Bos BEI Buka-bukaan Putar Otak Pulihkan Pasar Modal Lawan Pandemi

Wawancara Khusus

Bos BEI Buka-bukaan Putar Otak Pulihkan Pasar Modal Lawan Pandemi

Danang Sugianto - detikFinance
Kamis, 24 Des 2020 12:59 WIB
Dirut BEI Inarno Djajadi (idxchanel)
Foto: Dirut BEI Inarno Djajadi (idxchanel)
Jakarta -

Pandemi COVID-19 telah menghantam hampir seluruh sektor ekonomi, termasuk pasar modal. Bahkan pada awal pandemi, pasar modal mengalami penurunan yang begitu tajam.

Pasar modal sering dijadikan patokan untuk melihat kondisi ekonomi. Namun sering kali juga pasar modal menjadi tolak ukur untuk meramal kondisi ekonomi ke depan. Pasar akan bereaksi lebih cepat jika ada sinyal kondisi ekonomi di masa mendatang.

Saat pandemi masuk ke Indonesia, pelaku pasar bereaksi dengan cepat. Mereka panik tentang kondisi ekonomi di masa pandemi. Mayoritas investor melakukan aksi jual bersamaan demi mengamankan portofolionya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akhirnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh hingga 37% dari posisi awal tahun 6.283 ke posisi 3.973 di 24 Maret 2020. Bayangkan penurunan begitu besar itu terjadi hanya dalam waktu kurang dari 1 bulan. Sebab pada Januari 2020 IHSG masih bergerak normal.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi pun berbagi pengalamannya untuk menggambarkan bertapa gentingnya kondisi pasar modal Indonesia saat itu. Bahkan menurutnya kondisi pasar modal saat itu lebih berbahaya dari saat krisis pasar keuangan 2008.

ADVERTISEMENT

BEI selaku penjaga pasar modal sampai mengeluarkan sederet kebijakan darurat untuk menjaga IHSG dari kejatuhan yang lebih dalam.

Kini pasar modal sudah mulai pulih. IHSG sudah kembali ke level 6.000. Di samping itu ada juga peran dari investor ritel khususnya milenial dari pemulihan ekonomi tersebut

Berikut wawancara lengkapnya dengan detikcom.

Pada saat awal Pandemi COVID-19 pasar modal begitu bergejolak, IHSG merosot begitu dalam. Bisa digambarkan seberapa gentingnya kondisi pasar modal saat itu?

Seingat saya bulan-bulan Februari dinyatakan pandemi oleh WHO. Lalu pada 2 Maret Pak Jokowi menyatakan bahwa ada yang kena COVID-19 di Indonesia. Dari sejak itu memang pasar meresponnya sangat negatif dan mencapai titik yang terendahnya di 24 Maret indeks sudah di bawah 4.000. Jadi luar biasa turunnya itu sekitar 37% dari awal tahun 2020.

Pada saat itu memang kita melakukan berbagai kebijakan yang kita keluarkan. Kenapa kok kita lakukan hal itu, tentunya kita ini kan sebagai regulator, penyedia pasar, berupaya agar supaya pasar itu wajar, transparan dan efisien. Nah kami melihat bahwasanya pada saat awal-awal pasti itu memang one side it, semuanya menjual dan kelihatan ada kepanikan. Sehingga memang dibutuhkan pada saat itu beberapa inisiatif, salah satunya adalah trading halt, auto rejection untuk asimetris, itu hal-hal yang kita lakukan. Trading halt yang tadinya 10% jadi 5%. Dan auto rejection bagian bawah pun juga kita pack jadi di 7%. Tadinya sempat 10%, tapi kita lihat bahwasanya 10% ini masih kurang ini akhirnya kita kecilin lagi menjadi 7%.

Alhamdulillah pada saat itu pasar cukup terkendali dan tentunya ini sebetulnya semua untuk melindungi investor, di mana investor kita harapkan mempunyai waktu untuk menelaah, jangan one side it, jangan ada kepanikan jual semuanya. Kita berikan ke waktu agar supaya mereka itu bisa berpikir secara jernih. Apakah dia itu jual ataukah mendingan hold. Nah itu kita harapkan di situ dan akhirnya cukup terkendali indeksnya.

Di luar itu waktu perdagangan juga kita persempit ya. Kami berpikiran secara manusiawi saja, bahwasanya trading di perlu kita persempit, sehingga apabila karyawan itu mau pulang tidak berbarengan dengan kantor-kantor yang lain. Terus yang lainnya juga terhadap emiten juga kita memberikan kebijakan buyback tanpa RUPS, itu diperbolehkan. Alhamdulillah ada sekitar 80-88 emiten yang sudah melakukan itu. Ini semuanya sebetulnya ini supaya agar market kita cepat pulih dan juga investor itu tidak panik. Dan Alhamdulillah ini berjalan dengan cukup baik.

