Tak Boleh 'Obesitas' Lagi, Biaya Angkut Truk Lebih Mahal?

Tak Boleh 'Obesitas' Lagi, Biaya Angkut Truk Lebih Mahal?

Selfie Miftahul Jannah - detikFinance
Selasa, 17 Jul 2018 19:30 WIB
Foto: Rifkianto Nugroho
Jakarta - Akibat adanya larangan soal truk obesitas melintas di jalan tol dari Kementerian Perhubungan, biaya angkut truk akan lebih mahal. Hal tersebut dijelaskan Wakil ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman.

"Dalam jangka pendek pasti, ketika 1 Agustus diberlakukan, tanggal 2 Agustus itu harga pasti naik. Karena orang-orang nggak ada pilihan selain mengurangi kuota dan jumlah beban," kata dia usai mengikuti Forum Grup Discusion (FGD) dengan Kementerian Perhubungan, Selasa (17/7/2018).

Ia menjelaskan dampak jangka panjang dari realisasinya kebijakan ini yaitu tentunya muatan truk akan berkurang dan kecepatan truk akan bertambah menjadi 60-70 km/ jam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Selain itu ada dampak juga seperti sekarang itu parik semen itu tukar-tukar muatan. Misalnya Semen Gresik pasarnya di Jakarta, misalnya Semen Padang jual ke Bali Makasasar ke Sumatera jadi aneh ini," jelas dia.


Ia menjelaskan seharusnya bagi pabrik pabrik yang memiliki biaya logistik tinggi seharusnya sudah bisa mengantisipasi agar pabrik yang dimiliki harus dibuat lebih banyak. Selain itu para pemilik usaha juga harus lebih cerdas untuk mendekatkan pabrik ke pasar yang dituju untuk menekan biaya logistik.

"Pergerakan semen ini seharusnya kayak Indomie. Indomie itu sudah lama meninggalkan praktik pabrik satu kirim seluruh Indonesia. Dia buka pabrik lebih banyak, karena ketika ongkos logistiknya tinggi perusahaan punya opsi pabrik mendekat ke pasar. Contoh air kita bawa Aqua ke Surabaya ke Sukabumi, nangis Aquanya karena ongkos logistiknya saja 60%. Jadi tidak mungkin bawa Aqua Jakarta sampai Surabya pasti dia cari gunung terdekat," papar dia.

Ia menjelaskan langkah yang paling ideal untuk mengangkut barang sebenarnya tidak hanya lewat perjalanan darat melalui truk. Namun banyak opsi lain seperti menggunakan pipa. Namun ini tidak akan berjalan kalau perusahaan masih menggunakan transportasi truk.

Meski kata dia pengangkutan menggunakan truk masih menjadi pilihan karena dianggap bisa memuat barang lebih banyak dan lebih murah.

"Kapal Roro itu nggak akan jalan kereta nggak akan jalan, semua formulanya akan masuk ke truk bisa muat paling berat. Overload ya 75% kita harus mendobelkan mobil untuk mengangkut. Misal dari truk itu overloadnya 75% nah ketika diturunkan oleh pemerintah dia butuh mobil lagi untuk mengangkut 75% itu," kata dia.


Kenaikan biaya angkut truk ini merupakan langkah realisasi dari kebijakan soal truk obesitas dilarang masuk tol. Ia menjelaskan, jika pengusaha mengangkut barangnya dengan kapasitas overload sampai 100% maka biaya pembayarannya hanya ditambah 20%. Namun jika kebijakan ini realisasi, pengusaha harus membayar sewa truk dobel karena muatan hanya bisa diangkut sesuai kapasitas.

"Saya contoh gini kalau overload 100% (dua kali lipat beban angkut) biayanya nggak 100% paling biayanya hanya tambah sekitar 20%, tapi ketika truk ditambah bayar dua kali," kata dia.

Dari kenaikan harga sewa truk, para pengusaha nantinya akan membebankan harga distribusi logistik ke konsumen akhir yaitu penjualan eceran. Kyatmaja mengatakan tidak bisa memprediksi berapa persen kenaikan barang setelah kebijakan ini direalisasikan.

"Kalau indurtri itu beda-beda, porsi ongkos trasnportasi ke harga barang tuh sekian. Misalnya dua kali lipatn aik itu nggak masuk akal juga. Contoh air minum dalam kemasan, itu ongokos distribusinya 60% ketika dia itu terdampak dua kali lipat muatannya berarti 60% dari barang dia," papar dia.


"Lain kalau susu, susu biasayan hanya 5% jadi ketika bayar cost ongkos dua kali lipat itu hanya menaikkan harga 5%. Tergantung industrinya, tapi jangan lupa kita banyak industri primer artinya beras, sayur karena mereka kompenen trasnportasinya akan besar," lanjut dia. (dna/dna)

Hide Ads