Kondisi ini menimbulkan rasa penasaran masyarakat umum di media sosial. Pemerintah pun turut mencari jalan keluar terkait kondisi keuangan BPJS Kesehatan. Yang terbaru, pemerintah berencana menambal defisit tersebut dengan pendanaan hasil cukai rokok.
Menjawab berbagai isu tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris bakal blak-blakan tentang kondisi keuangan perusahaan. Seperti apa penjelasan Fachmi dengan detikFinance?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ya agak panjang menjelaskan ini, ada begitu banyak hal yang harus kita lihat. Tapi prinsipnya begini, program negara, jaminan kesehatan nasional ini kan berazaskan anggaran berimbang, pendapatan dam pengeluaran itu mesti balance.
Dalam setiap, saya kira termasuk juga di Detikcom, sebuah entitas dalam merencanakan keuangan pasti bicara bersama, memprediksikan apa yang akan dijalankan dari anggaran kerja tahunan.
Nah seperti 2017-2018 sekarang, itu di akhir 2017 kita bicara dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, memutuskan juga tentang biaya operasional, kemudian juga dewan pengawas BPJS Kesehatan mengkalkulasi bagaimana mengatur agar pendapatan dan pengeluaran ini berimbang.
Kalau kita bicara pendapatan pengeluaran itu sumber utama tentu iuran. Iuran itu merupakan komponen sangat penting dalam program ini, dan setelah kita hitung ternyata iurannya belum sesuai dengan hitungan aktuaria, hitungan keekonomian, atau hitungan akademik. Masih ada gap di dalam setiap segmen.
Misalnya pembebanan iuran, itu hitungan 2015 oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional, bukan BPJS. kalau BPJS hitung sendiri pasti penginnya iuran gede. (Jadi) ada lembaga lain, secara khusus itu dalam menghitung tentang biaya untuk masyarakat yang tidak mampu.
Nah dihitunglah 2015 itu, idealnya Rp 36.000. tapi karena ruang fiskal pemerintah juga tidak terlalu lebar, diputuskan untuk Rp 23.000, artinya ada gap 13.000 untuk penerima bantuan iuran.
Kemudian bagaimana dengan mereka yang bukan penerima bantuan iuran? misalnya masyarakat bukan penerima upah atau pekerja mandiri, nah itu kelas III dihitung tahun 2015 itu harusnya Rp 33.000, tapi diputuskan Rp 25.500 artinya ada gap 7.500 di angka ideal. Kelas dua juga itu di 63.000, diputuskan Rp 51.000, jadi ada gap Rp 12.000. Hanya kelas 1 di tahun 2015 itu yang sesuai Rp 80.000 per orang per bulan.
Sebetulnya angka kita ini kalau dibandingkan dengan Vietnam, kebetulan saya baru pulang ada Asean Social Security Association Meeting, Vietnam saja contoh itu iurannya itu US$ 2,7, dengan kurs sekarang.
Itu yang terendah?
Iya yang terendah. Kita Rp 25.000, artinya kita kurang dari US$ 2. Memang angkanya belum mendekati angka ideal. Setelah ini kita hitung, ternyata memang tidak akan match, ada mismatch antara pendapatan, pengeluaran, berbasis iuran. Di dalam regulasi kita menyebutkan, kalau tidak match apakah pengeluarannya dikurangi, artinya ada pengurangan manfaat.
Misalnya selama ini ada (layanan) menanggung gagal ginjal misalnya, cuci darah. Sebenarnya kalau ini dikurangi, otomatis akan mengurangi pengeluaran. Tapi tidak dilakukan, tidak mungkin pemerintah akan membebani masyarakat apalagi ini menyangkut nyawa, menyangkut orang banyak. Sehingga muncul opsi ketiga, yaitu regulasi suntikan dana ketiga.
