3 Fakta Soal Dilema Palang Pintu Kereta Liar

3 Fakta Soal Dilema Palang Pintu Kereta Liar

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Jumat, 01 Jul 2022 07:00 WIB
Perlintasan sebidang liar/Herdi Alif Alhikam
Foto: Perlintasan sebidang liar/Herdi Alif Alhikam
Jakarta -

Eksistensi palang pintu kereta liar jadi polemik. Di Jakarta dan sekitarnya saja kehadiran palang pintu liar masih sering ditemui di sepanjang rel kereta api.

Pada dasarnya, kehadiran palang pintu liar ini melanggar aturan. Dalam aturan yang ada, hanya perlintasan sebidang yang resmi saja yang boleh beroperasi. Sementara yang liar harus ditertibkan dan harus ditutup.

Namun realitanya, kebanyakan perlintasan sebidang yang liar dibuat dan digunakan untuk keperluan masyarakat sekitar jalur kereta api. Penutupan perlintasan liar pun seringkali diprotes, bahkan ada yang berujung dengan pembukaan paksa oleh masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlepas dari polemik yang terjadi, nyatanya masih banyak orang yang menggantungkan nasibnya pada palang pintu liar ini. Berikut ini 3 faktanya.

1. Dibutuhkan Masyarakat

Meski jelas-jelas dilarang dan sering jadi biang kerok kecelakaan, nyatanya masih banyak perlintasan sebidang liar bermunculan. Dari penelusuran detikcom, di kawasan Citayam, Depok, berjejer lintasan sebidang liar yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat.

Bahkan, dalam jarak sekitar 2 kilometer saja nampak terlihat ada 3 perlintasan liar berjejeran di kawasan tersebut.

ADVERTISEMENT

Salah satu dari 3 perlintasan itu adalah perlintasan liar Rawa Geni yang sempat menjadi lokasi kecelakaan tabrakan antara kereta Commuter Line dan sebuah mobil. Beruntungnya, kala itu tak ada korban jiwa. Namun yang jelas, perlintasan itu sempat ditutup pemangku kepentingan kereta api, tetapi atas kesepakatan warga perlintasan itu pun dibongkar dan dibuka kembali.

detikcom sempat berbincang dengan penjaga di salah satu perlintasan liar di kawasan Citayam, tepatnya di Gang SMP Ratu Jaya. Menurut pengakuan Femri, penjaga palang pintu di Gang SMP, perlintasan sebidang yang dijaga olehnya memang sangat dibutuhkan masyarakat.

Femri menolak apabila imbas dari kecelakaan Rawa Geni, perlintasan sebidang yang dijaga olehnya harus ikut-ikutan ditutup. Biar begitu, sejauh ini meskipun perlintasan yang dijaganya ilegal, belum ada kabar atau arahan untuk ditutup.

"Kalau mau ditutup ya mesti lihat dulu nih, ini ada sekolahan, ada kampung juga kan. Kalau ditutup kagak ada akses lagi kan. Nah kita mau gimana? Masak mau lompat kita? Entar kejadian lebih bahaya lagi," ujar Femri kala ditemui detikcom saat sedang berjaga, Rabu (29/6/2022).

Sebagai perlintasan liar, Femri tak menampik perlintasan yang dijaganya memang ilegal dan sudah risikonya harus ditutup.

Dia juga menyadari perlintasan yang dijaganya cukup membahayakan, hanya saja perlu dibicarakan secara mendalam bila mau ditutup.

"Wajar sih kalau ilegal mau ditutup, apalagi kalau, amit-amit ya, di sini ada kejadian (kecelakaan). Dibilang aman juga nggak aman banget, yang jaga aja saya manual-manual aja. Cuma sekali lagi, nggak bisa asal tutup harus ada omongan ke warga," tutur Femri.

"Saya juga kan kerja keras di sini jagain. Panas-panas, ujan-ujanan juga, tanggung jawab saya gede juga," katanya.