Memang seberapa gentingnya pasar modal hingga BEI mengeluarkan kebijakan sebanyak itu selama pandemi COVID?

Buka halaman selanjutnya untuk baca lebih lengkap.

Memang kalau kita ingat bedanya yang kita alami sekarang dengan yang di 2008, kalau di 2008 memang agak lebih parah. Kalau sekarang saat pandemi muncul di Indonesia IHSG turun sampai 37%, waktu di 2008 koreksinya bahkan lebih dari 50%. Namun bedanya satu, kalau di 2008 lebih lama proses penurunan IHSG, kalau pandemi ini itu cepat sekali, dalam waktu 1 bulan cepat sekali dropnya dan pada waktu yang sama semua menjual. Jadi kalau kita nggak cepat mengeluarkan kebijakan tersebut ya seperti nggak ada remnya, blong aja gitu.

Saya nggak tau berapa bottomnya, namun kalau misalnya kita lihat grafiknya pada saat 24 Maret itu sempat menyentuh 37%, namun setelah itu berangsur-angsur pulih, tidak lebih jauh lagi seperti di 2008 sampai turun lebih dari 50%. Alhamdulillah sampai sekarang itu kalau misalnya koreksi year-to-date mungkin 4 atau 5%.

Dari sederet kebijakan itu bisa digambarkan seberapa efektif kebijakan itu?

Investor juga bisa lihat bahwasanya sejak 4 Maret tersebut ya berangsur-angsur pulih cukup cepat juga. Rasanya mungkin kita salah satu sektor di mana yang pemulihannya itu paling cepat di tempat yang lain ya. Boleh dibilang kalau misalnya kita boleh jujur ya year-to-date itu sekarang koreksinya hanya 4 atau 5% dari pada sebelumnya. Indeks kita sudah 6.000. Jadi alhamdulillah untuk pasar modal itu kita pemulihannya cukup cepat. Ini juga dapat dirasakan oleh investor. Ya sebagai sebagai penyedia pasar kita berupaya agar pasar itu wajar, transparan dan efisien.

Penyebab utama kejatuhan pasar sebenarnya adalah pandemi COVID-19, di Indonesia kasus terus naik tapi pasar sudah pulih. Apa sebenarnya penyebab pemulihan pasar ini?

Kembali lagi kita juga mesti lihat ya ada beberapa faktor yang pasar kenapa bisa positif. Nah salah satunya tentunya ditemukannya vaksin, orang berharap banyak terhadap vaksin tersebut. Dengan adanya vaksin dan mudah-mudahan pandemi ini selesai tentunya perekonomian kita akan cepat berbalik. Dan sifat-sifat dari pada pasar modal biasanya begitu ditemukannya vaksin walaupun vaksinnya belum ada itu pasar sudah bereaksi positif.

Kedua berita dari BPS yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Kuartal 3 2020 itu sudah mulai naik 5,05% dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal 2 yang mencatatkan pertumbuhan negatif 4,19% yang ini juga merupakan momentum ekspektasi pemulihan ekonomi kedepannya. Jadi ada berbagai butir-butir yang memang market itu melihatnya ke depan akan positif.

Terkait investor sudah lebih 3,6 juta secara total, itu terjadi di masa pandemi ini. Apa faktor yang menentukannya?

Sebetulnya dengan adanya pandemi ini memang banyak sekali hal-hal positif yang bisa kita temukan. Seperti wawancara ini kan biasanya ketemuan secara fisik, tapi bisa juga kok secara virtual. Dengan virtual tuh banyak juga investor-investor yang mempunyai waktu untuk memperhatikan saham.

Terus belum lagi bunga di bank itu cenderung turun, suku bunga acuan BI reverse repo rate itu sekarang sudah 3,75% dan kecenderungannya turun. Itu pun berdampak juga terhadap bunga di perbankan. Sehingga itu membuat investor itu mulai melirik juga investasi di saham. Saya pikir ini merupakan tahun kebangkitan investor ritel. Sampai dengan Desember jumlah SID sudah mencapai 3,6-3,7 juta. Bayangkan pada saat 2016 itu tuh masih di bawah 1 juta loh, sekitar 800 ribu. Ini kenaikannya luar biasa, dari di bawah 1 juta menjadi 3,6 juga, hampir 4 kali lipat.