Jadi sebetulnya saya dikritik pada saat di DPR menyampaikan, ini sebetulnya defisit yang direncanakan. Karena kita sudah tahu bahwa ini akan ada mismatch, akan ada defisit karena iuran tidak sesuai. Dan Pak Jokowi, Presiden, juga menyampaikan pasti banyak pertimbangan, dan menyampaikan satu, jangan naikkan iuran, karena daya beli masyarakat belum tentu juga mampu saat ini. Kira-kira begitu.
Artinya kalau boleh disimpulkan defisit ini bukan karena ketidakmampuan manajemen, tapi memang dari awal juga disadari seperti itu. Artinya kalau sekarang pemerintah memberikan suntikan dana itu sebuah kewajiban, jadi memang harus dilakukan? Ya sudah diperhitungkan pada saat menyusun anggaran kerja itu semua sudah dilihat.
Seperti sekarang ini, kami menyusun rencana kerja untuk tahun depan 2019, oleh karena ketidaksesuaian hitungan aktuaria itu, peserta kalau kita tingkatkan banyak, dia pasti melebar defisitnya. Karena kalau kita bicara secara teologi, pembiayaan keasuransian kita pasti menghitung berapa sih rata-rata premi per orang per bulan.
Sekarang 202 juta, uang masuk lagi 202 juta, sekarang sekitar Rp 36.000-an. Kemudian berapa biaya per orang per bulan, jadi uang yang dipakai untuk spending dibagi jumlah yang pakai, 'oh ternyata kurang Rp 5.000'. Lebih besar Rp 5.000 pengeluaran. Kalau orangnya makin banyak kan makin lebar. Nah ini kita hitung sekarang, tahun depan ini peserta mencapai berapa, kalau peserta mencapai semua, ini, defisitnya sekian. Ini sebenarnya yang kita hitung bersama.
Jadi sekali lagi, tetap kalau ditanya apakah ada missed manajemen atau tidak, saya tidak akan menjawab itu, biar yang lain menilai. Tapi paling tidak kami BPKP Tahun 2017 sampaikan bahwa lembaga kami, good governancenya masuk ke dalam baik. Kemudian bicara keuangan, kantor akuntan publik (KAP) sudah periksa, bahwa kita wajar tanpa modifikasi yang wajar tanpa pengecualian.
Kemudian belum lagi BPK juga periksa, BPK juga periksa tidak ada temuan yang sangat signifikan, menyatakan bahwa ada salah kelola, tapi kami tidak akan menyampaikan itu. Tapi memang ada satu yang ingin saya sampaikan bahwa kami berupaya menjaga governance ini dengan baik, ini komitmen kami.
Andaikan opsinya itu menaikkan iuran, itu yang paling maksimal dan yang tidak moderat, itu berapa? walaupun itu mesti Dewan Jaminan sosial yang menghitung?
Ya paling tidak angka 2015 itu merupakan angka yang cukup baik, kami juga sedang berharap sekali, Dewan Jaminan Sosial juga bekerja dengan baik menghitung, karena dua tahun sekali itu menghitung. Sampai sekarang belum ada hitungan baru, tapi dengan angka segitu pun kita masih bisa menjaga posisinya match antara pendapatan dan pengeluaran.
Misalnya suntikan seret, kemudian kenaikan tarif di tahun politik ini sepertinya nggak mungkin ya menaikkan iuran, risiko psikologinya nggak baik, dimungkinkan tadi ada opsi penyesuaian pelayanan. Apakah ini nanti dioperasi tapi karena anggarannya harus disesuaikan jadi ditunda atau diulur-ulur, apakah seperti itu Pak?
Nggak boleh, apalagi kalau kasusnya kasus emergency. Ini yang saya ingin luruskan juga, kemarin kami menerbitkan aturan tentang pengaturan operasi katarak, pengaturan fisioterapi, pengaturan pelayanan bayi lahir normal pada persalinan. Nah ini kemarin sempat ada berita bahwa BPJS Kesehatan menghilangkan manfaat, tidak menanggung operasi katarak, tidak lagi menanggung fisioterapi, tidak lagi bayi lahir sehat.
