Jakarta -
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat (Jabar) kemarin, Senin (4/11/2019) menggelar unjuk rasa di depan kantor Kementerian Keuangan. Dalam aksi tersebut, APTI Jabar juga menyampaikan keberatannya mengenai kenaikan cukai rokok rata-rata 23%, dan harga jual eceran (HJE) rata-rata 35% yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 152 tahun 2019.
Selain memprotes kenaikan cukai rokok, APTI Jabar juga mengajukan keberatan mengenai Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang diatur dalam PMK nomor 222 tahun 2017.
APTI Jabar juga menyampaikan aspirasinya terkait volume impor tembakau di industri. APTI meminta agar pemerintah membatasi impor tembakau agar tembakau petani dalam negeri bisa terserap lebih banyak dan harga tak anjlok.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Petani Minta Kenaikan Cukai Rokok Hanya 15%Pengurus DPC APTI Jabar, Didi Rohmana mengatakan, pihaknya meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali kenaikan cukai rokok. Menurutnya, yang ideal kenaikannya sebesar 10-15%.
"Yang pertama memperhatikan kenaikan cukai, ini perlu dipertimbangkan, jangan terlalu tinggi sampai 23%. Kami minta 10-15%. Kata Pak Dirjen itu di dalam proses pembahasan di tingkat menteri," ujar Pengurus DPC APTI Jabar, Didi Rohmana kepada detikcom di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Menjawab hal tersebut, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi mengatakan, pada penerapannya kenaikan cukai rokok bervariasi. Misalnya, kenaikan cukai rokok untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT) dimulai dari 12%. Kebijakan tersebut dilakukan untuk memperhatikan nasib tenaga kerja dan petani di industri padat karya tersebut.
"Kalau kita perhatikan PMK 152 itu meskipun average-nya adalah 23% dan 35%, tapi kalau kita lihat detailnya itu variatif. Pemerintah betul-betul telah memperhatikan kemampuan antar golongan, kemampuan antar jenis rokok. Sehingga kenaikan cukai rokok jenis SKT start-nya dari 12%. Itu membuktikan bahwa pemerintah memperhatikan tenaga kerja yang di industri padat karya, makanya kenaikan tarif SKT itu terendah. Ini berbeda dengan yang mesin, yang relatuif lebih tinggi," papar Heru.
Menurutnya, kenaikan cukai rokok memang difokuskan untuk mengendalikan konsumsi dan produksi rokok. Namun, pemerintah tetap memperhatikan nasib industri dan tenaga kerja.
Lanjut ke halaman berikutnya >>>
Kenaikan cukai rokok rata-rata 23%, dan harga jual eceran (HJE) rata-rata 35% mulai tahun 2020 jadi kontroversi baik di tingkat petani, tenaga kerja, dan juga industri.
Isu-isu PHK karyawan, peredaran rokok ilegal marak, dan lain-lain menghantui kebijakan kenaikan cukai rokok rata-rata 23% ini. Menjawab hal tersebut, Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi mengatakan, kenaikan cukai rokok kali ini bukanlah hal yang luar biasa.
Ia mengatakan, cukai rokok memang setiap tahun naik 10%. Mengingat dua tahun ke belakang cukai rokok tak naik, maka kenaikan 23% kali ini dinilainya wajar.
"Kalau kita perhatikan setiap tahun itu naiknya juga 10%, bukan hal yang luar biasa. Dan kita tidak mendengar ada gejolak yang luar biasa," kata Heru di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Kemudian, dalam menetapkan kenaikan cukai rokok jenis SKT yang paling rendah membuktikan bahwa pemerintah memperhatikan nasib pekerja dan petani di industri padat karya tersebut.
Selain itu, Heru berpendapat, di level petani tembakau kekhawatiran utama yang dirasakan adalah soal penyerapan, bukan kenaikan cukai rokok. Hal tersebut ia sampaikan usai ia bertemu dengan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jabar yang berdemo di depan kantornya.
