Wafat di Singapura, Ini Fakta-fakta Tentang Ciputra

Wafat di Singapura, Ini Fakta-fakta Tentang Ciputra

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Kamis, 28 Nov 2019 06:34 WIB
1.

Wafat di Singapura, Ini Fakta-fakta Tentang Ciputra

Wafat di Singapura, Ini Fakta-fakta Tentang Ciputra
Foto: Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta - Pendiri Grup Ciputra, Dr (HC) Ir Ciputra tutup usia kemarin (27/11/2019). Pengusaha properti terkemuka ini menghembuskan nafas terakhirnya di Singapura pada usia 88 tahun.

Sebagai pengusaha, pria yang akrab disapa Pak Ci tercatat salah satu orang terkaya di Indonesia. Forbes mencatat, Ciputra dan keluarga memiliki kekayaan bersih US$ 1,3 miliar atau setara Rp 18,2 triliun (kurs Rp 14.000).

Kekayaan itu menempatkan Ciputra di urutan 1941 orang terkaya dunia dan di urutan 27 terkaya di Indonesia pada tahun 2018.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan harta sebanyak itu, Ciputra bisa dikatakan sebagai orang tajir melintir. Namun, kehidupan Ciputra sangat jauh berbeda di masa lalu.

Buka halaman berikutnya>>>
Kisah hidup Ciputra tertuang dalam biografinya The Passion of My Life karya Alberthiene Endah. Dalam buku itu diceritakan, pada 1951 Tjie Tjin Hoan sangat kegirangan mendapat kabar di mana Pemerintah Pemerintah Kota Manado meminta sekolahnya SMA Don Bosco untuk mengizinkannya bergabung dengan kontingen Sulawesi Utara. Ia diminta untuk mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON) II di Lapangan Ikada, Jakarta.

Di tingkat SMA di Sulawesi Utara, Tjin Hoan memang dikenal sebagai jago lari jarak menengah. Spesialisasinya adalah lari 800 meter dan 1.500 meter.

"Bukan main! Ke Jakarta!" Tjin Hoan yang kini lebih dikenal sebagai Ciputra mengutip buku itu.

Perjalanan dari Manado ke Jakarta dengan kapal laut butuh waktu beberapa hari. Sepanjang jalan di atas kapal, lantaran begitu antusiasnya, Tjin Hoan malah jadi susah tidur. Alhasil, saat kapal itu berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Tjin Hoan dan teman-temannya malah loyo. Apalagi mereka hanya makan seadanya di atas kapal.

Walau tak sempat lagi memulihkan stamina, Tjin Hoan dan teman-temannya bertanding penuh semangat. Tjin Hoan lolos dari kualifikasi dan menembus babak final di nomor lari 800 meter dan 1.500 meter. Meski sudah berusaha mati-matian, dia gagal membawa pulang medali.

Tapi, ia tak kecewa. Dia tetap pulang dengan kepala tegak. Apalagi dia menikmati betul perjalanan ke Ibu Kota Jakarta saat itu, terutama saat diundang Presiden Soekarno ke Istana Merdeka.

"Anak muda miskin ini bisa berada di dalam Istana. Saya memandang setiap sudut Istana Merdeka dengan takjub," katanya.

Untuk kali pertama di Istana Merdeka itulah Tjin Hoan mengenal yang namanya Coca-cola.

"Saat menenggaknya, saya merasakan sensasi yang luar biasa," sambungnya.

Ciputra merintis usahanya sejak masih jadi mahasiswa di ITB. Ia membangun bisnis bersama dua sahabatnya sesama mahasiswa ITB Budi Brasali dan Ismail Sofyan hanya bermodal ilmu arsitektur yang didapat di kampus. Mereka mendirikan CV Daya Tjipta.

Awalnya, seperti kisah Larry Page dan Sergei Brin memulai Google, mereka berkantor di sebuah garasi di Jalan Soetjipto, Bandung. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah di Bandung mencari orang yang bersedia memakai jasanya. Hingga akhirnya Ciputra menikah, punya anak dan menyandang gelar insinyur dari ITB.

"Apakah kita akan terus begini dan menunggu order datang?" Ciputra bertanya kepada Budi dan Ismail.

Bagi Ciputra kala itu, hanya mengerjakan proyek-proyek kecil dan bertahan hidup saja tak membuatnya puas. Sebab itu, ia berniat membuat lompatan besar.

Maka dia memboyong keluarganya meninggalkan Bandung dan pergi ke Jakarta. Pada awal 1960-an, Jakarta sedang berbenah. Tak ada cara lain supaya bisa dapat proyek besar kecuali bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta yang saat itu dijabat Soemarno Sosroatmodjo.

Lewat perantaraan seorang kerabat, Ciputra berkenalan dengan Mayor Charles, mantan asisten Gubernur Soemarno. Ciputra minta bantuan Charles untuk mempertemukannya dengan Gubernur Soemarno.