Jadi tidak ada penghilangan, tidak ada pengurangan, yang ada itu pengaturan. Jadi disampaikan, kita melihat ini dalam rangka menjaga governance, kemudian kita, walaupun tidak apple to apple kita bandingkan, tapi apabila terpaksa ini kita bandingkan, ada pembiayaan cuci darah itu Rp 2,3 triliun tahun 2017, operasi katarak Rp 2,6 triliun. Lebih besar operasi katarak.
Padahal skala emergency-nya pasti, yang menyangkut nyawa langsung adalah cuci darah. Lalu kita coba telaah, ternyata masih bisa diatur, penjadwalan. Kemudian operasi mana yang emergency, mana yang kemudian masih bisa ada ruang kita untuk menjadwalkan dengan baik.
Tapi kalau dari kasus yang Anda ilustrasikan barusan, saya menangkap kemungkinan okelah audit BPJS oke, tapi kemungkinan dari pihak rumah sakit, dari dokter yang nakal, seperti kasus, kok katarak kan nggak hari ini diperiksa, terus harus dioperasi, kan bisa ditunda. Nah ini kan ada semacam masalah dari sana. BPJS mengendus ada yang terjadi? dan bagaimana menyikapi supaya tidak terulang?
Ini menarik ya, karena kemarin ketua umum pengurus besar IDI diterima presiden. Dan saya baca di media bahwa, beliau menyampaikan, apakah ada dokter yang nakal? Ada. Tapi kemudian tetap kita harus berpikir positif bahwa masih ada dokter yang baik.
Kalau pun ada (yang nakal) itu saya sampaikan oknum. Nah itu yang ingin kita terus perbaiki, kami bersama Menteri Kesehatan, bersama KPK, ada tahapan. Ada tahapan pertama, tahapan menyusun pedoman, mana yang boleh mana yang tidak, mana yang benar mana yang salah, mana yang sesuai etika mana yang tidak sesuai etika.
Tahun ini kita masuk uji coba. Tahun depan kita mulai penindakan, ini karena program baru tentu tidak semua aturan main itu dipahami. Jangan sampai ada yang melanggar, tapi kami tidak takut. Tapi bahwa ada oknum yang nakal itu, saya kira di profesi apapun pasti ada. Nah kita ingin menarik yang nakal, tanpa kemudian mengorbankan yang baik.
Karena begini, program ini 4,5 tahun ini dia akan berjalan, kalau penempatan kita tenaga kesehatan, dokter rumah sakit, tidak berdedikasi tinggi, pasti program ini tidak akan berjalan. Karena kita saling bersinergi untuk program ini.
Mungkin bisa dijelaskan juga, di tahun pertama kayanya sedikit sekali rumah sakit yang mau menerima BPJS. kalau pemintaannya di tahun kedua ketiga sampai sekarang?
Sebenarnya luar biasa ya kalau kita, beritanya menyatakan bahwa rumah sakit suffering kalau kerja sama dengan BPJS. Tapi tidak. Kami berterima kasih kepada rumah sakit terus terang, angkanya itu menyempit dari awal hanya 1.400an sekarang sudah 2.300an, dan sudah mendekati 50% serumah sakit se-Indonesia. dan dari angka itu 60%-nya rumah sakit swasta.
Jadi kalau menyampaikan rumah sakit swasta ini tidak atraktif, ya angka dan data, fakta ini saja yang kita sampaikan.
Nah memang 2-3 bulan ini ada keterlambatan pembayaran, tapi kan itu sebetulnya memberikan jalan keluar, bukan tidak. Ada cashflow misalnya di BPJS, karena kita juga sedang menghitung dengan pemerintah. Kemudian pemerintah memastikan betul, di-review BPKP, apakah betul ada masalah. Kemudian ada proses administrasi, pencairan uang negara, Rp 4,9 triliun itu kan pasti butuh good governence yang baik.
Minggu lalu ada keputusan akan mendapatkan dana talangan hampir 5 T, sementara di berita, koran-koran masih ada rumah sakit yang mengeluh karyawannya belum dibayar, belum dapat dari BPJS, dana itu sudah cair atau belum?