"Petani concern-nya sebenarnya tidak terkait langsung dengan tarif. Tetapi mereka memang mengkaitkan dengan tarif. Begitu diskusi, ternyata kami memahami bahwa concern mereka adalah keterserapan dari hasil tembakau, pertanian mereka, dan solusinya sudah kami sampaikan," urainya.
Lanjut ke halaman berikutnya >>>Sekitar 400 petani yang tergabung dalam APTI Jabar menggeruduk kantor Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemarin. Selain kenaikan cukai rokok, ada dua hal lain yang diprotes APTI Jabar
Pertama, terkait Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang diatur dalam PMK nomor 222 tahun 2017. Dalam aturan tersebut, Didi mengatakan, petani meminta agar DBH CHT yang diperuntukkan untuk petani dan juga untuk program kesehatan di Pemerintah Daerah (Pemda) dibagi rata, yakni 50% dan 50%. Didi mengungkapkan, dalam regulasi tersebut diatur DBH CHT untuk kesehatan minimal 50%. Dalam implementasinya, DBH CHT untuk kesehatan dapat tembus hingga 90%, dan untuk petaninya hanya 10%.
"DBH CHT kan dibagi dua, untuk kesehatan dan untuk petani. Pembagian PMK yang sekarang itu kan paling sedikit 50% untuk kesehatan. Jadikan 50-50% lah, jadi ada untuk petani. Tapi kalau paling sedikit itu petani kan hanya 10%. Makanya kami minta pembatasannya jangan minimal, tapi maksimal," terang Didi.
Kedua, terkait volume impor tembakau di industri. APTI meminta agar pemerintah membatasi impor tembakau agar tembakau petani dalam negeri bisa terserap lebih banyak dan harga tak anjlok.
"Impor tembakau yang besar-besaran masuk ke kita, makanya harga tembakau kita turun karena dilanda impor. Itu kebanyakan di Jawa Tengah (Jateng), di pabrik-pabrik rokok. Kalau impor terlalu banyak otomatis harga tembakau lokal akan turun," papar Didi.
Mengenai tuntutan APTI soal serapan tembakau petani, Heru mengatakan bahwa pemerintah akan berupaya meningkatkan serapan hasil tembakau petani rakyat. Dalam hal ini, serbuan impor hasil tembakau juga akan dikendalikan pemerintah, sehingga serapan hasil tembakau petani meningkat.
"APTI ini concern dengan serapan. Dan pemerintah sebenarnya sudah merespon dari rapat-rapat teknis yang insyaallah dari 1-2 pertemuan ini akan selesai. Dan pemerintah sesuai arahah Presiden akan memperhatikan petani melalui serapan produksi. Yang kedua tentunya ini bisa dikaitkan dengan volume impor. Kita akan mengatur volume impor dan memastikan produksi petani bisa diserap," ungkap Heru di kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Dalam mengatur volume impor tembakau ini, Heru mengatakan pihaknya perlu berkoordinasi dengan kementerian/lembaga (K/L) terkait.
"Ini akan kita atur melalui formula yang terintegrasi antara K/L. Karena ada kepentingan petani, industri, dan juga perdagangan," ujar dia.
Selanjutnya, mengenai DBH CHT yang diatur dalam PMK 222 tahun 2017, Heru mengungkapkan pihaknya akan merilis PMK baru, yaitu PMK 139 tahun 2020. Dalam PMK 139 tersebut, formulasi DBH CHT akan berbeda dan Pemerintah Pusat akan mengawasi Pemerintah Daerah (Pemda) dalam mengatur DBH CHT.
"Yang kedua terkait dengan aspirasi untuk mendapatkan porsi yang proporsional dari dana bagi hasil cukai tembakau maka sebenarnya pemerintah melalui PMK 139 yang berlaku tahun depan itu sudah memodifikasi formulanya. Dan yang sebelumnya menyerahkan sepenuhnya kepada Pemda, jadi nanti akan mulai ada penilaian-penilaian dari kementerian terkait tentang peruntukkan DBH itu," jelas Heru.
Halaman Selanjutnya
Halaman