Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tak Capai Target (Lagi)

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tak Capai Target (Lagi)

Hendra Kusuma - detikFinance
Selasa, 06 Feb 2018 08:38 WIB
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tak Capai Target (Lagi)
Foto: Andhika Akbarayansyah
Jakarta - Pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali tidak mencapai target. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017 sebesar 5,07%.

Jika dilihat secara kuartalan, di kuartal IV-2017 ekonomi Indonesia melesat ke level 5,19% dibandingkan dengan kuartal I yang sebesar 5,01%, kuartal II yang sebesar 5,01%, dan kuartal III yang sebesar 5,06%.

Pertumbuhan ekonomi sepanjang 2017 juga didukung dari kondisi perekonomian dalam negeri, seperti inflasi yang tercatat 3,61% atau terjaga di level rendah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Target pertumbuhan ekonomi sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2017 ditetapkan 5,2%. Oleh karenanya, pertumbuhan di level 5,07% jauh dari target yang ditetapkan atau tak mencapai target.

Bagaimana cerita selengkapnya, cek di sini:

Pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5,07% sepanjang tahun lalu belum tumbuh secara merata. Pasalnya, porsi pertumbuhan masih terpusat di Pulau Jawa dengan 58,49%.

Setelah Jawa, dipegang oleh Pulau Sumatera dengan 21,66%, lalu Pulau Kalimantan sebesar 6,11%, Pulau Bali dan Nusa Tenggara 3,11%, serta Pulau Maluku dan Papua sebesar 2,43%.

Jika dilihat dari sisi pertumbuhannya, paling tinggi berada di Pulau Sulawesi dengan 6,99%, Pulau Jawa sebesar 5,61%, Pulau Maluku dan Papua sebesar 4,89%, Pulau Kalimantan 4,33%, Pulau Sumatera 4,30%, dan Pulau Bali dan Nusa Tenggara 3,37%.

Dengan ekonomi yang berada di level 5,07%, maka Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita naik menjadi US$ 3.876,8 atau Rp 51,98 juta per orang per tahun.

BPS mencatat tingkat konsumsi rumah tangga nasional berada di level 4,95% sepanjang tahun 2017. Angka ini melambat jika dibandingkan dengan tahun 2016 yang tumbuh 5,01%.

Perlambatan juga terlihat jika membandingkan kuartal IV-2017 yang sebesar 4,97% dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 4,99%.

Untuk sektor makanan dan minuman selain restoran secara kumulatif sebesar 5,24% atau melambat dibanding 2016 yang sebesar 5,34%. Lalu komponen pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya secara kumulatif 3,10% atau melambat dibandingkan 2016 yang sebesar 3,29%.

Selanjutnya, komponen perumahan dan perlengkapan rumah tangga secara kumulatif tumbuh 4,26% atau melambat dibanding pertumbuhan tahun 2016 yang sebesar 4,60%. Pertumbuhan konsumsi di komponen transportasi dan komunikasi berada di level 5,30%, melambat dibandingkan 2016 yang sebesar 5,32%.

Lalu, restoran dan hotel tumbuh ke level 5,53% jika dibandingkan dengan 2016 yang sebesar 5,40%, dan juga sektor kesehatan dan pendidikan yang tumbuh ke level 5,59% jika dibandingkan pada 2016 sebesar 5,34%.

Konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi yang paling tinggi dalam struktur pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 56,13%, disusul oleh PMTB atau investasi sebesar 32,16%, lalu ekspor sebesar 20,37%.

Perlambatan tingkat konsumsi rumah tangga pada 2017 juga sejalan dengan beberapa toko ritel yang menutup tokonya. Mulai dari seven-eleven, GAP, Debenhams, dan yang baru-baru ini adalah Clarks.

Pertumbuhan ekonomi nasional sejak 2014 tidak pernah dapat mencapai target yang sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Berasarkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (5/2/3018). Sejak 2014 ekonomi nasional hanya mampu tumbuh di level 5,02 %, angka ini jauh dari asumsi dasar yang dipasang pemerintah dalam APBN yakni sebesar 5,5%.

Ekonomi nasional pada 2015 juga kembali tidak mampu mencapai target yang ditetapkan pemerintah, yakni sebesar 4,88%. Angka ini terbukti menjadi paling rendah sejak enam tahun sebelumnya.

Sedangkan pada 2016, ekomomi nasional ditargetkan sebesar 5,1% kembali tidak mampu direalisasikan pemerintah. Tercatat, pertumbuhan ekonomi di tahun ini hanya berada di level 5,02%.

