Jakarta - Kasus PT Asuransi Jiwasraya saat ini sudah dalam proses hukum di Kejaksaan Agung RI. Publik pun menanti siapa yang akan disalahkan dalam sengkarut masalah ini.
Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menilai ada penggiringan opini bahwa yang paling bersalah dalam kasus Jiwasraya adalah akuntan publik yang melakukan audit laporan keuangan. Sebab akuntan publik seharusnya bisa mencium ada hal yang tidak beres dalam keuangan Jiwasraya saat melakukan audit.
"Saya perlu memberikan respon karena sebagian besar itu menyesatkan. Seolah-olah menuduh akuntan harusnya ngomong di awal bukan setelah terjadi," tuturnya di kantor IAPI, Jakarta, Senin (13/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, menurut Pras juga ada tuduhan bahwa akuntan publik melakukan cuci tangan. Padahal tugas akuntan publik adalah melakukan audit laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen perusahaan dalam hal ini direksi.
BPK sebelumnya juga mengungkapkan bahwa ada aksi window dressing atau mempercantik saat Jiwasraya menyajikan laporan keuangan 2006. Namun dia heran kenapa hal itu tidak tercium oleh otoritas terkait.
"2006 sudah ada rekayasa akuntansi kok tidak terdeteksi. Itu window dressing, melakukan permak laporan keuangan seperti operasi plastik, biar kelihatan cantik. Jadi yang terjadi harusnya rugi jadi laba, atau laba kecil jadi besar," terangnya.
Pras melihat sengkarut ini berawal dari 2012, saat itu Jiwasraya tergoda untuk keluar dari bisnis utamanya asuransi. Perusahaan mulai melirik bisnis investasi dengan mengeluarkan produk JS Saving Plan.
JS Saving plan merupakan produk asuransi jiwa yang juga merupakan produk investasi. Produk ini ditawarkan melalui perbankan atau
Bancassurance.
Tidak seperti unit link yang risikonya dipegang pemegang polis, produk ini risikonya ditanggung perusahaan asuransi. Kemudian yang membuat produk ini menarik adalah tawaran return-nya yang dua kali lipat lebih tinggi dari deposito.
Nah yang menurutnya, kesalahan manajemen adalah tidak memasukkan dana cadangan teknis. Bagi perusahaan asuransi setiap masuknya pendapatan premi maka perusahaan harus menyediakan cadangan teknis. Jika tidak ada cadangan teknis maka perusahaan rugi karena tak mampu membayar.
Nah lantaran biaya pembayaran polis yang semakin membengkak, manajemen mencari solusi dengan mencari instrumen investasi lainnya dengan harapan imbalan yang besar. Masuklah perusahaan ke saham gorengan.
Pada 2015 Jiwasraya kembali melakukan investasi dengan membeli reksadana saham sebuah perusahaan tercatat di pasar modal dengan nilai Rp 6 triliun, yakni PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP).
"Jiwasraya menginvestasikan sebesar Rp 6 triliun ke satu perusahaan yang menerbitkan reksadana, perusahaan itu tercatat di Bursa Efek. Perusahaan ini asetnya cuma Rp 300 miliar, omzetnya Rp 21 miliar. Dia penangkaran ikan arwana, tapi bisa menerbitkan reksadana Rp 6 triliun dan profil investasi Jiwasraya 90% ada di saham dan reksadana yang berisiko tinggi," terangnya.
Memang pada 2015 investasi Jiwasraya di reksadana saham mencapai Rp 9,29 triliun. Dari angka itu sebesar Rp 6,39 triliun ada di IIKP.
Seiring berjalannya waktu, investasi di saham gorengan malah semakin menambah beban perusahaan. Akhirnya di 2017 meledak, perusahaan tak mampu membayar polis.
Menurut Pras modus yang dilakukan manajemen Jiwasraya adalah konvensional. Seharusnya otoritas baik di pasar modal maupun industri asuransi bisa mencium itu.
"Ini skema konvensional tidak ada canggih-canggihnya. Pertanyaannya kemana otoritas itu, kok tidak bisa menangkap ini sejak dini. Kenapa saat mengajukan pencadangan dini disetujui, setelah ketahuan diralat, ditarik, itu aneh. Supaya akuntan publik jadi kambing hitam, dia paling lemah tidak bsia main politik," ujarnya.
Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo juga menjelaskan, tugas akuntan publik adalah hanya melakukan audit laporan keuangan. Sementara yang membuat laporan keuangan adalah manajemen dalam hal ini direksi yang juga diawasi oleh komisaris.
"Berdasarkan uu perseroan terbatas bahwa laporan keuangan yang disusun merupakan tanggung jawab dan wewenang direksi dan pengawasan komisaris Kemudian disahkan dalam RUPS. Nah karena ini BUMN RUPS ada di Kementerian BUMN," terangnya.
Sementara Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan saat ini pihaknya selaku regulator sepenuhnya menyerahkan proses ini ke ranah hukum.
"Kalau kasus itu biarlah proses hukum yang sedang berjalan. Kan sedang ditangani Kejaksaan, silakan saja," kata Wimboh di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Senin (13/1/2020).