Kalau kita lihat dari tahun ini sendiri, sejak adanya pandemi kenaikan dari investor ritel semakin banyak. Tentunya ini tidak serta merta karena pandemi saja, tapi juga kita semua sekarang sudah melek teknologi. Jadi banyak inisiatif yang kita lakukan secara virtual gitu ya sampai saat ini saja kita sudah melakukan sosialisasi, literasi ke berbagai daerah. Itu sudah hampir 8.000 kegiatan edukasi dan sosialisasi, ya melalui virtual. Jadi kalau kita lihat sampai sekarang itu hampir 8.000 kegiatan kita lakukan dan pesertanya itu mencapai 1,23 juta peserta.

Kalau kita pecah-pecah lagi, dari 8.000 kegiatan tersebut sekitar 6.000-nya kita lakukan secara online dan pesertanya itu sebesar 1,17 juta peserta. Kita juga dengan aktivitas tersebut itu membuka SID baru itu sekitar 60 ribu SID baru. Dan investor ritel ini menyambut baik inisiatif-inisiatif kita. Di samping itu juga kita mempunyai 30 kantor perwakilannya dan juga 502 galeri investasi. Ini kita kerjasama dengan universitas, kaum milenial dan disitu juga kita lakukan sosialisasi.

Oleh karena itu perkembangan daripada kaum milenial ini itu luar biasa besarnya. Sampai saat ini itu kaum milenial dengan usia sampai 40 tahun SID-nya sudah sampai 70%. Jadi sekarang ini kebangkitan investor ritel dan investor milenial.

Apa yang membuat generasi milenial saat ini begitu besar minatnya investasi di pasar modal?

Karena mungkin teknologi. Kita bisa lihat ya bahwasanya sekarang kaum milenial itu segala macam bisa lewat handphone. Kita pun begitu. Jadi dalam hal sosialisasi, edukasi dan pembukaan rekening kita juga sudah melakukan secara online. Pembukaan rekening yang biasanya dilakukan mungkin butuh waktu 2 minggu paling cepat, sekarang dalam waktu berapa jam saja sudah bisa dilakukan. Dan kaum milenial dari satu HP saja bisa sekarang bisa beli dan mungkin pagi beli, sorenya atau siangnya bisa jual. Semuanya dari HP. Jadi kemudahan-kemudahan tersebut disukai oleh kaum milenial sehingga meningkatkan minat milenial untuk untuk terjun di pasar modal.

Sebagai Dirut BEI apa pesan Anda untuk investor milenial agar tetap menjadi investor yang berada di jalan yang lurus?

Tentunya ini semua tergantung dari masing-masing individu, ini nggak bisa dipungkiri. Jadi ada individu yang memang dia risk taker itu dia mau direct investment, atau ada yang mempertimbangkan risiko itu dia nggak akan ke saham, tapi ke obligasi, ORI dan segala macam. Itu memang masing-masing daripada milenial atau individu itu berbeda-beda. Namun tentunya pendidikan pasar modal perlu, oleh karena itu kita terus melakukan sosialisasi, edukasi terus melalui sekolah pasar modal. Agar supaya temen-temen milenial bisa mempunyai analisis mengenai pasar modal mana yang kira-kira yang apa cocok bagi mereka.

Di negara-negara besar pasar modalnya kebanyakan berisi perusahaan teknologi, tapi tidak di Indonesia, apa sebenarnya yang menjadi penghalang perusahaan teknologi melantai di bursa efek Indonesia?

Kembali lagi, di pasar modal kita ada beberapa syarat emiten seperti harus untung berturut-turut selama 3 tahun, dan kalau rugi nggak bisa. Salah satu yang berat untuk perusahaan teknologi ya itu, karena awal-awal mereka masih merugi. Jadi untuk masuk ke dalam pasar modal juga nggak mudah kalau parameternya masih seperti itu.

Oleh karena itu kita juga sudah berkoordinasi dengan OJK untuk bagaimana mensiasati agar supaya perusahaan teknologi ini bisa go public di pasar modal kita.

Kemudian kedua ada persyaratan untuk go public harus badan hukum PT. Sementara ada beberapa perusahaan teknologi badan hukumnya bukan PT. Belum lagi misalnya founder itu tetap ingin memiliki peran yang signifikan kepada perusahaannya. Padahal dia tuh karena banyak angel investor kepemilikannya dia sudah minimum. Makanya dia mengharapkan adanya multiple vote, jadi one share one vote nggak berlaku buat mereka.