Setali tiga uang, Rusfendi, penjaga palang pintu di perlintasan sebidang liar di Gang Kembang juga menyebutkan hal yang sama. Katanya, perlintasan sebidang sangat dibutuhkan masyarakat sebagai jalan akses. Cukup sering juga bila jalan utama Citayam macet ataupun jalan di kawasan Dipo macet, perlintasan yang dijaganya pun jadi jalan alternatif.

"Ya jangan deh (ditutup), ini kan dibutuhin sama warga sini. Mau ke mana-mana lewat sini aksesnya. Kalau sini di Citayem macet, apa nggak di Dipo macet, Gang Kembang sering jadi alternatif. Ya lewatnya sini-sini juga," ungkap Rusfendi ditemui detikcom di perlintasan Gang Kembang.

Lanjut ke halaman berikutnya

2. Tempat Cari Penghidupan

Bagi Femri, Rusfendi, dan kawan-kawannya, menjaga palang pintu menjadi penghidupan. Mereka menggantungkan nasibnya pada palang pintu liar ini.

Selama 3 tahun terakhir, Femri bergantian dengan dua kawannya menjaga perlintasan sebidang di kawasan Citayam, Depok, Jawa Barat. Tepatnya, di palang pintu rel Gang SMP Ratu Jaya.

Selama ini ada dua shift yang dia jalani, terkadang jaga pagi hingga sore dari pukul 5.00-17.00 WIB. Sebaliknya, ada juga shift malam yang dimulai sore pukul 17.00 WIB dan selesai pukul 5.00 WIB esok paginya.

"Saya gantiin om saya aja di sini. Awalnya om saya. Dia dapat kerja, saya justru hilang pekerjaan pas pandemi, dulunya saya OB. Ya udah jaga-jaga aja sini dulu," ungkap Femri.

Sebagai penjaga palang pintu, Femri tak memiliki pendapatan yang tepat. Sumbangan sukarela jadi pengharapannya. Syukur-syukur pengguna jalan yang lewat perlintasan mau membagi uang recehnya untuk menambah pundi-pundi pendapatan Femri.

Dalam satu hari, Femri mengaku paling banyak mendapatkan uang dari sumbangan sukarela masyarakat cuma sebesar Rp 50.000. Itu baru angka paling besar, kadang-kadang malah Femri cuma bisa mengumpulkan uang sebesar Rp 20.000-30.000 saja.

Namun dia tak menampik terkadang warga sekitar suka memberikan dia dan timnya uang lebih dalam sebulan karena sudah berjasa menjaga palang pintu. Namun jumlahnya pun tak banyak, harus dibagi ke 3 orang pula.

"Tambahannya ya paling dari pengurus suka ngasih Rp 300.000-400.000, itu juga saya bagi 3 kan. Kalau nggak ya sekolahan ini suka ngasih juga," kata Femri.

Meski terkesan pas-pasan, Femri bilang selama ini pendapatannya cukup buat nafkahi keluarga. "Dicukup-dicukupin aja dah gimana caranya, sering disisihin Rp 5.000 sehari buat bayar kontrakan," tuturnya.

Cerita tak jauh berbeda turut dirasakan Rusfendi, penjaga palang pintu perlintasan sebidang kereta api di Gang Kembang, Citayam. Pria yang sudah selama 20 tahun menjaga palang pintu kereta ini pun mengharapkan sukarela masyarakat untuk mendapatkan penghasilan.

Selain sumbangan receh masyarakat saat lewat perlintasan yang dijaga Rusfendi, dia dan timnya yang berjumlah 3 orang juga diizinkan melakukan penarikan sumbangan dari pintu ke pintu. Sekali jalan, pihaknya bisa mengantongi Rp 500.000-750.000, bahkan pernah sampai Rp 1.000.000.

