Kata Geolog Harga Saham Feeport Rp 55 Triliun Mahal atau Murah?

Kata Geolog Harga Saham Feeport Rp 55 Triliun Mahal atau Murah?

Muhammad Idris - detikFinance
Senin, 30 Jul 2018 17:20 WIB
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Setelah melalui proses negosiasi yang panjang dan alot, akhirnya PT Freeport Indonesia (PTFI) sepakat mendivestasikan 51% saham ke pemerintah Indonesia. Sabagai kepanjangan tangan pemerintah, PT Inalum (Persero) nantinya akan menjadi pemegang saham mayoritas di PTFI.

Kesepakatan divestasi saham sendiri dilakukan lewat Head of Agreement (HoA) antara Inalum dan Freeport McMoran (FCX) selaku induk PTFI. Nilai akuisisi 51% saham PTFI sebesar US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 55 triliun (kurs Rp 14.300). Dana tersebut dibutuhkan untuk membeli 40% hak partisipasi (participating interest/PI) Rio Tinto di tambang Grasberg PTFI dan saham dari FCX yang ada di PTFI hingga menjadi 51%.

Pengurus Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Iwan Munajat, menjelaskan nilai negosiasi pengalihan saham sebesar US$ 3,85 miliar sebenarnya relatif wajar. Menurutnya, meski tak bisa dibilang murah, angka tersebut bisa disebut sebagai hasil kesepakatan yang menguntungkan Indonesia di masa mendatang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"US$ 3,85 miliar itu sebenarnya harga yang bagus. Bulan September 2017 saya pernah hitung dengan data yang saat itu di-publish. Kalau dengan harga saat itu, (pembelian saham) 45,6% itu bukan US$ 3,8 miliar, tapi US$ 4,5 miliar. Jadi US$ 3,85 miliar itu harga yang bagus, boleh dibilang murah sih tidak," kata Iwan kepada detikFinance pekan lalu.


Menyoal debat agar pemerintah Indonesia sebaiknya mengambil alih PTFI di tahun 2021 atau saat kontraknya habis, dia menilai langkah tersebut bisa membuat tambang berhenti total, yang pada akhirnya bisa merugikan kedua belah pihak.

"Kenapa tak nunggu saja 2021? Itu urusan politis sama legal. Kami secara teknis pesan, bagaimana tambang harus operasi terus, tak boleh berhenti, mau kapan anytime, dealnya seperti apa. Freeport di Grasberg, mereka pakai sistem block caving, ini mensyaratkan dua hal, aktivitas penambangan dan maintenance enggak boleh berhenti, 24 jam harus dimonitor dan harus ada produksi setiap hari," terang Iwan.

"Jadi ini sekali kita tambang, enggak bisa berhenti. Karena ada kemungkinan tambang kolaps, nah ini problemnya, kalau peralihan Freeport ke Indonesia enggak baik, bisa akibatkan tambang berhenti dan runtuh. Dan kerugiannya sangat besar, mungkin US$ 20-25 miliar untuk membuat kanal-kanal baru. Begitu tambang berhenti semua rugi, Indonesia rugi, Freeport rugi, dan saudara-saudara kita di Papua juga rugi," tambahnya.

Dikatakannya, tambang milik Freeport merupakan salah satu yang paling rumit di dunia. Butuh waktu beberapa tahun ke depan bagi tenaga-tenaga ahli Indonesia untuk mengambil secara keseluruhan area tambang milik perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.

"Sebanyak 90% pegawai sudah orang Indonesia, bahkan operator remote equipment, dia dari atas jalankan kendaraan di bawah tanah. Tapi sistemnya, maintenance-nya, itu terus terang masih dipegang orang luar. Bukan tidak mampu, hanya saat ini belum, kalau sudah dimiliki Indonesia (51% saham), bisa didorong itu. Sekarang bisa langsung, ya tidak juga, tambang misal di Pongkor (Antam), tidak secanggih itu," ungkap Iwan.


Lanjut dia, dengan menjadi pengendali saham di Freeport, Indonesia diuntungkan dengan teknologi yang dimiliki perusahaan tersebut. Lewat Freeport, pemerintah bisa melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan tambang di lokasi lain di Indonesia.

"Tambang Grasberg salah satu yang terbesar di dunia yang menerapkan teknologi sangat kompleks dan terkini. Baru beberap tambang saja yang implementasikan teknologi yang sama. Dia ada dia area tinggi, dingin dan curam, tapi kandungannya (cadangan emas dan tembaga) sangat besar. Terowongan hampir 12 km di batuan yang sangat berat, banyak patahan yang mudah runtuh, daerah gempa sehingga sangat kompleks," kata Iwan.

"Kalau kita sebagai pemilik Freeport nantinya, kita punya landasan dan akses yang disebut Papua Belt, seluruh Papua yaitu Papua Barat, Papua, dan Papua Nugini memiliki kandangan emas dan tembaga yang sangat besar. Di Papua Nugini sudah 17 tambang, tapi di Papua cuma satu, Freeport saja," pungkasnya.

(idr/hns)

Hide Ads