Redenominasi ini sebenarnya sudah direncanakan sejak beberapa tahun lalu. Mulai dari BI dipimpin oleh Darmin Nasution dan hingga habis masa jabatan Agus Martowardojo.
Penyederhanaan nilai ini bertujuan agar bisa lebih efisien, rupiah makin berdaulat dan lebih bergengsi jika dibandingkan dengan mata uang negara lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tonton juga video saat Jokowi bicara soal redenominasi 2 tahun lalu:
Saat itu, Deputi Gubernur Senior Darmin Nasution mengungkapkan redenominasi adalah hal yang berbeda dengan sanering atau pemotongan uang yang terjadi pada 1959 silam. Pada 2010, bank sentral merencanakan akan ada masa transisi pada 2013.
Namun rencana tinggal rencana, yang terus menguap hingga rencana tersebut dihidupkan kembali oleh Gubernur BI periode 2013-2018 Agus Martowardojo. Tapi sampai Agus purna tugas pun Rancangan Undang-undang (RUU) redenominasi belum masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas).
Mengutip berita detik.com saat itu, 30 Mei 2017 Agus menjelaskan ekonomi Indonesia sedang bagus dan itu adalah saat yang tepat untuk redenominasi.
Kemudian pada Selasa 25 Juli 2017 di Istana Negara Agus menyampaikan rencana penyederhanaan nilai mata uang ini, ia menyebut kala itu BI sudah memiliki sejumlah tahapan yang siap untuk diterapkan.
Agus mengungkapkan, jika RUU redenominasi bisa masuk Prolegnas 2017 dan mendapatkan dukungan pemerintah, maka rencana ini bisa berlanjut. Di mana 2018 adalah tahun persiapan dan 2020 adalah tahun transisi penerapan redenominasi ini.
Masa transisi disebut akan memakan waktu selama empat tahun yakni untuk penyesuaian uang dan harga barang. Setelah transisi selesai maka lima tahun berikutnya adalah masa bank sentral melakukan penarikan pada uang rupiah yang lama.
"Setelah lima tahun, baru tahap face out, yaitu 2025 sampai 2029. Jadi ada periode kira-kira 11 tahun agar ini berjalan," ujar Agus.
2017 telah berakhir, Gubernur BI terpilih Perry Warjiyo mengungkapkan akan melanjutkan rencana tersebut namun tetap menunggu arahan pemerintah.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan sebenarnya redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang ini memiliki tujuan yang baik.
"Yakni membuat transaksi keuangan lebih simpel dan diharapkan bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Rabu (4/4/2018).
Namun untuk menjalankan dan mendapatkan keberhasilan dari rencana ini harus dilihat sejumlah kondisi ekonomi. Misalnya, Indonesia harus belajar dari negara-negara yang telah berhasil menerapkan redenominasi ini seperti Turki.
Yang menerapkan beberapa syarat dalam redenominasi. Seperti stabilnya nilai tukar rupiah, angka inflasi yang terkendali dan fundamental perekonomian juga harus dalam kondisi yang baik.
"Dalam konteks ini perekonomian Indonesia diprediksi dalam waktu lima tahun ke depan masih menghadapi tekanan eksternal maupun internal yang cukup besar," ujar dia.
Dia menjelaskan, saat ini pertumbuhan ekonomi masih berada di kisaran 5%, kemudian untuk daya beli masyarakat saat ini masih dalam tahap pemuliha. Selain itu akibat kenaikan harga minyak mentah dunia juga turut meningkatkan risiko inflasi akibat penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi.
Kemudian dari sisi nilai tukar dolar sekarang berada di kisaran Rp 13.700 hingga Rp 13.800 pada akhir 2018. "Kalau redenominasi dilakukan secara terburu-buru justru kepercayaan masyarakat bisa turun," ujarnya.
Bhima menjelaskan, redenominasi ini juga membutuhkan persiapan dan sosialisasi yang lama. Seperti Turki membutuhkan waktu 10 tahun untuk penyederhanaan nilai mata uang ini.
"Kesimpulannya RUU Redenominasi kecil kemungkinan dibahas dalam prolegnas 2018," imbuh dia.