"Kalau saya kan ibarat sebulan sekali diizinin sama pengurus sini muterin pintu ke pintu minta sumbangan buat palang pintu. Ya bisa dapet sekali jalan Rp 750.000, paling gede Rp 1.000.000, tapi itu dibagi 3," kata Rusfendi.

Sementara untuk sehari-hari, Rusfendi mengandalkan sumbangan receh pengguna jalan. Kira-kira dalam sehari menurutnya bisa mendapatkan uang sebesar Rp 50.000-75.000, paling banyak pernah mencapai Rp 100.000.

Lanjut ke halaman berikutnya

3. Melanggar Aturan

Secara hukum eksistensi perlintasan sebidang liar macam yang dijaga Femri, Rusfendi, dan kawan-kawannya memang melanggar aturan. Menurut Kepala Humas KAI Daop I Eva Chairunisa semua pemangku kepentingan kereta api harus mengacu pada UU Nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Ada beberapa pasal yang mengatur soal perlintasan sebidang.

Pasal 91 ayat 1 menjelaskan, seharusnya perpotongan jalur kereta api dan jalan biasa dibuat tidak sebidang. Bisa saja perpotongan jalur itu dibuat berupa jembatan ataupun fly over. Meski begitu di pasal lainnya perlintasan sebidang masih diperbolehkan asalkan menjadi perlintasan resmi.

Nah nasib perlintasan sebidang liar tak berizin, menurut Eva, seharusnya mengacu pada pasal 91 ayat 1 yang menyebutkan perlintasan liar itu harus ditutup. Masih di pasal 94, tepatnya pada ayat 2, penutupan perlintasan sebidang liar dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

"Pasal 94 ayat 1 menyebutkan utuk keselamatan perjalanan KA dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup," ujar Eva kepada detikcom.

Dia mengatakan pihaknya terus melakukan penertiban pada perlintasan sebidang yang liar. Sejak awal tahun sudah ada 21 titik perlintasan liar yang ditutup oleh pihaknya.

"Adapun dari upaya penutupan perlintasan liar yang dilakukan oleh Daop 1 Jakarta sejak Januari 2022 sampai sekarang sebanyak 21 titik perlintasan liar sudah dilakukan penutupan," papar Eva.

Sementara itu, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono menyatakan sudah seharusnya masyarakat mau mematuhi aturan yang ada. Menurutnya, perlintasan sebidang yang resmi saja yang bisa beroperasi.

Soerjanto menyoroti minimnya kepastian keselamatan pada jalur perlintasan sebidang liar. Pasalnya, selama ini perlintasan liar bekerja dengan mengesampingkan prosedur keamanan.

"Masyarakat ini kan perlu diatur. Yang atur ya kan regulator. Kalau asal dibikin perlintasan di mana-mana kan yang jaga siapa, yang rawat siapa, cara mereka bekerja juga kurang aman kan. Kan ini bisa mencelakakan orang lain kalau asal buat aja," papar Soerjanto saat dihubungi detikcom.

Dia juga menyatakan seharusnya ada penegakan hukum yang tegas pada perlintasan sebidang yang liar dan masih beroperasi. Bahkan, kalau perlu pihak kepolisian juga ikut serta dan tegas melakukan penindakan.

"Kalau nggak jelas yang bertanggung jawabnya ya harusnya ditutup. Kalau asal buka ya harusnya ada enforcement, kalau perlu kepolisian ikut proses. Ingat, ini bisa mencelakakan orang lain," sebut Soerjanto.

PT KAI sendiri mencatat sejauh ini ada 455 perlintasan sebidang yang tersebar di Daop 1, mulai dari kawasan Merak, Jakarta Raya, hingga Cikampek. Bila dirinci, perlintasan liar ada 196 jumlahnya dari total perlintasan yang ada.

Malah masih ada 77 perlintasan sebidang yang sama sekali tak dijaga. Sementara itu perlintasan sebidang resmi yang mendapatkan penjagaan ada 182 lokasi, 122 perlintasan di antaranya dijaga langsung oleh KAI.


Hide Ads