Penahanan bunga ini memang sudah diprediksi oleh berbagai pihak, mulai dari ekonom hingga kalangan bankir. Namun tetapnya suku bunga acuan ini memberikan kabar buruk untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Lalu bagaimana langkah BI menahan gempuran dolar AS? Berikut ulasan lengkapnya.
Kenaikan tersebut dipandang BI sudah cukup untuk mengimbangi sentimen kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS alias Fed Fund Rate (FFR).
"Itu kami pandang bahwa suku bunga kebijakan kita itu sudah cukup kompetitif di dalam memberikan ruangan bagi masuknya aliran modal asing," papar Perry.
Meski demikian, BI masih akan memantau perkembangan kondisi ekonomi global dan dalam negeri untuk menetapkan kebijakan moneter di masa depan.
"Tentu saja ke depan akan kami evaluasi lagi secara bulan. Dan bulan ke depan terus akan kita memantau berbagai perkembangan baik ekonomi di dalam negeri maupun luar negeri. Bagaimana arah sebenarnya dari FFR," tandas dia.
Kali ini kalangan bankir mengharapkan agar BI tak lagi menaikkan bunga acuan.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja memprediksi BI tak akan melakukan peningkatan bunga acuan. Pasalnya, kenaikan 50 bps pada Juni lalu sudah cukup besar.
"Kalau bulan ini saya prediksi akan tetap dulu karena baru naik 0,5%. Harapannya paling tidak BI harus mengikuti tren bunga dolar AS. Mungkin di bulan September saat bunga AS naik, bunga rupiah juga harus ikut naik," kata Jahja kepada detikFinance, Kamis (19/7/2018).
Jahja menjelaskan langkah BI menaikkan bunga acuan 0,5% pada Juni merupakan langkah yang tepat untuk mengejar ketertinggalan dari tren kenaikan bunga bank sentral AS.
"Makanya kurs sekarang stabil, kalau kemarin hanya naik 0,25% pasti kurs rupiahnya bisa gejolak terus," imbuh dia.
Senada dengan Jahja, Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk Hariyono Tjahjarijadi juga mengharapkan BI tidak meningkatkan bunga acuan.
"Peluang untuk naik memang 50:50 ya, tapi kali ini saya inginnya ditahan dulu (bunga)," ujar Hariyono.
Periode Mei dan Juni BI telah menaikkan bunga acuan hingga 100 bps. BI menilai langkah peningkatan ini dilakukan sebagai langkah pre-emptive, front loading dan ahead of the curve.
Hal ini juga dilakukan sebagai langkah untuk stabilitas nilai tukar rupiah. Bunga deposit facility naik menjadi 4,5% dan suku bunga lending facility naik menjadi 6%.
Ekonom PermataBank Josua Pardede menjelaskan BI diprediksi akan tetap mempertahankan bunga acuan di level 5,25%.
"Dengan ditahannya bunga nilai tukar rupiah ke depannya diperkirakan masih akan dipengaruhi oleh sentimen eksternal yakni perkembangan isu perang dagang yang berpotensi berdampak negatif pada prospek pertumbuhan ekonomi negara berkembang," kata Josua, Kamis (19/7/2018).
Dia menambahkan dengan ekspektasi perbaikan pertumbuhan ekonomi, defisit fiskal yang prudent di kisaran 2,1-2,2% terhadap produk domestik bruto (PDB), serta ekspektasi current account deficit (CAD) masih berada di level yang cenderung sehat di level 2-2,5% terhadap PDB, nilai tukar rupiah diperkirakan tetap stabil di tengah gejolak pasar keuangan global.
"Seandainya rupiah kembali tertekan, ruang pengetatan moneter BI masih terbuka sekitar 25 bps lagi pada semester II tahun ini," imbuh dia.
Josua menambahkan bos Bank Sentral AS, Jerome Powell mengatakan bahwa assessment The Fed pada perekonomian AS menunjukkan perbaikan ditandai dengan pasar tenaga kerja yang menguat serta tren inflasi yang meningkat.
The Fed optimistis bahwa target jangka panjang pada indikator inflasi dan tingkat pengangguran dapat tercapai mempertimbangkan perkembangan ekonomi AS saat ini.
Optimisme tersebut mendukung rencana The Fed untuk kembali menaikkan Fed Fund Rate (FFR) sebesar 50 bps pada semester II tahun ini.
Namun demikian, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps pada semester I tahun ini yang merupakan langkah pre-emptive, front-loading dan ahead the curve. Langkah ini dilakukan untuk menjaga daya saing aset-aset keuangan berdenominasi rupiah di tengah normalisasi kebijakan moneter AS dan potensi perang dagang antara AS dan China.
Setelah BI menaikkan suku bunga acuan pada RDG Juni lalu, dana asing sudah mulai masuk di pasar obligasi sekitar US$ 375 juta per 12 Juli 2018, meskipun investor asing masih membukukan penjualan bersih sebesar US$ 91 juta di pasar saham per 17 Juli 2018.
"Selain itu, volatilitas rupiah cenderung menurun pasca kenaikan suku bunga BI bulan lalu serta sentimen perang dagang yang mulai mereda," ujarnya.
