Jakarta -
Indonesia protes keras pengenaan bea masuk impor biodiesel hingga 18% oleh Uni Eropa. Apalagi, alasan pengenaan tarif tersebut lantaran Indonesia dinilai jor-joran memberi subsidi kepada pengusaha sawit. Pemerintah membantah tudingan tersebut tidak sesuai fakta yang ada.
Awalnya, Uni Eropa lewat Badan Biodiesel Eropa (European Biodiesel Board/EBB) mempermasalahkan biodiesel dari Indonesia. Menurut EBB, pemerintah Indonesia terlalu banyak memberikan bantuan subsidi kepada eksportir bio diesel. Subsidi tersebut disebut dapat mendistorsi harga sawit.
Alhasil, EBB mengeluarkan pengenaan bea masuk imbalan sementara (BMIS) yang diterapkan pada produk biodiesel.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak terima dengan apa yang dilakukan Uni Eropa Indonesia pun protes, Mau tahu informasi lengkapnya? Baca di halaman berikut ini:
Biodiesel Indonesia yang diekspor ke negara-negara Uni Eropa akan dikenakan bea masuk 8-18% oleh Komisi Eropa. Alasannya, karena perusahaan sawit yang memproduksi biodiesel dianggap mendapat insentif berupa subsidi besar-besaran dari Pemerintah Indonesia.
Dilansir dari Reuters, Kamis (25/7/2019), awalnya Badan Biodiesel Eropa (European Biodiesel Board) mengeluhkan persoalan ekspor biodiesel dari Indonesia. Berangkat dari keluhan itu, sejak September 2018 Komisi Eropa melakukan penyelidikan antisubsidi terkait produk biodiesel dari Indonesia.
Hasil penyelidikan tersebut, otoritas Uni Eropa mengklaim bukti atas pemberian bantuan subsidi dari pemerintah berupa insentif pajak besar-besaran terhadap ekspor CPO dan juga turunannya.
Otoritas Uni Eropa masih akan menunggu hasil penyelidikan menyeluruh dari Komisi Eropa mengenai subsidi besar-besaran terhadap perusahaan sawit RI yang memproduksi dan mengekspor biodiesel.
Hasil penyelidikan ini targetnya harus selesai pada 4 Januari 2020. Sehingga, otoritas negara-negara Uni Eropa dapat menetapkan peraturan bea masuk terhadap biodiesel Indonesia.
Menurut Direktur Pengamanan Perdagangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati pemerintah keberatan pada metode penghitungan bea masuk yang diduga hanya menggunakan best information available (BIA) dari pihak UE saja.
BIA kata Pradnyawati hanya memperhatikan data dan anggapan yang didapatkan dari Eropa saja, sehingga kurang sesuai dengan fakta sebenarnya yang terjadi di Indonesia.
"Dalam proposal yang diajukan UE diindikaska adanya penerapan BIA yang menjadi sangat tidak masuk akal. Tuduhannya mereka kan adalah pemerintah berikan subsidi yang dilarang, dari situ bisa mendistorsi harga sawit," kata Pradnyawati di kantornya Jumat (26/7/2019).
Untuk itu pemerintah pun aktif berkomunikasi dengan pihak Uni Eropa, Desember lalu saat penelitian mengenai bea masuk ini dilakukan pemerintah langsung melakukan konsultasi ke Brussel mengenai ketidakakuratan tuduhan yang dilayangkan.
Setelah pertemuan di Brussel, Uni Eropa meminta data semua supplier perusahaan eksportir sawit karena banyaknya perusahaan, pemerintah meminta mengambil sampel 10 perusahaan, Uni Eropa pun melakukan verifikasi langsung ke Indonesia untuk hal ini.
"Dari laporan data perusahaan sawit dan verifikasi yang dilaksanakan UE, akhirnya mereka mengkalkulasikan datanya dalam hitungan bea masuk 8-18% yang dimulai dengan penerapan anti-subsidi UE," kata Pradynawati.
Pradyanawati pun menegaskan pemerintah masih terus berkomunikasi dan mengajukan segala keluhan serta protesnya ke pihak UE mengenai bea masuk yang diajukan.
"Kita masih bisa terus menyampaikan bukti-bukti baru ke mereka untuk terus menyanggah konklusi sampai awal tahun 2020 Januari saat keluar final determintion," kata Pradynawati.
Menurut Direktur Pengamanan Perdagangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati Uni Eropa memang sedang melakukan langkah proteksi terhadap minyak nabatinya.
"Ini adalah tindakan proteksionis, pastinya bahwa ini satu brand strategi yang terstruktur sistematis dan masif. Intinya adalah mereka nggak mau minyak nabati Eropa tersaingi sama negara tropis, palm oil itu efektif," kata Pradnyawati.
Sebelumnya, beberapa bulan lalu sawit pun dipermasalahkan di Eropa, melalui Delegated Act Red II, Uni Eropa menolak sawit sebagai energi terbarukan. Hal ini memunculkan diskriminasi sawit di seluruh tanah Eropa.
Menurutnya Uni Eropa menggempur sawit Indonesia dari segala arah. Mulai dari isu deforestasi, dumping, sampai subsidi.
"Karena itu kita digempur dari segala arah, deforestasi, kesehatan, dumping, lalu sekarang subsidi, lalu hak anak orang utan segala lah. Semua yang mereka bisa lakukan dilakukan untuk jaga agar palm oil tidak banjir di sana," kata Pradnyawati.
Untuk permasalahan yang dibawa EBB, Pradnyawati membantah bahwa eksportir masih diberikan subsidi. Katanya, eksportir bukan lagi perusahaan kecil, otomatis bisa berdiri sendiri tanpa subsidi.
"Posisi umumnya, eksportir kita ini sudah sangat mandiri dan besar. Bukan perusahaan kemarin sore berdiri, mereka jelas nggak perlu subsidi dari pemerintah, mereka bisa berdiri sendiri," kata Pradnyawati.
Uni Eropa lewat Badan Biodiesel Eropa (European Biodiesel Board/EBB) mempermasalahkan biodiesel dari Indonesia. Menurut EBB, pemerintah Indonesia terlalu banyak memberikan bantuan subsidi kepada eksportir bio diesel. Subsidi tersebut disebut dapat mendistorsi harga sawit.
Alhasil, EBB mengeluarkan pengenaan bea masuk imbalan sementara (BMIS) yang diterapkan pada produk biodiesel. Hal ini cukup merugikan produk andalan yang satu ini, padahal ekspor yang dihasilkan biodiesel di Eropa cukup besar.
Direktur Pengamanan Perdagangan Ditjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati menjelaskan di tahun 2018 saja terjadi kenaikan ekspor biodiesel ke Eropa sebanyak 356,16%.
"Ini (biodiesel) memang signifikan ke Eropa dari 2017 ke 2018 saja ekspor meningkat kesana sekitar 356%, itu mungkin yang picu mereka menekan kita," kata Pradnyawati di kantornya, Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Halaman Selanjutnya
Halaman