Anda bilang ada konspirasi yang bermula saat Anda menandatangani perjanjian kertas kosong dengan SCB, apa maksudnya?
Ya memang saya waktu itu tanda tangan di kertas putih tanggal 22 April 1999. Dan kalau dipikir-pikir sekarang, kok waktu saya teken kertas putih itu saya diam saja. Kalau otak saya jalan, waktu itu saya bisa saja ambil mic kan banyak wartawan saat itu. Ya tinggal saya bilang kami tanda tangan kertas kosong. Saya enggak tahu kenapa saya diam saja. Saya sadar itu kertas kosong.
Saya enggak pernah diajak negosiasi. Itu perjanjiannya ada versi A, B, C, D dan E. Ada 5 versi. Dan kelima versi itu semuanya sama adalah 3 bulan di Standard Chartered Bank untuk bisa due diligence terhadap Bank Bali. Yang gilanya lagi kan itu habisnya 22 Juli 1999. Saat itu kita kejar terus ke Standard Chartered Bank dan BPPN ini mau gimana sudah hampir 3 bulan. Akhirnya kita dibuai, oh Bos Standard Charterednya mau datang. Benar datang tanggal 22 Juli kita diundang makan ke ballroom Shangrila Hotel, ada ratusan orang diundang ke sana.
Saya nggak tahu kenapa, saya saat itu dapat undangan dari teman dekat saya yang diangkat sebagai KSAL di Surabaya. Jadi saya enggak penuhi undangan itu. Tapi ada direktur dan komisaris saya yang hadir. Eh malam itu dapat surat dari BI selamat ya bank anda di-BTO-kan, diserahkan ke BPPN. Jadi mereka sengaja melakukan pesta. Dan itu BTO berdasarkan rekomendasi Standard Chartered Bank. Intinya sudah lah Bank Balinya di-BTO-kan saja, supaya mereka hanya negosiasi sama PPPN saja. Enggak usah ada Keluarga Ramli lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu sesudah kejadian itu. Jadi 12 Januari 1999 saya tanda tangan dengan EGP. Tanggal 12 Maret 1999 saya tandatangan dengan GE Capital, dia mau rekap Bank Bali. Lalu tanggal 22 Maret 1999 saya kacau. Lalu 22 Juni 1999 pesta-pesta itu. Sejak saat itu saya enggak boleh masuk Bank Bali, saya dianggap kriminal.
Soal cessie, itu kan mulainya 12 Januari 1999, kemudian pada tanggal 12 April sudah habis kontrak. Si EGP ini hanya menunggang. Jadi dalam Bank Bali ada konspirasinya EGP, dia hanya menunggang. Dia melihat saya ada tagihan yang enggak keluar-keluar dia nunggang untuk dapat duit. Itu semua orang sudah tahu. Tapi yang orang enggak tahu di bawah konspirasi itu ada konspirasi lain lagi. Konspirasi Standard Chartered Bank. Ini yang orang enggak tahu, ini yang membuat saya kehilangan Bank Bali.
Jadi yang cessie konspirasi untuk dapat piutang saya, sementara konspirasi satu lagi untuk dapat Bank Balinya. Konspirasi yang itu yang orang banyak enggak tahu.
Saya mencari jalan keluar agar uang ini balik, karena kalau sudah dapat saya bisa buat menutupi kebutuhan dana. Jadi saat sudah expired itu belum cair. Itu baru berhasil di 1 Juni 1999. Waktu mereka kasih tau saya ini duitnya akan keluar, saya bilang ini sudah expired, saya enggak mau. Tapi ini konspirasi lain, saya enggak mau dicampuradukan.
Anda saat ini sedang dalam misi mencari keadilan terkait konspirasi Standard Chartered Bank saja?
Iya, karena yang satu lagi itu di mata saya sudah beres semuanya. Saya sudah bilang dengan Pak Djoko untuk apa si kejar uangnya Bank Bali, kan bapak orang kaya. Ya sudahlah lupain. Ya masyarakat juga sudah tahu masalah itu. Itu masalahnya kan campur baur dengan politik. Tapi ya sudah saya sudah tak mau pikirkan itu lagi.
Setelah Anda kehilangan Bank Bali bagaimana kelanjutannya?
Ya setelah BTO itu baru meledak kasus cessie itu. Jadi semua orang fokusnya ke kasus itu. Harusnya saya mengurusi urusan BTO untuk tuntut ke pengadilan dan lainnya, itu saya jadi enggak bisa karena saya mengurusi masalah yang itu. Setelah kasus cessie mereda, saya baru menuntut ke PTUN di 2000. Kemudian 30 Maret 2000 keluar keputusan PTUN-nya memutuskan untuk membatalkan keputusan Gubernur BI tentang BTO penyerahan Bank Bali ke BPPN. Dengan keputusan itu maka batal pula keputusan Bank Bali sebagai bank take over.
Setelah batal saya diminta ketemu dengan Kepala BPPN saat itu Pak Cacuk Sudaryanto. Dia bilang dia mengerti, akhirnya dia meminta damai. Tapi itu belum saya kasih tahu. Perjanjian damai itu akan menjadi bukti saya.