Sudah cair. Jadi begini, kami meluruskan pemberitaan, misalnya ada satu daerah menyatakan sejak Februari belum dibayar BPJS, pasang spanduk. Kami cek, 'oh kami terakhir bulan Agustus', jadi kami sudah memutuskan dan juga ini hasil keputusan rapat dengan Kepala Staf Presiden, buka saja (datanya). Mulai bulan depan kami akan buka juga, rumah sakit ini berapa sudah terima uang dari BPJS, berapa tagihannya, berapa belum jatuh tempo utangnya, berapa sudah jatuh tempo utangnya, berapa sudah dibayar tanggal berapa, itu dibuka saja.
Awalnya ini sempat ada penolakan rumah sakit dibuka, saya tidak tahu pertimbangannya apa, tapi kami sudah memutuskan, nanti masyarakat lah yang melihat. Tapi tadi, kalaupun ada utang, belum jatuh tempo, atau jatuh tempo, ini kita kasih opsi. Opsinya ini begini, BPJS ini dihukum loh, telat bayar itu dihukum 1% sebulan. Denda 1% sebulan.
Bayangkan bunga bank saja sekarang 0,8% paling tinggi sebulan, ini lebih tinggi denda. Artinya apa, artinya dengan program underlying ajak piutang, misalnya Kang Ajat punya rumah sakit, rumah sakit Ajat Medika, kemudian menagih Rp 10 miliar, kalau kita nggak bayar kita kena denda 1%. Nah kita ada namanya program under piutang, atau supply change financing, misalnya saya sebut bank x masuk menutup Rp 10 miliar itu, nanti bunga 0,8% itu ini BPJS yang akan, denda BPJS yang akan menutup itu.
Jadi sebetulnya yang kami harapkan dalam kesempatan ini rumah sakit juga dapat melihat situasi sulit ini untuk mencari jalan keluar, dan kemudian bicara dengan karyawannya, ini BPJS belum bayar, bukan begitu. Kita sudah menikmati plafon ini bersama-sama 2-3 bulan terakhir, ayolah kita cari jalan keluar.
Mengendus ada semacam motif politik nggak? mengingat ini tahun politik, jadi seolah-olah ada yang nggak beres. Padahal sebetulnya ada kasus yang bisa dibicarakan secara internal, tapi kok di blow up keluar?
Kalau saya profesional saja, saya kerja profesional. Kalau kemudian ada spanduk bahwa kami dokter sejak bulan Februari belum dibayar, kemudian muncul, kita cek ternyata terakhir kita bayar akhir Agustus atau awal September ya, kita sampaikan faktanya, bahwa berita ini hoax, tidak betul.
Nanti tinggal masyarakat melihat situasinya, ada motif politik atau tidak ada motif politik ya kita serahkan saja. yang penting kita persoalan kita selesaikan. Jangan persoalan itu kita bahas, kita goreng-goreng nggak karuan.
Saya kembali ke soal defisit, ini pengalaman khas indonesia sebetulnya kan bapak dari Vietnam. Apakah mereka mengalami seperti kita atau, ya mereka mah nggak akan karena iurannya sudah sesuai dengan hitung-hitungan bisnis?
Ya salah satu penghargaan internasional terhadap kita, di luar Indo-Vietnam, kita juga punya asosiasi untuk badan jaminan sosial, namanya International Social Security Association. Salah satu bentuk kepercayaan yaitu, segmen kesehatan ini, sebulan yang lalu, ini saya bukan promosi diri ya, tapi menunjukkan yang kita lakukan ini baik, dan orang apresiasi, mungkin untuk apresiasi dibikin menjadi chairman dari Health Commision dari 155 negara. Jadi yang membahas secara khusus isu-isu tentang asuransi sosial ini.
Itu mulai kapan?
