Bank Indonesia (BI) akan menerbitkan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau rupiah digital. Nantinya rupiah digital ini diharapkan bisa membantu memenuhi kebutuhan masyarakat untuk transaksi pembayaran.
Walaupun ada rupiah digital, BI memastikan uang kertas dan uang logam akan tetap ada. Calon Deputi Gubernur BI Juda Agung mengungkapkan untuk implementasi rupiah digital ini akan dilakukan secara bertahap.
Misalnya 20% dari total uang beredar. "Jadi tidak full menggantikan, tetap ada uang kertas dan uang logam," kata dia dalam fit and proper test di Komisi XI DPR, Selasa (30/11/2021).
Juda menyebutkan, hal tersebut adalah cara untuk mengurangi risiko-risiko. Misalnya seperti mati listrik. Hal ini akan menimbulkan masalah jika semuanya digital. "Tentu akan jadi risiko besar, sehingga uang kertas dan uang logam tetap ada dan CBDC tetap dengan porsi yang bertahap," jelas dia.
Dia menambahkan ada dua opsi pendekatan yang akan digunakan oleh BI untuk penerbitan CBDC ini. Antara lain pendekatan direct atau langsung seperti masyarakat atau rumah tangga dan korporasi yang mendapatkan token langsung dari bank sentral.
Kedua indirect yang melalui dua tahap yaitu tier 1 perbankan dan tier 2 para pengguna baik rumah tangga maupun korporasi. "Yang kedua menurut hemat kami lebih tepat, ini seperti peredaran uang kertas dan uang logam saat ini. Jadi bank sentral mengedarkan melalui perbankan dan kemudian masyarakat mendapatkan uang kertas dan logam dari perbankan tersebut," ujar dia.
Memang saat ini transaksi pembayaran digital terus mengalami peningkatan. Dikutip dari laporan tahunan BI 2021, disebutkan transaksi uang elektronik pada 2021 diperkirakan mencapai Rp 40.000 triliun atau akan naik 41,2% secara tahunan (year on year/yoy). Serta akan kembali tumbuh tinggi 16,3% (yoy) hingga mencapai Rp 337 triliun pada 2022.
(kil/fdl)