Dari laman resmi bi.go.id redenominasi adalah penyederhanaan dan penyetaraan nilai Rupiah. Memang akan ada angka nol yang hilang, tapi redenominasi ini berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai uang yang bertujuan menurunkan daya beli masyarakat.
Redenominasi ini biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat. Sementara itu sanering adalah penotongan uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat.
Pada 1950 Presiden Soekarno memerintahkan Menteri Keuangan Syafrudin Prawiranegara untuk melakukan pemotongan uang atau sanering. Saat itu Syafrudin menggunting uang bernilai Rp 5 ke atas sehingga nilainya berkurang separuh. Misalnya saat ini ada sanering uang pecahan Rp 100 ribu maka harganya hanya Rp 50 ribu.
Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang hanya dihilangkan angka nol nya saja. Jadi nilai uang tetap sama hanya lebih ringkas saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran. Setelah itu dilanjutkan dengan penyederhanaan sistem akuntansi dan sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.
Contoh redenominasi misalnya. Saat ini anda memiliki uang Rp 100.000 dan bisa digunakan untuk membeli 5 bungkus nasi Padang menggunakan lauk ayam goreng, dengan redenominasi maka tiga angka nol akan hilang dan menjadi Rp 100. Namun harga tersebut masih tetap bisa membeli 5 bungkus nasi Padang dengan menu yang sama.
Saat ini sudah coffee shop atau restoran biasanya memasang harga yang lebih ringkas untuk menu makanan atau minuman yang di jualnya. Misal satu gelas kopi hitam seharga Rp 30.000 harganya dipajang 30.
Gubernur BI Agus Martowardojo tahun lalu menyebutkan penyederhanaan nominal mata uang rupiah sangat perlu dilakukan. Ini menyangkut efisiensi atas aktivitas ekonomi, redenominasi akan mensejajarkaj ripiah dengan mata uang negara lain di dunia.
Agus menambahkan, jumlah 0 (nol) yang sangat banyak pada rupiah membuat sistem teknologi yang terkait dengan pendataan dan informasi keuangan menjadi tidak efisien.
"Tetapi kalau nanti kita bisa melakukan penyelarasan ini, itu menjadi lebih efisien," tegas Agus.
Rencana redenominasi ini membutuhkan waktu yang panjang untuk penerapannya. Mulai dari persiapan, masa transisi hingga masa penarikan uang terbitan lama. BI menyebut dibutuhkan waktu 7 hingga 8 tahun untuk menerapkan redenominasi di Indonesia.
Sedangkan sanering dilakukan karena kondisi ekonomi sedang tidak sehat. Pada 1955-1960 pemerintah Indonesia melakukan sering untuk mengurangi jumlah uang beredar akibat harga yang melonjak.
Ketua Komisi XI DPR RI Melchias Marcus Mekeng menilai pernyataan tersebut masih sebatas wacana. Hal ini karena dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk pembahasannya. Karena itu ia mengaku tidak yakin rancangan Undang-Undang (RUU) soal redenominasi bisa masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun ini.
"Soal redenominasi itu sebenarnya sudah dilakukan di sejumlah negara. Tapi kalau di Indonesia harus dihapus juga ingatan-ingatan masyarakat soal sanering zaman dulu. Harus dijelaskan juga kalau ini beda," kata Mekeng saat dihubungi detikFinance, Rabu (4/4/2018).
Dia menjelaskan, jika kenangan buruk sanering bisa terhapus maka bisa dilakukan langkah selanjutnya. Seperti sosialisasi yang intensif kepada masyarakat.
"Sosialisasi itu harus dilakukan secara masif karena ini soal uang. Kalaupun RUU ini masuk Prolegnas pasti kami akan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan banyak pihak. Supaya tidak salah langkah," kata dia.
Menurut Mekeng, wacana ini diharapkan tidak akan mengganggu stabilitas politik dan ekonomi nasional. Pasalnya isu strategis seperti ini bisa saja dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga dikhawatirkan menimbulkan goncangan politik.
"Tahun politik ini harus hati-hati bisa saja nanti dibuat-buat informasinya kalau redenominasi itu tidak baik dan orang berbondong-bondong malah beli dolar karena tidak percaya dengan mata uang sendiri. Jadi jangan terlalu cepat lah harus dikaji lagi meski masih wacana," ujar dia.
