Jakarta -
Industri baja nasional baru saja mendapatkan pasokan tenaga tambahan. PT Krakatau Steel selaku pabrikan baja pelat merah baru saja meresmikan operasi pabrik Hot Strip Mill 2 di Cilegon, Banten.
Pabrik baja ini diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pabrik yang memproduksi baja canai panas atau hot rolled coil (HRC) ini menjadi gebrakan baru industri baja nasional karena menggunakan teknologi 4.0 terbaru.
Jokowi mengatakan pabrik baja dengan teknologi ini hanya ada dua di dunia, yakni di Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hanya ada dua di dunia, pertama di Amerika Serikat dan yang kedua di Indonesia yaitu di Krakatau Steel. Tadi saya sudah melihat ke dalam proses produksinya betul-betul memang teknologi tinggi," tutur Jokowi dilansir dari akun Youtube Sekretariat Presiden, Senin (21/9/2021).
Menurut Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim gebrakan pabrik baja ini nampaknya dapat membuat Indonesia terlepas dari ketergantungan baja impor.
Dia menjabarkan khusus untuk produk hot rolled coil (HRC), kapasitas produksi dalam negeri sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan. Dia menjabarkan kebutuhan baja dalam negeri yang biasa diimpor mencapai 3,5-4,5 juta ton.
"Kalau kita khususkan bicara ke hot rolled coil, kebutuhan yang sering diimpor itu sampai 4,5 juta ton dalam situasi normal, dalam kondisi COVID itu 3,5 juta ton," ungkap Silmy dalam acara Market Review IDX Channel, Rabu (22/9/2021).
Sementara itu, kapasitas produksi Krakatau Steel baru saja bertambah 1,5 juta ton dengan beroperasinya pabrik baja Hot Strip Mill 2 yang baru saja diresmikan. Ditambah lagi selama ini Krakatau Steel mampu memproduksi 2,4 juta ton baja. Totalnya, ada 3,9 juta produksi baja dari Krakatau Steel.
Itu baru Krakatau Steel, produksi baja HRC dari produsen lain bisa mencapai kisaran 1 juta ton. Maka kapasitas produksi nasional bisa mencapai 4,9 juta ton. Dengan data tersebut, dia mengatakan seharusnya impor baja tak lagi diperlukan.
"Kalau kebutuhan yang hanya 3,5-4,5 juta ton, dan produksi 4,9 juta ton sudah dipenuhi, seharusnya nggak dibutuhkan," kata Silmy.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Silmy yakin ke depannya kebutuhan industri baja akan semakin banyak. Apalagi dengan meningkatnya kapasitas industri otomotif dan pembangunan infrastruktur.
"Ini bakal naik kebutuhannya lagi dengan pembangunan industri dan infrastruktur," ungkap Silmy.
Dia juga mengungkapkan, baja produksi lokal sangat layak bersaing kualitasnya dengan yang impor. Bagusan mana sih?
Silmy menilai baja lokal siap bersaing. Bahkan, kalau dilihat kualitasnya sebetulnya baja impor sangat jauh di bawah standar yang ada untuk keperluan industri.
Menurutnya, harga memang menentukan kualitas. Harga murah yang biasa ditawarkan baja impor, bisa saja di baliknya ada standar yang diturunkan.
"Jadi gini, produk baja itu kita bisa hitung, iron ore kita tahu harganya berapa, naik turun berapa kita tahu, Proses produksi kita paham. Kalau harga itu murah, bisa jadi pasti standar ada yang dikurangi," ungkap Silmy.
Dia melanjutkan biasanya baja-baja impor itu tidak sesuai Standar Nasional Indonesia alias SNI, misalnya saja ketipisannya.
Menurutnya hal ini bisa merugikan konsumen, apalagi yang terjebak iming-iming harga murah. Dia mengakui memang kebanyakan konsumen hanya ingin harga murah, setelah dibeli ternyata kualitasnya tidak sesuai.
"Yang diimpor ini memang sering nggak sesuai Standar Nasional Indonesia, ketipisannya misalnya. Untuk produk yang digunakan di hilir lebih tipis dan nggak sesuai SNI. Sudah begini yang dirugikan siapa? Konsumen," papar Silmy.
"Tahunya mereka harga yang lebih murah saja, tetapi kualitas jauh lebih buruk," katanya.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Bicara soal baja lokal, dia menjamin kualitasnya nomor wahid dan lebih baik dari produk baja impor. Produk Krakatau Steel saja misalnya, sejauh ini produk bajanya sudah diekspor sampai ke Eropa.
Menurutnya, dengan diterima di kalangan industri Eropa sudah sangat cukup untuk membuktikan kapasitas dan kualitas baja lokal.
"Produk kita itu sudah dipakai ke Eropa, seharusnya kita bangga produk kita masuk Eropa. Kalau bilang kualitas kita jelek, lihat saja kita masuk Eropa kok jelek. Itu sebagai bukti," ungkap Silmy.
Dia menambahkan, untuk memajukan industri baja nasional saat ini caranya cuma satu, yaitu memperbaiki manajemen impor. Dia menilai baja menjadi hulu dari segala industri, dengan kapasitas yang dimiliki industri baja nasional harusnya produksi baja bisa dimaksimalkan untuk kebutuhan dalam negeri dibandingkan dengan baja impor.
"Kalau impor bisa ditata baik bisa lebih besar lagi kapasitas kita. Kita ini harus andalkan hulu dari dalam negeri," ujar Silmy.