Mulai satu bulan lalu, di sidang kemarin kita dipercaya memimpin sektor kesehatan jaminan sosial ini. Nah di situ pertanyaannya sangat relevan, karena kita mendiskusikan banyak hal. Ada sekarang ini soal challenge-nya apa, salah satunya ada pasti biacara tentang bagaimana menutup tentang covering gap yang ada, fairing pembiayaan dan lain-lain.
Jadi kalau kita melihat, tapi basic harus satu, bahwa sebelum kita bicara tentang financial sustainability, semua negara itu diminta untuk menghitung iurannya itu berbasis aktuaria. Jadi aktuaria soundness itu merupakan keharusan. Kami sekarang bersyukur, kita berkomitmen Menteri Keuangan, Menteri Kesehatan, BPJS, kemudian juga mengundang dari aktuaris dari BPJS, aktuaris dari luar, untuk sama-sama duduk.
Kita sama-sama meletakannya pada fundamental yang kuat, fundamental yang kuat bagaimana mencegah defisit yang akan datang. Karena pengalaman ini kan di-share, jadi kalau kita tidak menghitungnya dengan baik, tidak hati-hati, nanti ada potensi defisit, apalagi programnya dinamis, tidak berhenti.
Kita menghitung sekarang, semakin baik program ini tentu untuk kesehatan itu lebih baik. Angka usia harapan hidup kita, dengan adanya program ini bertambah 2,9 tahun. Kemudian orang miskin, tidak jatuh miskin karena sakit kita punya angka sekitar 1,5 juta orang.
Orang yang sudah miskin tidak makin dalam jatuh miskin, kita punya angka 16 juta orang. Ini sangat berdampak terhadap produktivitas. Tapi kita akan lihat juga orang semakin usia bertambah, tentu penyakit akan bergeser, nah itu harus dihitung terus.
Namun demikian contoh saja, kalau di Inggris, misalnya kita punya uang berapa, dihitung, nantikan sangat terkait juga dengan spending kan, tarif, bicara tarif, dokter bicara, ada IDI masuk dalam bicara, menghitung uang kita sekian,kemudian yang akan ditanggung sekian, tarifnya sekian, 'oh ternyata nggak match, nggak cukup'. Negosiasi jadinya, berapa sebetulnya tarif yang layak untuk keekonomian rumah sakit, tapi juga penuhi syarat. Nggak selesai misalnya ini, kita bentuk tim kedua, sampai terakhir pemerintah memutuskan ini kita kerjakan.
Tapi kalau ini sudah dihitung baik kemudian ke depan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, bisa saja terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, walaupun undang-undang kita menyatakan outbreak itu tidak ditanggung, misalnya itu di Inggris terjadi, itu ada bailout dari pemerintah.
Jadi istilah bailout itu bisa dibaca di literatur jaminan sosial. Yang di media sosial ini menyebut bailout ini menakutkan. Karena orang mikir, ini kayak Century ini, ini lebih besar dari Century. Padahal bailout terminologi biasa di dalam penyelesaian hal-hal seperti itu.
16,5 triliun baru dapat talangan sekitar 5 t, kemudian disebut presiden sudah buat Keppres akan menggunakan dari dana cukai rokok. Hitung-hitungannya seperti apa pelaksanaannya nanti?
Dari sisi revenue disampaikan salah satunya adalah pajak rokok. Kalau mengikuti pemberitaan ini kan menarik, kok jadi ramai ya. Kok, merokoklah agar dapat membantu kesehatan.
Ini bukan sesuatu yang aneh, malahan dianjurkan oleh WHO. Di situ disebutkan, naikkan lah cukai setinggi-tingginya. Tujuannya apa? karena yang merokok ini kan elastic ya, kalau sudah merokok pasti merokok. Tapi mencegah perokok baru untuk masuk.
Nah ini cukai uangnya buat apa? cukai ini kan sebetulnya sin tax, pajak dosa ya. Kalau anda merokok pasti berpengaruh terhadap organ. Jadi butuh upaya-upaya pencegahan.