Sementara itu, inflasi pun diperkirakan tetap terkendali di kisaran 3,5Β±1% yoy hingga akhir tahun ini mengingat inflasi periode Idul Fitri masih terkendali di level 3,12% yoy.
Langkah BI menahan bunga acuan di level 5,25% sepertinya tak mempengaruhi nilai tukar. Padahal, dua bulan sebelumnya, setelah BI mengumumkan kenaikan bunga acuan, pasar selalu merespon dengan baik dengan menunjukan penguatan rupiah kemudian dolar AS yang mulai loyo. Namun tidak untuk periode Juli ini, sepanjang hari kamis (19/7) Dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan keperkasaannya. Dolar terus berada pada tren penguatan dan akhirnya tembus Rp 14.500.
Kamis malam, pukul 19.31 WIB dolar AS berada di Rp 14.529 setelah sempat menyentuh rekor tertinggi tahun ini di Rp 14.534. Demikian dikutip detikFinance, dari data perdagangan reuters, Kamis (19/7/2018).
Bila ditarik dari rentang awal tahun 2018, laju rupiah terpantau dalam tren pelemahan yang cukup dalam. Awal tahun 2018, dolar AS masih berada di rentang Rp 13.300-13.400.
Dolar AS sempat mencatat level terendah di akhir Februari 2018 pada posisi Rp 13.292.
Dolar AS terus merangkak naik dan membuat rupiah makin terdesak. Pada 11 Februari 2018, Dolar sempat menyentuh Rp 13.659 lalu turun ke Rp 13.562 pada 18 Februari 2018.
Bank Indonesia (BI) sedang berupaya untuk membuat pasar keuangan Indonesia bisa lebih menarik. Hal ini dilakukan agar aliran dana bisa terus masuk dan likuiditas tetap terjaga.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan BI dalam waktu dekat akan mengeluarkan instrumen baru yakni 'Indonia' untuk meningkatkan kredibilitas benchmark dari pasar uang.
"Dalam waktu dekat untuk meningkatkan kredibilitas benchmark pasar uang suku bunga pasar uang berbasis transaksi dan 'Indonia' itu bagian untuk bagaimana meningkatkan daya tarik pasar keuangan global," ujar Perry dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Perry mengungkapkan instrumen ini akan dikeluarkan dalam waktu dekat. Saat ini BI juga sedang melakukan pemantauan dan pengawasan sejumlah perkembangan.
"Nanti kita perbaiki benchmark penentuan suku bunga di pasar uang yang overnight. Itu adalah benchmark bunga yang dasarnya transaksi bukan quotasi. Insya Allah akhir bulan ini akan diluncurkan ini sudah mengikuti best practice negara lain," ujarnya.
Dia menyampaikan, BI juga memiliki upaya lain untuk membuat pasar keuangan agar lebih menarik. Seperti mengurangi biaya lindung nilai dan prosesnya cepat. Kemudian biaya call spread yang lebih murah dan mudah digunakan. BI juga akan melakukan sosialisasi ke perbankan dan dunia usaha.
"Yang ingin kami sampaikan ke perbankan dan dunia usaha. Mari kita sama-sama membuat pasar keuangan kita lebih menarik dan bisa mendorong masuknya aliran modal asing khususnya portofolio," ujarnya.
BI sedang mengkaji penerbitan sertifikat Bank Indonesia (BI) dengan tenor atau jangka waktu 9 bulan hingga 12 bulan. SBI adalah surat berharga yang dikeluarkan BI sebagai pengakuan utang berjangka dengan waktu pendek 1-3 bulan dengan sistem bunga. SBI adalah instrumen yang digunakan BI untuk stabilisasi nilai rupiah.
"Tentu ini akan menjadi daya tarik untuk masuknya portofolio asing," kata Perry dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (18/7/2018).
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara menyampaikan saat ini kondisi ekonomi masih dibayangi oleh ketidakpastian global dan normalisasi kebijakan bank sentral dan kenaikan bunga acuan di AS. Selain itu depresiasi Yuan dan perkembangan lainnya juga memberikan dampak ke aliran modal ke negara emerging market.
"Ini menyebabkan capital reversal, makanya kurs dari negara-negara berkembang terdepresiasi termasuk Indonesia, maka dari itu penting untuk mengundang kembali aliran modal asing tersebut," kata Mirza.
Untuk penyertaan modal asing (PMA), upaya untuk mengundang investor sudah dijalankan oleh pemerintah, salah satunya dengan insentif. Terkait dengan investasi portofolio, BI akan berupaya untuk membuat pasar keuangan di dalam negeri tetap atraktif.
Upaya ini dituangkan dengan reaktivasi SBI. Jika ini diterapkan, Mirza mengungkapkan BI akan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) untuk tenor 9 dan 12 bulan dihentikan sementara.
"SDBI 9 dan 12 bulan digantikan menjadi SBI," ujar Mirza.
SDBI dan SBI dibedakan berdasarkan kepemilikannya. Di dalam SBI, dana asing bisa masuk. Sementara itu, SDBI hanya hanya memperbolehkan dana dari dalam negeri.