta jajarannya bekerja lebih serius.
"Jadi kalau kita bisa mengatakan bahwa walaupun sudah tujuh konvensi Pak Ketua, ini kemajuannya lambat sekali. Tujuh kali bikin pameran, hasilnya baru 2.000 MW," tutur JK.
Menanggapi kritik JK tersebut, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM FX Sutijastoto menjelaskan, karakter masyarakat Indonesia berbeda dengan negara maju. Di negara maju, dia bilang, listrik yang dihasilkan pembangkit dengan teknologi baru mudah diterima oleh konsumen.
"Affordability di kita beda dari negara maju, yang pendapatan cukup tinggi, dengan daya beli tinggi, kalau ada terobosan karena teknologi baru, cost cukup tinggi, itu bisa di- pass through ke konsumen," katanya.
Hal itu berbeda dengan di Indonesia. Dia bilang, Indonesia terbiasa dengan energi murah. Dia mencontohkan seperti halnya penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
"Kita ingat sejarah kita masa lalu. Kita terlalu dininabobokan oleh subsidi BBM, sehingga kita menikmati energi yang murah akibatnya saat kita beralih atau perubahan mindset agak susah," jelasnya
Dia juga mencontohkan, saat listrik naik pada tahun 2005-2006. Dari survei yang ia lakukan di Pekalongan, Jawa Tengah, kenaikan itu membuat warga sampai rela 'menarik' kabel sampai 1 km demi ada listrik. Padahal, listrik saat itu masih murah.
"Padahal harga listrik waktu itu 5 cent per kWh. Inilah yang di satu sisi ada masyarakat mampu ingin akses listrik, tapi secara politik agak sudah melakukan adjustment," ujarnya.
Namun begitu, dia bilang, pemerintah tengah mencari jalan agar pembangkit panas bumi itu cepat berkembang. Salah satunya dengan penyediaan infrastruktur yang dibangun pemerintah sehingga listrik panas bumi bisa murah dan diterima masyarakat.
"Ini kan panas bumi membangun infrastruktur, bisa nggak infrastruktur itu di-reimburse pemerintah, misalnya, karena sebagian dari infrastruktur pembangunan transmisi sudah dilakukan oleh developer. Misalnya PLTA Poso membangun sekitar 200 km transmisi dibiayai dulu oleh developer tapi reimburse oleh pemerintah. Nah strategi-strategi seperti ini yang kita upayakan," ujarnya.
"Mungkin teman-teman ingat ya PLTA harganya murah 5 cent per kWh bahkan kurang. Kenapa? Karena dam yang bangun pemerintah, untuk irigasi untuk lain-lain," tambahnya.