Sesampainya di Kendal, terlihat truk besar berbaris berjejer di pinggir jalan samping persawahan. Sebagian dari mereka istirahat di warung kopi, sebagian juga tidur di truk.
Edi yang tengah duduk di samping truknya juga mengutarakan hal yang sama. Dia diberikan ongkos jalan pas-pasan oleh perusahaannya, tidak ada alokasi khusus untuk tol.
"Saya ini dari Surabaya mau ke Tangerang, dikasih Rp 2,5 juta. Buat solar Rp 1,4 juta, bongkar muat Rp 200 ribu, makan dua orang Rp 400.000. Sisa Rp 500.000, kalau lewat tol nanti yang di rumah (istri) ngambek, kita enggak bisa bawa duit," tuturnya.
Uang sisa Rp 500.000 itulah yang bisa Edi kantongi, itupun harus dibagi lagi dengan keneknya. Uang itu juga masih bisa berkurang jika diperjalanan ada kendala, seperti ban bocor hingga 'menyogok petugas'.
Maklum barang yang dia angkut melebihi batas ketentuan. Jika tidak igin barangnya diturunkan ataupun ditilang, dia terpaksa melancarkan rayuan ke petugas.
"Truk saya harusnya angkut 11 ton, tapi ini angkut 24 ton. Isinya kertas. Kalau ekspedisi pasti kelebihan muatan," akunya.
Oleh karena itu, sebenarnya Edi lebih suka untuk melalui jalur tol. Selain tidak harus melalui jembatan timbang, dia juga bisa menghemat waktu perjalanan, sehingga bisa lebih cepat pulang bertemu keluarganya
Dari hasil pengakuan para supir truk itu, memang mereka merasa tarif Tol Trans Jawa terlalu mahal. Namun jika dia mendapatkan ongkos dari perusahaan lebih besar, mereka tetap memilih jalur tol. (das/ara)