Nah ini semuanya sedang kita diskusikan dan tentunya kita lihat pelaksanaan dari negara-negara yang lain dan tentunya juga kita mempertimbangkan perlindungan dari investor. Karena bagaimanapun juga ini ada risiko, karena dari sekian banyak perusahan startup juga tidak semuanya untung. Ada kalanya startup ini mempunyai harapan yang bagus tapi setelah dijalankan ternyata enggak, itu juga banyak. Itu hal yang juga masuk dalam pertimbangan kita diskusi kita dengan OJK.

Dalam waktu dekat apakah ada perusahaan teknologi yang akan melantai di bursa?

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Kita sih berusaha sebisa mungkin, kita kan punya juga unicorn-unicorn yang bagus-bagus. Kita berusaha agar supaya perusahaan-perusahaan tersebut bisa melantai di Bursa. Mudah-mudahan nggak dalam waktu yang lama bisa melantai di Bursa, tunggu aja.

Seperti diketahui pemerintah akan melakukan vaksinasi di tahun depan. Menurut Anda bagaimana kondisi pasar modal di tahun depan?

Ini memang sebetulnya luar biasa ya. Kita punya harapan besar terhadap adanya vaksin dan tahun depan bisa disuntikkan. Dan saya percaya dengan adanya vaksin tersebut akan berdampak positif terhadap pergerakan ekonomi setelahnya. Kalau ini bisa berjalan sesuai dengan rencana dan tentunya kasus-kasus itu bisa dikendalikan, saya yakin perekonomian kita akan cepat pulih kembali. Titik balik dari pemulihan aktivitas ekonomi itu sangat berpengaruh dari pengendalian COVID-19 itu.

Terkait pasar modal saya cukup optimis, karena perkembangan dari BPS juga bagus sekali. Dari apa kuartal 3 ini kan kita harapkan growth-nya itu 5% and dari pada sebelumnya. Itu saja merupakan titik balik dari pada growth kita. Jadi saya pikir pasar modal tentunya akan akan positif sekali di 2021. Kita lihat juga dari perkembangan investor, kita lihat dari transaksi RNTH juga. Siapa yang mengira, bahwasanya bulan januari-februari masih Rp 6,4-6,7 triliun. Sekarang itu boleh dibilang setiap harinya di atas Rp 10 triliun, bahkan yang tertingginya adalah sekitar Rp 21 triliun. Jadi itu luar biasa sekali. Kalau kita bandingkan dengan tahun lalu itu RNTH kan masih Rp 9,2 triliun. Jadi saya sih cukup optimis di 2021, bahwasanya RNTH kita itu bisa lebih dari 2019.

Anda sudah puluhan tahun berada di pasar modal, sederet kursi direksi perusahaan sekuritas sudah pernah Anda duduki. Sebagai Dirut BEI apa impian Anda terhadap pasar modal Indonesia?

Jadi gini kalau kita lihat dari pasar modal kita, bahwasanya perkembangan kita sudah jauh sekali dari pada pertama kali saya berkiprah di pasar modal tahun 1988-1989. Itu udah sangat-sangat berbeda sekali. Kemudian setelah itu privatisasi 1992.

Awal saya masuk di pasar modal itu semuanya masih manual, kita pakai telepon yang sebesar bagong, besar sekali. Tapi kita bandingkan saja dengan pada saat privatisasi Bursa Efek Jakarta waktu. Pada saat 1992 indeks kita per Desember 274. Bayangkan loh sekarang 21 Desember 2020 itu indeks sudah 6.165. Marketcap kita dulu itu Rp 24,8 miliar, sekarang itu Rp 7 triliun. Jumlah perusahaan tercatat saat itu baru 153 emiten. sekarang itu sudah 712, jadi luar biasa banyaknya.

Namun apakah ini sudah cukup? Ya belum. Apa yang menjadi basisnya, kita lihat bahwasanya perkembangan investor saja, itu luar biasa sekarang itu sudah 3,6-3,7 juta. Tetapi dibandingkan dengan populasi itu baru setengah persen. Bandingkan dengan Filipina itu sudah 1% lebih dari populasi. Jangan kita bandingkan sama Singapura dan lain-lainnya. Singapura sudah 16 kali.

Kapitalisasi memang kita sudah besar ya, tapi kalau kita bandingkan dengan dengan PDB kita itu juga hanya 47%. Bandingkan dengan Singapura yang lebih dari 150%. Jadi jadi saya pikir sekarang memang perkembangannya luar biasa. Namun ini baru tahap pertama, roomnya itu masih sangat luas untuk kita berkembang.

(das/dna)

Hide Ads