Saat usianya menginjak 60 tahun, Ciputra memutuskan dia akan pensiun dari Pembangunan Jaya lima tahun lagi. Pada 23 Juli 1996, setelah melewati Rapat Umum Pemegang Saham dan setelah 30 tahun memegang kemudi perusahaan, Ciputra resmi mundur dari Direksi PT Pembangunan Jaya. Itu ialah perusahaan yang dia dirikan pada 1961.
Baru setahun pensiun, badai datang menghantam Pembangunan Jaya dan perusahaan-perusahaan lain milik Ciputra yang bernaung di bawah Grup Metropolitan Development maupun Grup Ciputra.
"Sebenarnya sejak 1997 saya sudah punya firasat. Persoalan ekonomi di Thailand, Korea Selatan, dan beberapa negara Asia pasti akan menyambar Indonesia," kata Ciputra, dikutip dalam biografinya The Passion of My Life.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, perhitungan dan keyakinan Ciputra meleset. Kekuatan rupiah cepat sekali lunglai di depan dolar Amerika Serikat (AS). Dari semula nilai satu dolar hanya berkisar Rp 2.000, kemudian naik menjadi Rp 2.500, dan dalam waktu kurang dari setahun, nilai tukar dolar sudah melompat lebih dari lima kali lipat.
Maka celaka lah perusahaan-perusahaan Indonesia yang punya utang besar dalam dolar. Tiba-tiba utang mereka menggelembung sangat besar. Manajemen Grup Ciputra panik. Perusahaan milik keluarga Ciputra ini punya utang hampir US$ 100 juta.
"Kami sama sekali tak menduga," ujar Ciputra.
Alih-alih membaik, kondisi perekonomian malah makin buruk. Utang perusahaan-perusahaan Ciputra menggelembung dan pada saat bersamaan penjualan menukik tajam.
"Pada satu titik saya paham, kapal kami telah karam meski belum tenggelam," kata Ciputra.
"Secara logika, utang-utang kami akan sulit terbayar," imbuhnya.
Kondisi Pembangunan Jaya yang usahanya banyak bergerak di bidang konstruksi dan properti paling terpukul krisis ekonomi. Hanafi Lauw yang menggantikan posisi Ciputra sebagai nakhoda, sampai terkena stroke dan tak pernah pulih kembali. Barangkali hanya Metropolitan Kentjana yang utangnya sangat kecil yang kondisinya paling mendingan.
Melihat semua perusahaan yang dia bangun dengan susah payah dalam kondisi sekarat dan harus memecat ribuan karyawannya. Ciputra yang biasanya keras dan disiplin sangat terpukul.
"Di kamar tidur, di meja makan, bahkan saat saya mandi dengan air shower menyiram tubuh, saya berlinang air mata. Saya menangis tanpa saya sadari," kata Ciputra.
Makan tak enak, tidur tak pernah nyenyak, membuat berat badannya menyusut.
Hampir setiap hari, Ciputra bersama anak-anak dan para menantunya, juga manajemen grup Ciputra, mesti menghadapi tekanan dan kemarahan dari pihak bank yang menghendaki utangnya dibayar. Serta, para kontraktor, mandor, dan pemasok yang meminta tagihannya segera dilunasi. Sementara pendapatan terus menyusut, bahkan kering sama sekali.