Bye-bye PLTU cs! Ini Tahapan RI Jadi Ramah Lingkungan Termasuk Pakai Nuklir

Bye-bye PLTU cs! Ini Tahapan RI Jadi Ramah Lingkungan Termasuk Pakai Nuklir

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Kamis, 18 Nov 2021 18:00 WIB
Berdamai dengan PLTU Batu Bara
Ilustrasi/Foto: detik
Jakarta -

Indonesia punya rencana meninggalkan sumber energi fosil untuk pembangkit listrik di 2060. Indonesia akan mengoptimalkan berbagai sumber energi baru dan terbarukan (EBT), termasuk memanfaatkan nuklir.

Untuk sepenuhnya menjadi ramah lingkungan, ada beberapa tahapan yang mesti dilalui Indonesia. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif menjelaskan, rencana penyediaan listrik ini terdiri dari dua fase. Fase pertama yakni dari 2021 hingga 2030. Di fase pertama, pembangkit berbahan bakar gas dan batu bara masih mendominasi.

"Fase pertama 2021 sampai 2030 di mana kontribusi pembangkit berbahan gas dan batu bara masih mendominasi," katanya dalam acara Indonesia Energy & Coal Business Summit, Kamis (18/11/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fase kedua peran pembangkit dari EBT akan mendominasi. Hal ini untuk mendukung transisi energi, serta mengakomodir pertumbuhan permintaan listrik dan mengompensasi pembangkit listrik yang dipensiunkan.

Dia memperkirakan, pada tahun 2035 bauran energi dari EBT mencapai 50%. Pembangkit EBT akan didominasi oleh pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

ADVERTISEMENT

"Diperkirakan pada tahun 2035 bauran EBT pembangkit mencapai hingga 50% yang didominasi oleh PLTS, baik itu rooftop, solar farm, dan floating," terangnya.

Di tahun 2060, seluruh pembangkit berasal dari EBT. Pembangkit itu didukung dengan penerapan teknologi baterai hingga pembangkit nuklir.

"Pada 2060 diharapkan seluruhnya berasal dari pembangkit EBT yang didukung penerapan teknologi baterai, energy storage system dan hidrogen serta juga membangun pembangkit listrik tenaga nuklir," ungkapnya.

Genjot PLTS bukan hal mudah. Cek halaman berikutnya.

Untuk mendorong PLTS bukan tanpa tantangan. Kepala Badan Riset dan Teknologi Kadin Indonesia, Ilham Habibie mengatakan yang menjadi pertanyaan saat ini adalah sistem penyimpanannya. Sebagaimana diketahui, karakter listrik PLTS tidak stabil.

"Yang sampai hari ini masih jadi pertanyaan adalah bagaimana dengan storage-nya. Karena kita juga sama-sama ketahui bahwasanya karakter daripada listrik berdasarkan tenaga surya itu adalah sesuatu yang banyak turun naiknya, siang hari ada tenaga surya, kalau malam tidak," katanya.

Kondisi itu mengharuskan adanya sistem penyimpanan berupa baterai. Namun, saat ini harga baterai sangat mahal.

"Itu mengharuskan adanya storage melalui baterai yang semua kita ketahui, dengan teknologi saat ini memasukkan itu dalam biayanya masih sangat mahal," terangnya.

Sistem penyimpanan bukan satu-satunya tantangan dalam pengembangan PLTS. Dia bilang, jaringan juga menjadi tantangan karena PLTS membutuhkan backup.

"Bukan hanya dari storage, desain jaringan listrik di banyak negara termasuk Indonesia memang kalau kita tarik temen-temen PLN mereka selalu agak cemas terhadap banyaknya tenaga listrik surya. Mereka selalu ada backup untuk tenaga surya, karena mereka tidak yakin bahwasanya dengan adanya intermiten yang seperti itu desain daripada jaringan listrik yang kita punyai di Indonesia sesuai yang akan dihadapi," paparnya.


Hide Ads