Namun, setelah bangsa ini berhasil kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), akhirnya mata uang RIS tadi diganti permanen menjadi rupiah atau yang disingkat Rp. Penetapan rupiah sebagai mata uang resmi Indonesia dipatenkan dalam Undang-Undang Mata Uang 1951.
Tak lama setelah diterbitkannya beleid itu, tepatnya pada Desember 1951, Bank Hindia Belanda, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral dengan UU No. 11 Tahun 1953 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Sesuai dengan tanggal berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia dimana Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral.
Setelah Bank Indonesia berdiri pada tahun 1953, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Keuangan) dan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Pemerintah RI menerbitkan uang kertas dan logam pecahan Rp 1 dan Rp 2,5. Sedangkan Bank Indonesia menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp 5 ke atas.
Kemudian, hak tunggal mengeluarkan uang kertas dan uang logam rupiah diserahkan sepenuhnya kepada Bank Indonesia sesuai Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968. Sebab, pencetakan uang oleh Bank Indonesia dan Pemerintah secara ekonomi dipandang tidak ada perbedaan fungsional. Sehingga untuk keseragaman dan efisiensi pengeluaran uang cukup dilakukan oleh satu instansi saja yaitu Bank Indonesia.
Pecahan Rupiah di Awal Peredarannya Periode 1953-1959
Pada awal peredarannya, BI mengeluarkan beberapa seri uang kertas emisi 1952 yaitu seri pahlawan dan kebudayaan, seri hewan, dan seri pekerja tangan. Untuk seri pahlawan terdiri dari 7 pecahan, mulai dari Rp 5 sampai Rp 1.000. Pecahan Rp 5 dicetak di luar negeri oleh Percetakan Thomas De La Rue & Co. di Inggris. Sedangkan pecahan lainnya dicetak oleh Percetakan Johan Enschede en Zonen, Imp di Belanda. Sebagian dari pecahan Rp 10 dan Rp 25 juga dicetak oleh NV Percetakan Kebayoran.
Lalu, untuk uang kertas mata uang BI seri hewan terdiri atas 8 pecahan, mulai dari Rp 5 sampai Rp 2.500. Uang ini diedarkan bertahap pada tahun 1958, 1959, dan 1962. Seluruh pecahan Seri Hewan yang tidak mencantumkan tanda tahun ini, dicetak oleh Percetakan Thomas De La Rue & Co. Sebenarnya, pecahan Rp 5.000 juga sudah disiapkan, namun tidak diedarkan karena peristiwa PRRI tahun 1958.
Terakhir, seri pekerja tangan terdiri atas 9 pecahan, mulai dari Rp 5 sampai Rp 10.000. Semua pecahan bertanda tahun 1958, kecuali pecahan Rp 5 yang tidak mencantumkan tanda tahun serta pecahan Rp 10.000 yang bertanda tahun 1964.
Pecahan Rp 5 mulai diedarkan tanggal 8 September 1959, sedangkan pecahan lainnya diedarkan sesudah tahun 1959. Pada bulan Agustus 1959, pemerintah mengambil kebijakan sanering untuk mengurangi jumlah uang beredar melalui Perpu No. 2 Tahun 1959. Lewat peraturan ini, pemerintah menurunkan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100.
Berbeda dengan uang kertas BI, uang kertas dan logam yang dikeluarkan pemerintah, punya cerita percetakan yang berbeda. Uang logam Indonesia yang sah, terdiri atas uang logam pecahan 50 sen dari nikel dan pecahan 1 sen sampai 25 sen dari aluminium. Uang kertas pemerintah yang dapat dikeluarkan adalah uang kertas dengan pecahan Rp 1 dan Rp 2,50, sesuai dengan kebutuhan. Selain Rp 1 dan Rp2,50 dinyatakan masih berlaku, namun lambat laun akan ditarik dari peredaran oleh Menteri Keuangan.
Ketika nikel sulit diperoleh, dibuatlah UU Darurat No. 4 Tahun 1958, yang mengesahkan uang logam dari aluminium untuk pecahan 1 sen sampai 50 sen, serta uang logam dari aluminium bronze untuk pecahan Rp 1 dan Rp 2,50.
Buka halaman selanjutnya>>>
Pecahan Rupiah Periode 1959-1966
Dalam periode ini, kebijakan sistem pembayaran tunai ditujukan untuk mencapai kesatuan wilayah dan kesatuan moneter, di samping kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan sistem pembayaran non tunai (giral). Maka, sehubungan dengan kembalinya wilayah Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, ditetapkan uang rupiah khusus untuk Irian Barat (IB Rp) yang khusus berlaku untuk daerah tersebut sejak 1 Mei 1963.
