Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara (Satgas BLBI) menyatakan siap hadapi gugatan Irjanto Ongko. Anak dari obligor Kaharudin Ongko itu menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 7 Juni 2022.
"Kita hadapi! Masing-masing orang bisa mengemukakan mengenai dalilnya atau dalihnya," kata Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban dalam Bincang Bareng DJKN di Rumah Tutur, Jakarta Selatan, Jumat (24/6/2022).
Rio menjelaskan adanya keterlibatan Irjanto Ongko dan Kaharudin Ongko dalam perjanjian Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) yang dibuat pada 18 Desember 1998. "Kita melakukan penyitaan itu bukan tanpa dasar, tentu ada dasarnya," imbuhnya.
Di sisi lain dari pihak Irjanto Ongko, mengaku tidak pernah terlibat dalam perjanjian MRNIA. Melalui kuasa hukum, dikatakan bahwa kliennya itu tidak pernah memanfaatkan atau mempergunakan dana BLBI, termasuk tidak pernah menerima warisan dalam bentuk apapun yang bisa dikaitkan oleh negara atas aliran dana BLBI.
"Sebagai informasi penting bahwa Bpk. Irjanto Ongko tidak pernah menjadi ataupun bertindak sebagai obligor dan tidak pernah terlibat urusan BLBI, serta tidak pernah terlibat penandatanganan perjanjian MRNIA tertanggal 18 Desember 1998," kata Kuasa Hukum Irjanto Ongko, Fransiska Xr. Wahon dari kantor hukum FW & Rekan dalam keterangannya yang diterima detikcom.
Atas pertimbangan itu, penyitaan dua aset yang dilakukan Satgas BLBI dituding tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Irjanto Ongko pun telah menyerahkan perkara ini ke PTUN Jakarta dan mengaku akan mengikuti semua prosesnya.
Irjanto Ongko meminta pengadilan memerintahkan Satgas BLBI agar segera mencabut penyitaan, pemasangan plang sita maupun pelaksanaan penilaian terhadap 2 aset itu. Dia juga meminta ganti rugi sebesar Rp 216 miliar.
"(Juga) Menghukum tergugat (Satgas BLBI) untuk membayar ganti rugi materiil dengan nilai sebesar Rp 216,126 miliar dan ganti rugi imaterial dengan nilai sebesar Rp 1.000," pinta Irjanto Ongko dalam gugatan dikutip dari website PTUN Jakarta.
Selain itu, Irjanto Ongko juga meminta pengadilan menetapkan dan memerintahkan Satgas BLBI agar membayar uang paksa (dwangsom) kepadanya sebesar Rp 1 miliar untuk setiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan, sejak putusan diucapkan.
"Menghukum tergugat (Satgas BLBI) untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam sengketa perkara," tutupnya.
(aid/dna)