"Saya hanya ingin menyampaikan pemikiran saya untuk membangun Jakarta," kata Ciputra.

Entah apa yang dipikirkan Gubernur Soemarno, dia mau menemui dan mendengarkan paparan gagasan Ciputra yang baru lulus kuliah. Soemarno membenarkan konsep Ciputra namun pemerintah tak punya dana. Soemarno menunjuk satu wilayah Jakarta, kawasan Senen, yang perlu segera ditata.

Dengan mengendarai sepeda motor, datanglah Ciputra ke kawasan Senen, Jakarta Pusat. Yang dia lihat saat itu adalah satu kesemrawutan yang sempurna. Kios-kios dan lapak pedagang berimpitan sangat rapat, berebut tempat dengan rumah-rumah petak warga. Sampah bertebaran dan menggunung di mana-mana, seolah sudah jadi suatu hal yang wajar.

Berhari-hari, Ciputra bolak-balik menyusuri setiap pojok kawasan Senen sembari terus memutar otak, bagaimana caranya membereskan kesemrawutan itu. Dia balik ke Bandung menemui dua sahabatnya, Budi dan Ismail.

"Kita harus membuat maket yang sempurna," kata Ciputra. Mereka tancap gas menggarap proyek itu siang-malam.

"Saya setuju. Sempurna.... Pertokoan dan permukiman memang tak boleh disatukan," kata Gubernur Soemarno setelah menyimak presentasi Ciputra.

Soemarno pun mengajak Ciputra untuk bertemu Presiden Soekarno. Beberapa hari kemudian, Gubernur Soemarno dan tim Ciputra diterima Presiden Sukarno untuk mempresentasikan konsep peremajaan kawasan Senen. Ciputra yang masih anak bawang mesti mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diri.

Meski yang dihadapi hanyalah arsitek yang masih sangat muda, Presiden Sukarno menyimak pemaparan Ciputra dengan serius.

"Bagus sekali," kata Presiden Sukarno.

Restu dari Presiden turun sudah, tapi ada satu masalah besar belum terselesaikan yakni masalah pendanaan. Gubernur Soemarno berjanji akan membantu mengumpulkan sejumlah pengusaha untuk menyokong proyek itu. Berkumpullah beberapa pengusaha besar kala itu, seperti Hasjim Ning dan Agus Musin Dasaad, juga sejumlah petinggi bank, seperti Jusuf Muda Dalam, bos Bank Negara Indonesia, dan Jan Daniel Massie, Direktur Utama Bank Dagang Negara. Lahirlah PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya (Pembangunan Jaya) pada 3 September 1961.

Proyek Senen ini tak semulus rencana di atas kertas. Pedagang dan penduduk yang sudah bertahun-tahun berada di Senen menolak pindah dan melawan sengit setiap upaya menggusur mereka. Perlu usaha sangat keras, berkeringat dan berdarah-darah supaya Proyek Senen terus merayap ke depan.

Hingga Gubernur Jakarta berganti, Ciputra dan anak buahnya masih terus berjuang menuntaskan Proyek Senen. Akhirnya tiga blok berhasil mereka bangun, yakni Blok I, Blok II, dan Blok IV.

Proyek Senen menguras tenaga dan emosi. Tapi proyek inilah yang jadi pijakan pertama usaha Ciputra hingga akhirnya perusahaannya beranak-pinak sampai sekarang. Di Senen, Ciputra mendapat pelajaran berharga. Setelah menuntaskan tiga blok itu, dia menyampaikan kepada anggota direksi Pembangunan Jaya, Eric Samola, Soekrisman, dan Hiskak Secakusuma, niatnya mundur dari Senen.

"Cukup sudah, saya tak mau meneruskan pekerjaan di Proyek Senen," kata Ciputra suatu hari.

Ia bilang, proyek iu merupakan pelajaran pertama dan terakhir. Ke depan, ia berharap tak mengerjakan lagi proyek yang menyakiti orang lain, tidak menggusur dan memaksa pindah.


Saat usianya menginjak 60 tahun, Ciputra memutuskan dia akan pensiun dari Pembangunan Jaya lima tahun lagi. Pada 23 Juli 1996, setelah melewati Rapat Umum Pemegang Saham dan setelah 30 tahun memegang kemudi perusahaan, Ciputra resmi mundur dari Direksi PT Pembangunan Jaya. Itu ialah perusahaan yang dia dirikan pada 1961.

Baru setahun pensiun, badai datang menghantam Pembangunan Jaya dan perusahaan-perusahaan lain milik Ciputra yang bernaung di bawah Grup Metropolitan Development maupun Grup Ciputra.

"Sebenarnya sejak 1997 saya sudah punya firasat. Persoalan ekonomi di Thailand, Korea Selatan, dan beberapa negara Asia pasti akan menyambar Indonesia," kata Ciputra, dikutip dalam biografinya The Passion of My Life.

Namun, ia berusaha optimistis. Apalagi, sebelum awan gelap itu datang, kinerja hampir semua perusahaannya lumayan kinclong.

