Bauran energi baru dan terbarukan (EBT) di tahun 2025 ditargetkan sebesar 23%. Bagaimana mengejar target bauran tersebut?
Head Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menuturkan progres EBT di Indonesia tertinggal dari negara lain.
"Pemerintah harus konsisten. Regulasi itu tidak hanya dari sisi penawaran, tapi juga permintaan. Ketika kebijakannya tidak konsisten, EBT jadi tidak menguntungkan dan sulit berkembang," kata Abra, Sabtu (30/1/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan, pemerintah cukup serius mengajak masyarakat menggunakan kendaraan listrik karena bisa mengurangi emisi. Namun di sisi lain, pasokan listrik untuk mengisi daya kendaraan listrik, masih dari batu bara.
"Dari permintaan didorong seolah EBT, tapi listriknya dari batu bara. Kebijakannya harus konsisten, artinya dari sisi suplai harus EBT seperti biomassa, surya, biogas, dan sebagainya," kata dia.
Abra melanjutkan, apabila ingin mengakselerasi EBT, pemerintah harus memberikan insentif pada sektor ini. Sebab investasi pembangkit EBT masih tergolong mahal dibandingkan pembangkit batu bara.
Insentif yang dimaksud tidak harus berupa fiskal, insentif non-fiskal seperti konsistensi regulasi juga perlu dimaksimalkan. Selain itu, pemerintah harus mampu memfasilitasi agar suplai EBT bisa terserap pasar domestik.
Meskipun membutuhkan investasi relatif besar, pembiayaan berkelanjutan di sektor EBT di Indonesia masih relatif kecil. Namun, beberapa lembaga keuangan mulai menggelontorkan pembiayaannya ke sektor ini.