Jakarta -
Hingga kini di Indonesia sektor perbankan masih menjadi tombak pembiayaan ekonomi bagi masyarakat. Untuk membuka dan melebarkan usaha misalnya, dengan pembiayaan dari luar skala usaha bisa cepat dan mudah ditingkatkan.
Namun, dikutip dari CNBC Indonesia, menurut laporan Global Findex Data Base 2017 yang diterbitkan Bank Dunia 95 juta penduduk Indonesia belum memperoleh akses ke perbankan (unbanked). Sedangkan, populasi orang dewasa di Indonesia yang sudah memiliki rekening di bank pun baru menyentuh 49%.
Oleh karena itu, mereka yang tergolong unbanked ini akan sulit atau mungkin lama untuk 'naik kelas' skala usahanya. Tanpa sokongan pembiayaan dari luar, kemampuan untuk meningkatkan skala usaha pun menjadi terbatas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, sepertinya perubahan teknologi memberikan secercah harapan, kehadirannya ternyata bisa memudahkan masyarakat untuk memperoleh pembiayaan. Kini bank tidak lagi menjadi satu-satunya tumpuan harapan bagi masyarakat unbanked. Melalui teknologi, lahir entitas keuangan berbasis digital. Kita akrab menyebutnya dengan nama financial technology (fintech) lending alias pinjaman online (pinjol). Berikut informasi lengkap seputar perkembangan fintech:
Artikel asli berita ini bisa dibaca di CNBC Indonesia dengan judul:
Fintech Lending Bisa Jadi Sarana Panjat Sosial-Ekonomi.
Melalui fintech lending, calon debitur bisa dipertemukan dengan investor hanya dengan sentuhan jempol dan kalau cocok bisa mendapatkan kucuran pembiayaan.
Kalau dulu pinjam uang ke bank harus urus ini itu, dengan fintech umumnya cukup foto selfie plus KTP. Tunggu sebentar, tidak sampai berhari-hari uang pun cair.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat terdapat 127 perusahaan fintech lending yang terdaftar di seluruh Indonesia per Agustus 2019. Bertambah dibandingkan posisi akhir tahun lalu yaitu 88. Pada Juli 2019 saja total penyaluran pembiayaan dari fintech lending sudah mencapai Rp 49,79 triliun.
Meskipun angkanya masih jauh untuk menyaingi pembiayaan perbankan, tetapi pertumbuhannya menjanjikan. Penyaluran pinjaman fintech lending tumbuh hingga 119,69% pada Juli 2019 dibandingkan posisi awal tahun.
Faktor utama yang membuat fintech lending begitu berkembang dan menjadi sumber pembiayaan baru adalah penetrasi penggunaan internet melalui ponsel. Mengutip data Statista, pada 2017 jumlah pengguna internet via ponsel ada 72,5 juta jiwa. Jumlahnya diperkirakan naik menjadi 100,4 juta jiwa pada 2023.
Dibalik kemudahan yang ditawarkan fintech itu ada harga yang harus dibayar, bunga pinjaman yang dipatok fintech lending cenderung lebih tinggi dibandingkan perbankan. Asosiasi Fintech lending Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mematok bunga pinjol maksimal 0,8% per hari. Kasarnya, bunga bisa mencapai 24% per 30 hari alias sebulan.
Mari bandingkan dengan bunga pinjaman bank. Mengutip data Suku Bunga Dasar Kredit periode Mei 2019, rata-rata suku bunga kredit korporasi di 99 bank cuma 9,54% per bulan. Sementara bunga kredit ritel rata-rata dipatok sebesar 9,84%.
Bicara soal resiko pun fintech masih rawan, sampai sekarang perusahaan fintech lending yang nakal masih berkeliaran, bukan cuma nakal tapi juga ilegal. Satgas Waspada Investasi OJK juga mencatat ada 1.230 fintech lending ilegal yang mencari mangsa di Indonesia.
Aduan pun bermunculan, pada kuartal I-2019, AFPBI menerima 426 pengaduan. Sebesar 43% aduan berupa cara penagihan pinjaman yang kasar. Kemudian disusul aduan soal akses data pribadi sebanyak 41% hingga bunga pinjaman yang kelewat tinggi sebesar 10%.
Padahal tingkat kepatuhan debitur pinjol di Indonesia tergolong tinggi. Hingga Juli 2019, OJK mencatat tingkat keberhasilan pinjaman di fintech lending mencapai 97,48%.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen di bisnis fintech lending menjadi sangat penting. Selain pemberantasan, OJK juga menyusun mekanisme penyelesaian sengketa terkait perusahaan fintech lending. Ada tiga jalur yang bisa ditempuh yaitu mekanisme internal, membawa sengketa ke Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS), dan fasilitas terbatas dari OJK.
"Selain itu, salah satu hal yang dapat dipertimbangkan untuk pelaksanaan penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa pada fintech lending adalah Online Dispute Resolution (ODR). ODR merupakan sistem penyelesaian sengketa yang memanfaatkan sarana teknologi informasi, contohnya seperti telepon, email, aplikasi, webchat, dan video conference," tulis laporan Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan Konsumen pada Fintech lending, yang diterbitkan OJK.
Untuk memastikan masyarakat terlindungi kala ingin mengakses pembiayaan dari fintech lending, OJK mengusulkan tiga hal. Pertama adalah pemberlakuan trustmark, lambang yang menandakan sebuah perusahaan fintech lending sudah benar-benar bersih, tidak ada risiko nakal. Trustmark ini juga akan menunjukkan bahwa fintech lending tersebut telah diaudit sistemnya baik oleh regulator atau pihak lain yang ditunjuk.
Kedua, menerapkan sertifikat digital signature yang akan mengotentifikasi identitas konsumen secara elektronik dengan memakai tanda tangan. Ketiga, menerapkan verifikasi biometrik yang dapat mengidentifikasi satu atau lebih ciri-ciri biologis unik konsumen. Identifikasi unik ini dapat berupa sidik jari, geometri telapak tangan, pola retina, dan gelombang suara.
Fintech lending diharapkan menjadi solusi bagi masyarakat yang selama ini kesulitan mengakses pembiayaan perbankan. Namun harus diingat juga saat memilih fintech lending sebagai sumber pembiayaan, konsumen jangan sampai terlena.
Risiko besar membayangi fintech lending jika tidak berhati-hati. Baiknya, masyarakat perlu mempelajari berbagai risiko yang ada, dan pada saat yang sama regulator harus mampu memberi edukasi sekaligus perlindungan.
Halaman Selanjutnya
Halaman