Nah kita bisa benchmark, di Filiphina itu organisasnya, BPJS Kesehatannya, PhilHealth. PhilHealth itu sudah hampir 80% pajak dosa ini, cukai ini, memang harus untuk kesehatan.
Cukai ini kan sama dengan dana reboisasi ya, anda potong hutan, anda setor uang. Itu kan cukai, sin tax. Uangnya dipakai untuk tanam pohon lagi. Demikian juga dengan merokok, Anda merokok, uangnya dipakai apa? untuk program kesehatan.
Kembali ke Filipina tadi, 80% sin tax itu bukan cuma rokok, ada pajak, sin tax atau cukainya alkohol di Filipina. Mungkin minumnya banyak, jadi ada pengaruh ke alkohol.
Kemarin terakhir waktu di Geneva ada yang namanya sin tax, cukai casino, itu mungkin pengaruh kesehatan mental ya, saya nggak tahu.
Artinya berbagai upaya dilakukan untuk mengisi ruang kalau kemungkinan ada potensi defisit. Jadi ini bukan sesuatu yang presiden aneh ambil keputusan. Kita bisa belajar banyak dengan negara lain.
Jadi sinisme yang muncul ini menyesatkan banget ya, kalau dibilang ayo ramai-ramai merokok?
menurut saya karena ignorance saja, ketidakpahaman, ketidaktahuan. Ini kita baru mulai, nanti pelan-pelan kita terus edukasi dengan publik. Kalau saya ditanya, dalam konteks kesehatan, bukan hanya pajak rokok, seluruh cukai tembakau itu didedikasikan untuk kesehatan. Karena kita bicara jangka panjang.
Kebiasaan masyarakat kita kalau sudah menikmati layanan, terus abai dengan kewajiannya. Kalau BPJS sendiri punya catatan nggak? ini kan 200 juta yang sudah sekarang pesertanya, dari 200 juta itu berapa yang suka ngemplang? Katanya ada data per daerahnya, kenapa terjadi seperti itu?
Memang konsep dasar yang kita bangun, sebenarnya kalau kita bicara konsep pembiayaan dan pelayanan kesehatan itu spekturnya beragam. Ada yang sebelah kiri sebelah kanan, jangan sampai menyalahartikan ya. Ada satu sisi yang sangat liberal, itu sesungguhnya Amerika, sehingga saat Obama mau membuat sosialis itu diributkan. Artinya kalau kamu sakit ya kamu tanggung sendiri lah. Kalau nggak sanggup ya mati sendiri.
Satu sisi, ada kita kenal bangsa di Inggris, ini semua kesehatan ditanggung negara lewat pajak. Itu ada sharing tax, pajak tinggi memang 45%. Jadi masyarakat tidak perlu mengiur. Tapi ada syaratnya, syaratnya tax ratio mesti tinggi. Nah kita mengambil yang di tengah namanya Socsial Solidarity Konsep. Ini sesuai dengan falsafah negara kita gotong royong, tapi sebenarnya ada syarat.
Sosial Solidarity yang baik kalau pekerja formalnya itu 70%. Pekerja non formalnya 30%. Ini kita terbalik, pekerja formalnya 30%, non formalnya 70%. Nah konsep ini akan jalan kalau pekerja formalnya lebih banyak.
Pekerja formal itu kan payroll detaction, gajinya didedikasikan sekian persen untuk dirinya. Seperti kita kan pegawai kita ikut program ini kan bayar 5%. Kalau swasta 1% dari pekerja, 4% dari perusahaan. kalau PNS 3% dari negara, 2 % dari individu, Itu yang membentuk struktur kolektabilitas iurannya stabil.
Nah sektor non formal ini sektor yang model penagihannya tidak seperti itu, tidak otomatis. Orang bisa lalai, bisa malas, bisa tidak mampu juga. Nah kita hadapi situasi ini. Tapi apakah kita mundur dari ini, tidak, kita coba. Thailand gagal, akhirnya Thailand ambil keputusan semua non formal diambil pemerintah. Setelah dilihat tidak mungkin mengkolek iuran di sektor non formal.