Mekeng menjelaskan, BI juga harus melakukan simulasi redenominasi ini ke seluruh penduduk Indonesia. Karena tidak semua penduduk mengerti dan memahami konsep redenominasi tersebut.
Anggota Komisi XI Heri Gunawan menjelaskan rencana tersebut masih sangat jauh untuk direalisasikan.
"Nampaknya agak sulit untuk masuk dalam prolegnas tahun ini ya," ujar Heri.
Dia menjelaskan sulitnya RUU redenominasi masuk Prolegnas karena terganjal tahun politik.
"Kayaknya masih sebatas wacana, kalau tahun ini, repot deh. Apalagi mau memasuki tahun politik. Nanti malah di goreng dan jadi kegaduhan baru," imbuh dia.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan redenominasi ini membutuhkan persiapan dan sosialisasi yang lama. Seperti Turki yang membutuhkan waktu 10 tahun untuk penerapan redenominasi ini.
"Persiapan terutama berkaitan dengan transisi pembukuan dan transaksi pelaku usaha. Biaya transisi ini juga terbilang mahal bagi pelaku usaha," kata Bhima saat dihubungi detikFinance, Rabu (4/4/2018).
Dia menjelaskan selain itu masih ada sekelompok masyarakat yang menganggap redenominasi sebagai sanering atau pemotongan nilai mata uang.
"Belajar dari pengalaman itu edukasi ke masyarakat harus dilakukan bertahap terutama dipedesaan agar tidak menimbulkan gejolak," kata dia.
Bhima menambahkan untuk kasus Zimbabwe ada masalah ketidakpercayaan terhadap pemerintah paska redenominasi. Inflasi sebaiknya memang terkendali sbelum melakukan redenominasi. Selain itu sensitivitas kebijakan redenominasi terhadap kenaikan harga pun harus dihitung.
"Karena ada resiko juga pedagang membulatkan harga keatas. Misalnya barang dengan harga 13.500 setelah redenominasi menjadi Rp 14," ujarnya.
Ketua Komisi XI Melchias Marcus Mekeng mengungkapkan redenominasi ini membutuhkan waktu yang panjang sebelum masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas). Selain itu juga dibutuhkan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat sampai bisa diterima secara penuh.
"Dari dulu belum ada tuh sosialisasi yang banyak dari BI. Mereka sosialisasi ke kalangan terbatas saja, padahal mereka harus sosialisasi ke 250 juta rakyat Indonesia," imbuh dia.
Turki adalah salah satu negara yang melaksanakan redenominasi pada 2005 silam. Negara ini memangkas 6 angka nol dari mata uang. Yakni dari 1.000.000 lira menjadi 1 lira.
Selain Turki berikut daftar beberapa negara yang sukses melakukan redenominasi mata uangnya, baik dengan menambah ataupun mengurangi angka nol dalam pecahan uangnya yang dikutip detikFinance, dari berbagai sumber.
- Islandia menghilangkan 2 angka nol dalam 1 kali operasi pada tahun 1981.
- Rusia menghilangkan 3 angka nol dalam 3 kali operasi pada tahun 1947, 1961 dan 1998.
- Meksiko menghilangkan 3 angka nol dalam 1 kali operasi pada tahun 1993.
- Polandia menghilangkan 4 angka nol dalam 1 kali operasi pada tahun 1995.
- Ukraina menghilangkan 5 angka nol dalam 1 kali operasi pada tahun 1996.
- Peru menghilangkan 6 angka nol melalui 2 kali operasi pada thaun 1985 dan 1991.
- Bolivia menghilangkan 9 angka nol melalui 2 kali operasi tahun 1963 dan 1987.
- Israel menghilangkan 9 angka nol melalui 4 kali operasi pada 1980 dan 1985.
- Argentina menghilangkan 13 angka nol melalui 4 kali operasi pada 1970, 1983, 1985, 1992
- Brasil menghilangkan 18 angka nol, melalui 6 kali operasi pada 1967, 1970, 1986, 1989, 1993 dan 1994.
- Ghana menghilangkan 4 angka nol
- Zimbabwe menghilangkan 3 angka nol
- Afghanistan menghilangkan 3 angka nol.