Selain itu, untuk mengatasi peredaran uang dolar Malaya di Kepulauan Riau, dikeluarkan satuan uang rupiah khusus untuk Kepulauan Riau (KR Rp) yang berlaku khusus di daerah tersebut sejak 15 Oktober 1963. Jenis pecahan uang kertas KR Rp sama dengan uang kertas IB Rp, hanya berbeda pada pembubuhan nama daerahnya saja. Jika pada IB Rp tertulis "IRIAN BARAT", maka dalam KR Rp tertulis "RIAU".
Perbedaan lainnya adalah jika uang logam mata uang (https://www.detik.com/tag/mata-uang) KR Rp bersisi rata dengan tulisan Kepulauan Riau, maka uang logam IB Rp mempunyai sisi bergerigi tanpa tulisan.
Masa peredaran uang KR Rp tidak lama. Dengan Keputusan Presiden No. 3/1964 tertanggal 27 Juni 1964, uang KR Rp ditarik dari peredaran. Mulai tanggal 1 Juli 1964, berlaku uang rupiah yang sama dengan uang rupiah untuk wilayah Republik Indonesia (RI) lainnya, kecuali Irian Barat.
Dalam periode 1959-1966, pemerintah RI mengeluarkan uang kertas Seri Sandang Pangan bertanda tahun 1960 dan 1961 dalam pecahan Rp 1 dan Rp 2,5. Pemerintah juga menerbitkan uang kertas Seri Presiden Sukarno bertanda tahun 1964 yang merupakan penerbitan uang kertas pemerintah yang terakhir.
Sebagai persiapan terwujudnya kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Republik Indonesia, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965 tanggal 13 Desember 1965. Penpres ini menetapkan pengeluaran uang rupiah baru sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Penetapan ini telah memberikan wewenang penuh kepada BI untuk mengeluarkan semua jenis uang dalam berbagai pecahan. Uang yang dikeluarkan BI disebut uang rupiah baru tahun 1965.
Uang baru tersebut mempunyai nilai Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1. Berkaitan dengan penetapan itu, BI mengeluarkan uang kertas Seri Dwikora bertanda tahun 1964 dalam pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen; uang kertas Seri Presiden Soekarno bertanda tahun 1960 dalam pecahan Rp 5, Rp 10, Rp 25, Rp 50, Rp 100, Rp 500, dan Rp 1.000; uang kertas Seri Presiden Soekarno bertanda tahun 1964 dalam pecahan Rp 1 dan Rp 2,50.
Buka halaman selanjutnya.
Pecahan Rupiah Periode 1966-1983
Pada periode ini, seiring dengan perkembangan politik yang sedang berlangsung, uang kertas Seri Presiden Soekarno ditarik dari peredaran dan diganti dengan Seri Jenderal Sudirman bertanda tahun 1968. Seri tersebut dikeluarkan dalam 11 pecahan dari Rp 1 sampai Rp 10.000.
Setelah itu masih dikeluarkan emisi-emisi lainnya, antara lain uang kertas tiga tiga pecahan besar dengan tanda tahun 1975, yaitu Rp1.000, Rp5.000, dan Rp10.000 yang dimaksudkan pada waktunya menggantikan pecahan yang sama dari Seri Jenderal Soedirman. Uang emisi 1975 dicetak dengan teknik cetak intaglio yang terasa kasar bila diraba, untuk membantu mereka yang bermasalah penglihatan.
Selain itu, BI juga mengeluarkan Seri Dwikora yaitu seri pecahan di bawah Rp 5 terdiri dari satu sen, lima sen, 10 sen, 25 sen dan 50 sen.
Selain uang kertas, untuk pertama kalinya, BI juga mengeluarkan mata uang logam pada 1 Januari 1971, yaitu uang logam emisi tahun 1970 dari bahan alumunium. Uang logam tersebut terdiri dari pecahan Rp 1, Rp 2, dan Rp 5.
Sementara halaman belakang uang memiliki filosofi memperteguh kebhinekaan yang digambarkan dengan potret anak-anak berpakaian adat dari wilayah Barat, Tengah, dan Timur Indonesia serta tenun nusantara. Halaman belakang muka mata uang juga bermakna menyongsong masa depan gemilang yang antara lain digambarkan dengan satelit telekomunikasi.