Selanjutnya, pemerintah juga tidak bisa merealisasikan pertumbuhan ekonomi di level 5,2% pada 2107. Sepanjang tahun lalu, perekonomian nasional hanya berada di level 5,07%.


Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki cita-cita membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia ke level 7% atau keluar dari zona nyaman di tingkat 5%.

Untuk merealisasikan hal tersebut ada beberapa syarat yang harus dilakukan pemerintah, yang pertama memastikan komponen konsumsi rumah tangga terjaga di level 5%, lalu komponen investasi terus ditingkatkan ke sektor manufaktur bukan ke jasa, dan ekspor ditingkatkan lagi dengan negara-negara non tradisional.

Kepalan BPS Suhariyanto mengatakan, ekonomi nasional sepanjang 2017 masih terkendala pada sektor konsumsi rumah tangga yang mengalami perlambatan. Pasalnya, konsumsi merupakan salah satu komponen yang berkontribusi besar terhadap ekonomi, disusul oleh investasi dan ekspor.

Berdasarkan sektor pengeluaran, pertumbuhan ekonomi masih ditopang oleh konstribusi rumah tangga sebesar 56,13%, namun pertumbuhannya hanya di level 4,95% atau melambat dibanding pada 2016 yang sebesar 5,01%.

Lalu PMTB atau investasi kontribusinya 32,16% dengan total pertumbuhan 6,15%, untuk ekspor kontribusinya 20,37% dengan pertumbuhannya 9,09%, konsumsi pemerintah kontribusinya 9,10% dengan pertumbuhan 2,14%, dan konsumsi LNPRT kontribusinya 1,18%, dan pertumbuhannya 6,91%.

"Investasi triwulan ini baguskan, 7% lho bagus, ekspornya bagus, tapi kenapa 5%, karena pada saat yang bersamaan konsumsi rumah tangganya melambat," ujar pria yang akrab disapa Kecuk.

Menurut Kecuk, jika pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi di level 6% ke atas. Salah satu yang harus dilakukan adalah memastikan tiga komponen yang berkontribusi besar harus benar-benar tumbuh tinggi.

Dia mengungkapkan, salah satu instruksi Presiden Jokowi kepada seluruh jajaran menteri kebinet kerja adalah menjaga situasi politik dan kemananan NKRI.

"Untuk menjaga konsumsi rumah tangga tetap diangka 5%, baik situasi politik dan kemanan tetap dijaga. Harus memberikan kepercayaan kepada konsumen, dengan inflasi tetap terkendali," ungkap dia.


Data-data perekonomian terus mengalami perbaikan. Seperti ekspor dan investasi yang menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi kunci pertumbuhan ekonomi ke depan.

Tahun 2017, ekspor RI tumbuh 9,09% dengan kontribusi sebesar 20,37%, dan investasi atau PMTB tumbuh 6,15% dengan kontribusi sebesar 32,16% terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tapi kok ekonomi RI hanya tumbuh 5,07% alias lari di tempat?

Peneliti dari Indef Bhima Yudhistira mengatakan, ekspor dan investasi pada 2017 memang mengalami kenaikan, namun khusus untuk investasi tidak masuk ke sektor yang memiliki dampak besar.

"Karena investasi yang masuk lebih besar ke portofolio seperti saham dan surat utang, sementara FDI-nya (investasi langsungnya) masuk ke sektor jasa yang tidak serap banyak tenaga kerja dibanding sektor manufaktur," kata Bhima saat dihubungi detikFinance.

Minimnya penyerapan tenaga kerja berdampak langsung pada lambatnya pertumbuhan konsumsi masyarakat secara nasional.

BPS mencatat, tingkat konsumsi rumah tangga nasional berada di level 4,95% di sepanjang 2017. Angka ini melambat jika dibandingkan dengan tahun 2016 yang tumbuh 5,01%. Melambatnya konsumsi rumah tangga juga terjadi di kuartal IV-2017 yang berada di level 4,97% dibanding dengan kuartal IV-2016 yang sebesar 4,99%.

Padahal, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi paling besar dalam menentukan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia secara nasiona.

Sehingga menurut Bhima, besarnya investasi yang berhasil direalisasikan tak banyak memberi dampak pada laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Oleh karena itu, Bhima memberikan masukan untuk pemerintah agar terus mendorong ekspor dengan perluasan negara tujuan baru. Kemudian, meningkatkan investasi dengan mengevaluasi paket kebijakan serta insentif fiskal.

"Untuk melindungi daya beli masyarakat jaga tarif listrik dan BBM hingga akhir tahun, pencairan bansos juga jangan terlambat," kata dia.

Hide Ads