"Saya nggak pernah lihat dan pegang. Saya nggak pernah lihat 10.000 seumur hidup. Masak ada SGD 10.000?" kata Sofjan.
Sofjan mengatakan, jangankan SGD 10.000, pecahan SGD 1.000 pun relatif jarang. Ia pernah punya pengalaman saat berkunjung ke restoran kecil di Singpura dengan pecahan SGD 1.000, ternyata tak mudah mencari kembaliannya. Selain itu, bank sentral Singapura juga tak gegabah mencetak banyak uang pecahan besar, karena untuk menghindari inflasi.
"SGD 1.000 saja sudah susah, bank-bank saja nggak banyak paling SGD 100 atau SGD 50. Saya nggak pernah pegang SGD 10.000," katanya.
Sofjan memang mengakui kini ada tren dari rekan-rekan sesama pengusaha di dalam negeri lebih memilih menyimpan dan menggunakan dolar Singapura. Alasannya dolar Singapura lebih stabil daripada dolar AS.
"Kita memakai dolar Singapura untuk suatu yang praktis saja, bukan dalam rangka terkait korupsi, tapi kestabilannya, dolar AS nggak stabil. Orang lebih banyak pakai dolar Singapura itu yang terjadi di pengusaha," katanya.
Ia juga mengkritik soal adanya dugaan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait penggunan mata uang dolar Singapura dalam pecahan besar untuk kepentingan suap kasus korupsi.
"Itu hanya omongan PPATK, mereka tak mengerti bisnis, mereka nganggap mau sogok-menyogok mau Pemilu. Apa alasan orang pakai dolar Singapura untuk menyogok, bagi pengusaha bayar pajak saja sudah susah," katanya.