-
Pengembang properti yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) mengeluhkan lesunya industri properti. Pertumbuhan di sektor tersebut bergerak lambat selama beberapa tahun terakhir.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat REI Sulaiman Sumawinata dalam Rakerda REI DKI Jakarta 2018 bertema Harmonisasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Investasi Properti Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.
Selain lesunya sektor properti, masalah perizinan juga dianggap masih jadi perkejaan rumah alias PR karena prosesnya memakan banyak waktu.
Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut informasi selengkapnya dirangkum detikFinance.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat REI Sulaiman Sumawinata menilai pertumbuhan industri properti selama 4 tahun terakhir lesu.
"Kita semua tahu bahwa industri properti sedang dalam keadaan yang sangat memprihatinkan, slow down, sudah hampir 3-4 tahun kita tidak bisa bergerak untuk growing," katanya di JS Luwansa Hotel, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Eman mengatakan, ada 3 unsur sebagai indikator bahwa pelaku industri properti bisa bertahan. Pertama, margin yang dimiliki harus mampu memenuhi eskalasi biaya overhead atau biaya usaha. Kedua, margin yang ada harus mampu mendukung reinvestasi proyek-proyek baru. Ketiga, margin yang ada harus mampu membayar kredit perbankan.
Dia mengatakan, di tengah lesunya industri properti membuat unsur pertama dan kedua tidak bisa dipenuhi.
"Dari 3 margin ini, 2 sudah tidak kita lakukan lagi. Saya dengar 3-4 tahun ada karyawan tidak dapat bonus, kenaikan gaji, dan lain lain, kita bertahan di sana. Kemudian banyak pengembang yang tidak reinvestasi lagi. Jadi menggunakan aset aset yang ada," paparnya.
Ditambah lagi, industri properti ikut tertekan oleh adanya tantangan global, mulai dari suku bunga, hingga tingginya nilai dolar Amerika Serikat (AS). Oleh karenanya, perlu dukungan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan industri properti.
Akibat lesu, saat ini menjual rumah pun sulit. Jika dulu bisa menjual 3 unit dalam sehari, sekarang pengembang butuh waktu 3 hari untuk menjual 1 unit rumah.
"Kalau dulu sehari bisa jual 3 unit, sekarang bisa 3 hari sekali baru bisa jualan 1 unit," kata Ketua Umum DPP REI DKI Jakarta Amran Nukman di Rakerda REI DKI Jakarta di JS Luwansa Hotel, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Meski penjualan rumah sedang sulit, dia masih memperkirakan tahun depan bisa tumbuh sekitar 5-7%. Sementara tahun ini diperkirakan landai.
"Prediksi kami tahun ini landai landai saja kenaikannya. Kalau 2019 mungkin naik tapi 5-7 persenan, masih 1 digit ya. Jadi memang kami optimis ini akan tetap bergerak, namun pertumbuhannya tipis sekali," sebutnya.
Saat ini yang bisa diharapkan pengembang adalah menjual rumah di kisaran Rp 500 juta ke bawah.
"Bagi anggota kami yang jual di harga harga segitu masih bisa jualan, tapi memang penjualan tidak terlalu banyak," tambahnya.
Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid menilai industri properti saat ini masih bergairah. Kata dia, hal itu bisa dibuktikan dengan pembangunan properti yang saat ini masih pesat.
"Kalau sektor properti fluktuasi lah ya, nggak juga lesu lesu banget. Nyatanya pembangunan di mana mana pesat terus, permintaan juga cukup banyak, suplai malah kurang kan," katanya kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Dia juga mengatakan, sejauh ini sektor-sektor pendukung properti telah memberi dukungan yang baik untuk pertumbuhan properti.
"Kalau dibilang 3 tahun terakhir (lesu) ya saya kurang sependapat juga. Artinya kalau sektor properti ini juga tergantung sektor industri lain. Kalau sektor lain juga meningkat akan mendorong sektor properti, gairahnya akan naik," jelasnya.
Untuk di kota-kota besar, dia menyadari adanya tantangan soal harga tanah yang mahal, sementara masyarakat ingin rumah terjangkau di perkotaan. Jika rumah jauh dari kota, menurutnya minat konsumen memang agak berkurang.
"Tantangannya tadi masalah tanah di kota besar khususnya middle low (menengah ke bawah) susah di pusat kota, akhirnya harus di pinggir kan, itu ketertarikan turun, kurang kan mungkin," tambahnya.
Pengembang membeberkan lamanya mengurus izin pembangunan properti. Prosesnya, dari nol sampai seluruh izin beres bisa memakan waktu hingga 5.000 hari.
"Itu baru bisa tuntas dari A sampai Z nya 5.000 hari. Itu beneran loh, 5.000 hari," kata Ketua Umum DPP REI DKI Jakarta Amran Nukman di Rakerda REI DKI Jakarta di JS Luwansa Hotel, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Menurutnya masih banyak aturan yang menghambat. Meski belum bisa menjelaskan secara detil, dia mengatakan ada puluhan izin yang harus dicabut agar prosesnya bisa lebih cepat.
"Untuk itu kami harapkan juga aturan aturan yang menghambat terjadinya percepatan perizinan tadi bisa dicabut, bukan hanya dimodifikasi tapi dicabut, sehingga tujuan pemerintah sendiri ingin mempercepat, singkat, dengan biaya yang tidak besar betul betul bisa terwujud," jelasnya.
Pihaknya menyambut baik kebijakan perizinan melalui Sistem Online Single Submission (OSS) alias Perizinan Online Terpadu. Melalui sistem itu, harapannya perizinan bisa lebih mudah.
"Sehingga yang 5.000 (hari) itu kalau bisa 500 hari sudah lumayan. Syukur syukur 50 hari," tambahnya.
Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid menyampaikan proses perizinan tidak sampai 5.000 hari.
"Itu ngarang, nggak lah, 33 hari cuma, sudah 33 hari. Regulasinya sudah dipersempit dari 800 (hari) zaman dulu, sudah dijadikan 44 hari maksimal," kata Khalawi kepada detikFinance, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Sebelum izin dipermudah saja, kata dia prosesnya hanya berkisar 700-800 hari, tidak sampai 5.000 hari. Setelah izin dipermudah, maksimal hanya 44 hari.
"Dulu 700 hari. Dengan kebijakan pemerintah Jokowi, jadi 44 hari, jauh kan," sebutnya.
Di sisi lain, dia menyadari perizinan yang sudah dipercepat di pusat, belum bisa diikuti dengan optimal oleh pemerintah daerah.
"Jadi perizinan masih banyak keluhan, banyak pengembang mengeluhkan perizinan masih terlalu lama, padahal di pusat kebijakannya sudah sangat ekstrim percepatannya," ujarnya.