3 Langkah Jitu Pulihkan Ekonomi RI dari Tekanan Pandemi

3 Langkah Jitu Pulihkan Ekonomi RI dari Tekanan Pandemi

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Senin, 29 Jun 2020 17:44 WIB
Poster
Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

Anggota Badan Anggaran DPR RI Mufti Anam menyatakan, pemerintah perlu fokus pada tiga sasaran utama untuk mengefektifkan upaya pemulihan ekonomi. Tiga sasaran itu adalah konsumsi rumah tangga, kemampuan alokasi anggaran pemerintah, dan ketahanan dunia usaha dari risiko kebangkrutan.

Mufti pun memberi sejumlah catatan pada tiga sasaran itu. Pertama, untuk menjaga konsumsi rumah tangga, program perlindungan sosial perlu dijaga keberlanjutannya.

"Dengan mempertimbangkan proses recovery ekonomi rumah tangga, alokasi anggaran perlindungan sosial pada 2021 tetap perlu dijaga untuk stimulus konsumsi, tentu dengan porsi yang bisa dikaji pemerintah," ujar Mufti.

Kedua, terkait alokasi anggaran pemerintah, Mufti memberi catatan pada realisasi anggaran dan penyusunan defisit fiskal. Pemerintah sendiri tercatat telah empat kali merevisi anggaran COVID-19, dulu Maret Rp 121,3 triliun, lalu terakhir Juni diperbarui Rp 695 triliun.

"Seperti yang diperintahkan Presiden Jokowi, realisasi anggaran adalah isu utama yang wajib diperhatikan," ujarnya.

"Dukungan dana besar tanpa penyerapan memadai tentu menjadikan penanganan COVID-19 tidak optimal," imbuh politisi PDI Perjuangan tersebut.

Per 31 Mei 2020, realisasi belanja negara tercatat hanya 32,3 persen terhadap APBN versi Perpres 54/2020, atau 30,8 persen versi Perpres 72/2020. Realisasi anggaran Mei 2020 juga lebih rendah dibanding Mei 2019. Realisasi dampak COVID-19 seperti sektor kesehatan, insentif usaha, dan UMKM juga masih sangat rendah.

Mufti juga mengingatkan pemerintah agar hati-hati dalam menyusun proyeksi defisit fiskal. Tahun depan, IMF memprediksi defisit APBN 5 persen terhadap PDB, lebih tinggi dari proyeksi Kemenkeu 3,21-4,17 persen. Konsekuensinya, rasio utang pemerintah tahun depan menurut IMF tembus 40,3 persen terhadap PDB, lebih tinggi dari proyeksi Kemenkeu 36-37,9 persen.

"Ini harus benar-benar dikalkulasi, termasuk karena konsekuensinya nanti ke risiko tingginya imbal hasil pembiayaan APBN, yang dalam jangka panjang bisa membebani APBN," ujarnya.


Adapun terkait sasaran ketiga, yaitu ketahanan dunia usaha dari risiko kebangkrutan, Mufti menyebut pentingnya merancang stimulus yang dapat langsung dinikmati dan mampu menggerakkan industri.

Saat ini, sejumlah stimulus yang disiapkan pemerintah justru tak bisa digunakan dunia usaha. Seperti diketahui, pemerintah mengalokasikan Rp120,61 triliun untuk insentif dunia usaha. Alokasi tersebut untuk PPh 21 Ditanggung Pemerintah, penurunan tarif PPh Badan, pembebasan tarif PPh 22 impor, pengurangan angsuran PPh Badan, pengembalian pendahuluan PPN, dan stimulus lainnya.

"Insentif pajak melalui relaksasi PPh Badan, PPN, PPh 22 impor hanya efektif jika pabrik berproduksi normal. Padahal saat ini situasinya lain," ujarnya.

Sejumlah beban besar yang ditanggung industri seperti utilitas kelistrikan justru malah minim insentif. "Industri tetap harus menanggung beban utilitas yang besar meskipun kapasitas produksi berkurang. Listrik, misalnya, permohonan pelonggaran pelanggan premium dari pelaku usaha masih ditolak PLN," ujar Mufti.

Dia juga mencontohkan insentif PPh 21 DTP yang hanya akan dinikmati jika karyawan bekerja. "Padahal selama pandemi, banyak kasus PHK," ujarnya.


Hide Ads