Tapi angka kita sebetulnya angka collectability-nya bagus. Kita sekitar 98% dari total uang masuk. Karena kita tidak boleh konsep ini, karena ini konsep solidaritas sosial, ini harus masuk satu kantong, tidak bisa dipisah-pisah. Kalau kita bicara uang masuk dari total uang peserta kita 98%.
Tapi kalau kita slicing, hanya untuk diskusi, karena ini kalau kita bicarakan per segmen kita melanggar konsep dasar. Tapi kalau kita ambil memang, saaat ini kolektabilitas kerja mandiri yang kita sampaikan tadi kalau kita potong dari gaji itu sekitar 54%. Negara lain 30%an. Tapi kita tidak boleh ngomong juga, 'kita bangga nih'. Kemarin kita dengan Kementerian Keuangan kita coba kejar sampai 60%.
Jadi kalau dikatakan BPJS cuma 54%, nggak, itu kontrak kita. Sekarang kontrak kita dinaikkan jadi 60%. Upaya kita apa? jadi kita sudah lihat tiga masalah. Satu, memang yang nonable to pay, (itu) yang sudah ikut bayar, tapi karena dia sakit, dia bayar dulu, setelah itu mau dikejar, ya mohon maaf ya, dijual celana dalamnya juga nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Memang nonable to pay, ini buka kami yang riset, ini Ui yang riset. Itu 30% nonable to pay.
Apa yang kami lakukan terhadap nonable to pay, tidak mampu bayar, ini kemudian kami akan kumpulkan, kami geser jadi peserta APBI daerah. Jamkesda, begitu bergabung, butuh data kan kami sudah punya, mereka yang istilahnya sakit sedikit jadi miskin, tapi punya penghasilan cukup untuk makan sehari-hari, tapi kemudian untuk membayar lebih nggak sanggup.
Kedua ada yang able tapi not willing, ini kita selesaikan, kita tanya, umumnya mereka jawab, karena antre bayar iuran, jauh dari rumah. Kami terapkan upaya lain, sehingga bisa naik sampai 54% itu adalah dengan membuka channel pembayaran sebanyak mungkin. Bisa via ATM, minimarket, auto debet kita buka, yang tradisional juga kita buka, mobile, Gopay, itu sudah kita dorong. Memang kita menghadapi hal lain, dia able tapi tidak ingin bayar, itu selalu ada.
Itu kalau dari UI melihat angka 30%:30%:30%, makanya kami berani kontrak 60%. Kita bekerja keras membentuk kader JKN KIS namanya, nah ini diapresiasi oleh dunia internasional apa yang kita lakukan. saya kemarin presentasi di Genewa soal itu. Bagaimana kita mengembangkan, ini baru memang 6 bulan, tapi sudah kelihatan hasilnya.
Jadi kita mencari orang-rang fully dedicated, di tempat-tempat tertentu kita seleksi, kemudian dia mendatangi orang-orang . Satu mengingatkan bayar iuran, dua kalau dia datangi belum jadi peserta bisa daftar, tiga kalau ada masalah pelayanan dia menjadi orang BPJS yang ada di lapangan yang kemudian cepat melayani. Nah kader ini sudah cukup banyak angkanya udah 7.500
Ini semacam LSM?
Individu-individu, kita umumkan, jadi kita konsepnya Kader JKN itu, ini kan pekerjaan sukarela, tapi tetap ada voluntary job ini kalau kita bicara konsepnya kan mereka tidak boleh keluar uang sendiri, tapi tidak menjadi penghasilan hidup sehari-hari. Ada yang kita berikan transport, mengganti waktu yang hilang. Bukan gaji, bukan menjadi sumber. Sehingga konsep kita orang-orang yang punya hubungan baik dengan organisasi, atau kedua syarat kita jadi kader mereka punya dasar organisasi keagamaan tertentu, karena bidding-nya kan dengan yang maha kuasa.