Tapi, perhitungan dan keyakinan Ciputra meleset. Kekuatan rupiah cepat sekali lunglai di depan dolar Amerika Serikat (AS). Dari semula nilai satu dolar hanya berkisar Rp 2.000, kemudian naik menjadi Rp 2.500, dan dalam waktu kurang dari setahun, nilai tukar dolar sudah melompat lebih dari lima kali lipat.

Maka celaka lah perusahaan-perusahaan Indonesia yang punya utang besar dalam dolar. Tiba-tiba utang mereka menggelembung sangat besar. Manajemen Grup Ciputra panik. Perusahaan milik keluarga Ciputra ini punya utang hampir US$ 100 juta.

"Kami sama sekali tak menduga," ujar Ciputra.

Alih-alih membaik, kondisi perekonomian malah makin buruk. Utang perusahaan-perusahaan Ciputra menggelembung dan pada saat bersamaan penjualan menukik tajam.

"Pada satu titik saya paham, kapal kami telah karam meski belum tenggelam," kata Ciputra.

"Secara logika, utang-utang kami akan sulit terbayar," imbuhnya.

Kondisi Pembangunan Jaya yang usahanya banyak bergerak di bidang konstruksi dan properti paling terpukul krisis ekonomi. Hanafi Lauw yang menggantikan posisi Ciputra sebagai nakhoda, sampai terkena stroke dan tak pernah pulih kembali. Barangkali hanya Metropolitan Kentjana yang utangnya sangat kecil yang kondisinya paling mendingan.

Melihat semua perusahaan yang dia bangun dengan susah payah dalam kondisi sekarat dan harus memecat ribuan karyawannya. Ciputra yang biasanya keras dan disiplin sangat terpukul.

"Di kamar tidur, di meja makan, bahkan saat saya mandi dengan air shower menyiram tubuh, saya berlinang air mata. Saya menangis tanpa saya sadari," kata Ciputra.

Makan tak enak, tidur tak pernah nyenyak, membuat berat badannya menyusut.

Hampir setiap hari, Ciputra bersama anak-anak dan para menantunya, juga manajemen grup Ciputra, mesti menghadapi tekanan dan kemarahan dari pihak bank yang menghendaki utangnya dibayar. Serta, para kontraktor, mandor, dan pemasok yang meminta tagihannya segera dilunasi. Sementara pendapatan terus menyusut, bahkan kering sama sekali.

Saat krisis ekonomi tahun 1998, Edmund Sutisna, kala itu Direktur Pembangunan Jaya, menuturkan Ciputra berbagi tugas dengan manajemen Pembangunan Jaya dan Metropolitan. Penyelesaian masalah di Pembangunan Jaya diserahkan kepada direksi, demikian pula di Metropolitan.

"Pak Ci konsentrasi menyelesaikan masalah di Grup Ciputra. Dia memberi kepercayaan kepada kami di Grup Jaya untuk menyelesaikan sendiri. Tapi kalau ada masalah kami konsultasikan dengan beliau," kata Edmund kepada detikcom, beberapa waktu lalu.

Meski sangat sulit dan melelahkan, menguras emosi dan air mata, dengan tertatih-tatih, tiga kelompok usaha Ciputra yakni Pembangunan Jaya, Metropolitan, dan Grup Ciputra, perlahan keluar dari krisis. Banyak hal mesti dikorbankan.

Untuk menutup utang, Ciputra melepas saham di sejumlah perusahaan, di antaranya di Bumi Serpong Damai (BSD). Beberapa unit usaha seperti Bank Ciputra terpaksa ditutup untuk selamanya.

Di tengah badai krisis, Ciputra tetap mati-matian mempertahankan reputasi yang dibangunnya bertahun-tahun.

"Cara Pak Ci menghadapi badai adalah tidak dengan lari, tapi menghadapinya," kata Antonius Tanan, Direktur Senior Grup Ciputra, kepada detikcom.

Berbagai cara dan skema ditawarkan Ciputra dan timnya kepada para kreditur untuk menyelesaikan utang.

"Salah satu prinsip yang beliau ajarkan saat itu adalah bila kita tahu bahwa kita akan kesulitan bayar utang, maka jangan tunggu sampai dicari dan ditagih, tapi temui lebih dulu kreditur dan beri tahu kondisinya lalu cari jalan keluar bersama," katanya.

Krisis ekonomi yang nyaris menyapu bersih usahanya tak hanya membuat Ciputra lebih dekat dengan agama, tapi juga memberikan banyak pelajaran kepada dia.

"Orang-orang mengatakan setelah krisis Ciputra menjadi lebih penyabar. Itu benar," kata Ciputra. Krisis juga membuat Ciputra dan anak-anaknya sangat berhati-hati dalam berutang.

Badai itu sudah bertahun-tahun lalu berlalu. Semua usaha Ciputra sudah bangkit kembali, bahkan tumbuh makin besar hingga saat ini.

Hide Ads