Masalah Harga Jadi Ganjalan Pengembangan EBT

Masalah Harga Jadi Ganjalan Pengembangan EBT

Vadhia Lidyana - detikFinance
Jumat, 09 Okt 2020 21:30 WIB
Indonesia memiliki iradiasi energi matahari rata-rata 4,80 kWh per m2 per hari. Sehingga menjadi pilihan yang baik sebagai alternatif sumber energi.
Ilustrasi/Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi salah satu pembicara dalam Forum ke-7 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dengan tema Green Finance Investment yang digelar secara virtual. Dalam forum itu, Sri Mulyani bicara hambatan mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia, yakni persoalan harga.

"Kita harus meninggalkan batu bara, minyak dan gas. Kita punya sumber EBT seperti geothermal, hydro, dan sekarang juga ada solar, dan bahkan angin. Masalahnya itu selalu soal harga yang tidak mencakup insentif yang tepat," kata Sri Mulyani, Jumat (9/10/2020).

Ia mengatakan, EBT dianggap sebagai sumber energi yang mahal dan tinggi risiko. Untuk mendorong produksi EBT itu pun, pemerintah punya banyak pekerjaan rumah (PR) yang sulit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saat ini, energi terbarukan sudah dianggap lebih mahal dan tinggi risikonya. Contohnya Indonesia punya banyak potensi geothermal, tapi untuk bisa menyediakan harga yang tepat di produk final, pemerintah harus menjelaskan isu soal risiko eksplorasinya. Nantinya dengan itu kita akan bisa memberikan garansi untuk eksplorasi, dan juga subsidi untuk di investor di EBT ini," papar Sri Mulyani.

Meski begitu, menurutnya pemerintah sudah berupaya agar EBT ini bisa terus didorong. Caranya ialah menyeimbangkan harga EBT dengan bahan bakar fosil agar masyarakat mau menggunakannya.

ADVERTISEMENT

"Tentu saja kita harus memastikan harganya harus terjangkau antara solar yang disubsidi, karena kita masih memberikan subsidi, dengan biofuel, atau sumber EBT lainnya. Ini adalah area-area yang kita mau address lebih konsisten menggunakan instrumen pajak seperti insentif, perpajakan, dan juga garansi dalam bentuk subsidi," imbuh Sri Mulyani.

Langsung klik halaman selanjutnya.

Selain hambatan harga, menurutnya kerja sama internasional yang ada masih belum sepenuhnya mendukung agenda dalam perlindungan lingkungan dan perubahan iklim ini. Ia mencontohkan, Indonesia sudah menerbitkan sukuk global seperti green bond atau obligasi berwawasan lingkungan, namun peminatnya masih sedikit.

"Saya harus mengakui, sejak kita terbitkan pada tahun 2018 sampai sekarang, kami belum melihat perbedaan harga dari investor internasional. Meski ada awareness dan semangat tentang perubahan iklim, kami belum sepenuhnya melihat itu, dan juga dampaknya pada instrumen yang akan memberikan nilai lebih baik jika menggunakan EBT," imbuh dia.

Oleh sebab itu, dalam forum itu ia mengajak berbagai negara, organisasi internasional untuk mendukung segala bentuk kerja sama dalam agenda perlindungan lingkungan dan pencegahan perubahan iklim, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.

"Dan ini adalah pekerjaan rumah (PR). Apakah komitmen internasional bisa benar-benar merefleksi untuk menciptakan perbedaan harga, sehingga ini akan memberikan sinyal adanya komitmen dari semua pihak baik fund manager, dan negara maju yang bisa mengarahkan harga yang tepat. Dan itu paling penting untuk negara-negara yang sudah berupaya, terutama negara berkembang seperti Indonesia yang terus berkomitmen atau memprioritaskan program yang berkaitan dengan isu perubahan iklim dan lingkungan," tutupnya.


Hide Ads