Ketua KPPU, Syarkawi Rauf, mengatakan di setiap daerah umumnya ada 5 perusahaan yang menguasai lebih dari 70% distribusi beras. Mereka selama ini memiliki penggilingan besar dan menjadi pemasok beras utama ke Jakarta.
"Jadi kalau dari penyelidikan kita, di daerah seperti Jawa Barat saja ada 5 pemain yang menguasai 70% pasokan beras. Di daerah lain pun sama, rata-rata ada 5 pemain besar. Kalau dikuasai hanya beberapa pemain, tentunya kurang sehat karena bisa mengarah ke kartel harga," kata Syarkawi kepada detikFinance, Jumat (21/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diungkapkannya, pemain besar tersebut tak bekerja dengan jaringannya sendiri, melainkan juga menggunakan tengkulak sebagai pengumpul gabah di tingkat petani.
"Jadi selain mereka memiliki penggilingan besar dan menyerap langsung, para pemain besar ini kan juga memanfaatkan penyerapan gabah lewat tengkulak-tengkulak yang jadi pengumpul. Jadi meski ada banyak pedagang tengkulak, pemain besarnya ya itu-itu saja," ungkap Syarkawi.
Faktor penguasaan pasar ini pula, sambungnya, tengah diselidiki apakah memiliki keterkaitan antara selisih harga gabah di petani hingga menjadi beras kemasan yang dijual di pasar.
"Dia beli di harga GKG (gabah kering giling) di petani Rp 4.600/kg sampai Rp 4.900/kg, kemudian dijual sampai Cipinang rata-rata Rp 10.500/kg, itu belum di pasar (tradisional), artinya ada margin yang sangat besar," jelas Syarkawi.
Hitung-hitungan KPPU, dengan harga beli GKG dengan harga kisaran Rp 4.600/kg, maka setelah dipotong ongkos giling, pengangkutan, dan lainnya maka idealnya harga beras medium berada di kisaran Rp 9.000/kg di konsumen. Dengan persentase 62%, maka dari 1 kg GKG bisa menjadi beras seberat 0,62 kg.
Menurut dia, selain margin yang tinggi, harga beras di Cipinang sendiri juga tak mengikuti harga mekanisme pasar, dimana seharusnya ada penurunan harga ketika suplai beras yang masuk melimpah.
"Di Cipinang harga rata-rata Rp 10.500/kg untuk jenis medium. Nah ini meski beberapa waktu lalu ada pasokan bertambah, tapi harganya masih saja tidak turun. Malahan yang ada pernah naik tinggi begitu pasokan berkurang. Artinya ada kemungkinan kesepakatan harga yang dilakukan pemain besar. Ini bisa masuk kartel atau perilaku mafia," tutur Syarkawi. (idr/hns)