Nggak boleh, apalagi kalau kasusnya kasus emergency. Ini yang saya ingin luruskan juga, kemarin kami menerbitkan aturan tentang pengaturan operasi katarak, pengaturan fisioterapi, pengaturan pelayanan bayi lahir normal pada persalinan. Nah ini kemarin sempat ada berita bahwa BPJS Kesehatan menghilangkan manfaat, tidak menanggung operasi katarak, tidak lagi menanggung fisioterapi, tidak lagi bayi lahir sehat.
Jadi tidak ada penghilangan, tidak ada pengurangan, yang ada itu pengaturan. Jadi disampaikan, kita melihat ini dalam rangka menjaga governance, kemudian kita, walaupun tidak apple to apple kita bandingkan, tapi apabila terpaksa ini kita bandingkan, ada pembiayaan cuci darah itu Rp 2,3 triliun tahun 2017, operasi katarak Rp 2,6 triliun. Lebih besar operasi katarak.
Padahal skala emergency-nya pasti, yang menyangkut nyawa langsung adalah cuci darah. Lalu kita coba telaah, ternyata masih bisa diatur, penjadwalan. Kemudian operasi mana yang emergency, mana yang kemudian masih bisa ada ruang kita untuk menjadwalkan dengan baik.
Tapi kalau dari kasus yang Anda ilustrasikan barusan, saya menangkap kemungkinan okelah audit BPJS oke, tapi kemungkinan dari pihak rumah sakit, dari dokter yang nakal, seperti kasus, kok katarak kan nggak hari ini diperiksa, terus harus dioperasi, kan bisa ditunda. Nah ini kan ada semacam masalah dari sana. BPJS mengendus ada yang terjadi? dan bagaimana menyikapi supaya tidak terulang?
Ini menarik ya, karena kemarin ketua umum pengurus besar IDI diterima presiden. Dan saya baca di media bahwa, beliau menyampaikan, apakah ada dokter yang nakal? Ada. Tapi kemudian tetap kita harus berpikir positif bahwa masih ada dokter yang baik.
Kalau pun ada (yang nakal) itu saya sampaikan oknum. Nah itu yang ingin kita terus perbaiki, kami bersama Menteri Kesehatan, bersama KPK, ada tahapan. Ada tahapan pertama, tahapan menyusun pedoman, mana yang boleh mana yang tidak, mana yang benar mana yang salah, mana yang sesuai etika mana yang tidak sesuai etika.
Tahun ini kita masuk uji coba. Tahun depan kita mulai penindakan, ini karena program baru tentu tidak semua aturan main itu dipahami. Jangan sampai ada yang melanggar, tapi kami tidak takut. Tapi bahwa ada oknum yang nakal itu, saya kira di profesi apapun pasti ada. Nah kita ingin menarik yang nakal, tanpa kemudian mengorbankan yang baik.
Karena begini, program ini 4,5 tahun ini dia akan berjalan, kalau penempatan kita tenaga kesehatan, dokter rumah sakit, tidak berdedikasi tinggi, pasti program ini tidak akan berjalan. Karena kita saling bersinergi untuk program ini.
Mungkin bisa dijelaskan juga, di tahun pertama kayanya sedikit sekali rumah sakit yang mau menerima BPJS. kalau pemintaannya di tahun kedua ketiga sampai sekarang?
Sebenarnya luar biasa ya kalau kita, beritanya menyatakan bahwa rumah sakit suffering kalau kerja sama dengan BPJS. Tapi tidak. Kami berterima kasih kepada rumah sakit terus terang, angkanya itu menyempit dari awal hanya 1.400an sekarang sudah 2.300an, dan sudah mendekati 50% serumah sakit se-Indonesia. dan dari angka itu 60%-nya rumah sakit swasta.
Jadi kalau menyampaikan rumah sakit swasta ini tidak atraktif, ya angka dan data, fakta ini saja yang kita sampaikan.
Nah memang 2-3 bulan ini ada keterlambatan pembayaran, tapi kan itu sebetulnya memberikan jalan keluar, bukan tidak. Ada cashflow misalnya di BPJS, karena kita juga sedang menghitung dengan pemerintah. Kemudian pemerintah memastikan betul, di-review BPKP, apakah betul ada masalah. Kemudian ada proses administrasi, pencairan uang negara, Rp 4,9 triliun itu kan pasti butuh good governence yang baik.
Minggu lalu ada keputusan akan mendapatkan dana talangan hampir 5 T, sementara di berita, koran-koran masih ada rumah sakit yang mengeluh karyawannya belum dibayar, belum dapat dari BPJS, dana itu sudah cair atau belum?
Sudah cair. Jadi begini, kami meluruskan pemberitaan, misalnya ada satu daerah menyatakan sejak Februari belum dibayar BPJS, pasang spanduk. Kami cek, 'oh kami terakhir bulan Agustus', jadi kami sudah memutuskan dan juga ini hasil keputusan rapat dengan Kepala Staf Presiden, buka saja (datanya). Mulai bulan depan kami akan buka juga, rumah sakit ini berapa sudah terima uang dari BPJS, berapa tagihannya, berapa belum jatuh tempo utangnya, berapa sudah jatuh tempo utangnya, berapa sudah dibayar tanggal berapa, itu dibuka saja.
Awalnya ini sempat ada penolakan rumah sakit dibuka, saya tidak tahu pertimbangannya apa, tapi kami sudah memutuskan, nanti masyarakat lah yang melihat. Tapi tadi, kalaupun ada utang, belum jatuh tempo, atau jatuh tempo, ini kita kasih opsi. Opsinya ini begini, BPJS ini dihukum loh, telat bayar itu dihukum 1% sebulan. Denda 1% sebulan.
Bayangkan bunga bank saja sekarang 0,8% paling tinggi sebulan, ini lebih tinggi denda. Artinya apa, artinya dengan program underlying ajak piutang, misalnya Kang Ajat punya rumah sakit, rumah sakit Ajat Medika, kemudian menagih Rp 10 miliar, kalau kita nggak bayar kita kena denda 1%. Nah kita ada namanya program under piutang, atau supply change financing, misalnya saya sebut bank x masuk menutup Rp 10 miliar itu, nanti bunga 0,8% itu ini BPJS yang akan, denda BPJS yang akan menutup itu.
Jadi sebetulnya yang kami harapkan dalam kesempatan ini rumah sakit juga dapat melihat situasi sulit ini untuk mencari jalan keluar, dan kemudian bicara dengan karyawannya, ini BPJS belum bayar, bukan begitu. Kita sudah menikmati plafon ini bersama-sama 2-3 bulan terakhir, ayolah kita cari jalan keluar.
Mengendus ada semacam motif politik nggak? mengingat ini tahun politik, jadi seolah-olah ada yang nggak beres. Padahal sebetulnya ada kasus yang bisa dibicarakan secara internal, tapi kok di blow up keluar?
Kalau saya profesional saja, saya kerja profesional. Kalau kemudian ada spanduk bahwa kami dokter sejak bulan Februari belum dibayar, kemudian muncul, kita cek ternyata terakhir kita bayar akhir Agustus atau awal September ya, kita sampaikan faktanya, bahwa berita ini hoax, tidak betul.
Nanti tinggal masyarakat melihat situasinya, ada motif politik atau tidak ada motif politik ya kita serahkan saja. yang penting kita persoalan kita selesaikan. Jangan persoalan itu kita bahas, kita goreng-goreng nggak karuan.