Nama Dato Sri Tahir masuk dalam jajaran 10 orang terkaya Indonesia tahun 2018 versi majalah Forbes. Kekayaannya yang mencapai US$ 3,5 miliar menjadikan dirinya sebagai orang terkaya nomor empat di Indonesia.
Lahir di Surabaya, Tahir adalah seorang pengusaha, investor, sekaligus pendiri Mayapada Group yang sukses berkiprah selama puluhan tahun. Mayapada Group adalah sebuah holding company yang punya beberapa unit bidang usaha mulai dari perbankan, TV berbayar dan media cetak, properti, hingga rumah sakit.
Selain sebagai konglomerat ternama Indonesia, Tahir dikenal sebagai dermawan yang tak segan menyumbangkan sebagian harta miliknya atas nama kemanusiaan. Sudah tak terhitung berapa jumlah sumbangan yang ia berikan ke orang-orang tidak mampu.
Aksi memberikan sumbangan atau bisa dibilang bagi-bagi duit ini tidak hanya dilakukan Tahir di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Tahir beberapa kali berkeliling dunia untuk memberikan bantuan demi kemanusiaan.
Kegiatan yang dilakukan oleh sang konglomerat ini membuat banyak orang penasaran terhadap alasan, serta tujuan yang dilakukannya. Sebab, tak banyak konglomerat atau pengusaha lain yang melakukan pemberian sumbangan atau bagi-bagi duit, sesering yang dilakukan Tahir.
Tahir, Sang Pemilik Mayapada Group ini mengaku kerap memberikan sumbangan dalam bentuk uang sebagai bentuk kemanusiaan tanpa mengenal situasi.
"Misalnya, saya lewat Singamaraja, lihat ada anak jualan, namanya Ayu jualan bunga ujan-ujannan. Saya bilang sama dia, besok karyawan saya datang ke sini mengurus kamu, lalu kita lihat oh rumahnya di sini, kita bayarin rumahnya," kata Tahir saat berbincang dengan detikFinance di kantornya, Kamis (15/3/2018) lalu.
Tahir mengatakan bahwa dirinya kerap memberikan bantuan sumbangan kepada orang-orang yang membutuhkan, bahkan pada saat terjadi bencana, dirinya juga langsung datang ke lokasi. Dia ingin melihat langsung kondisi dan bersentuhan langsung dengan masyarakat yang sedang mengalami musibah.
"Sinabung saya di lokasi, gempa di Yogyakarta saya di lokasi, gempa Padang saya di lokasi, banjir di Jawa Tengah saya di lokasi, banjir di Manado saya di lokasi, saya datang sendiri. Bukan hanya bantu uang, tapi saya pribadi juga ikut datang," kata Tahir.
Tak hanya itu, beberapa kali dirinya menyambangi negara-negara yang sedang berkonflik, contohnya konflik Rohingya di Myanmar. Selain itu, Tahir juga mengaku kerap memberikan sumbangan ke negara-negara Timur Tengah, bahkan dalam kunjungannnya ke Suriah beberapa waktu lalu, Tahir mengangkat salah satu pengungsi Suriah sebagai cucunya.
"Saya nggak tahu (sudah kemana saja), Middle East, Timur Tengah, Nanti saya juga ke Beirut mengurus Palestina. Beberapa negara saja. Saya bantu anak Unicef, di Sudan saya bantu. United Nation itu, saya punya cucu angkat orang Suriah. Rohingya kita juga bantu, siapa saja. Sampai saya datang ke perbatasan Irak, itu saya datang juga," katanya.
Dalam waktu dekat dirinya juga mengaku akan kembali berkunjung ke beberapa negara Timur Tengah lainnya untuk memberikan bantuan sumbangan, yakni Yordania, Libanon, hingga Palestina. Tahir mengaku memberikan sumbangan ke berbagai tempat hanya karena rasa kemanusiaan.
"Mau berangkat lagi mungkin sekitar April kalau tidak salah, Yordania, ke Beirut, terus mengurus Suriah sama Palestina. Nggak tahu, saya ingin saja karena saya lihat orang di sana, hati nurani saya ingin ke sana. Nggak tahu kenapa," tuturnya.
Salah satu sumbangan yang sangat dikenal darinya adalah US$ 75 juta atau sekitar Rp 997,5 miliar (kurs Rp 13.300/US$) untuk The Global Fund dalam melawan TBC, HIV, dan Malaria di Indonesia. Ia bermitra dengan Bill & Melinda Gates Foundation, yayasan sosial milik miliarder terkaya di dunia Bill Gates.
"Saya orang Indonesia yang menandatangani satu-satunya Giving Pledge. Saya commited 50% harta saya sumbangkan untuk masyarakat. Giving Pledge itu Bill Gates yang motori," kata Tahir dalam acara d'Preneur di Ice Palace, Lotte Shopping Avenue, Jakarta, Senin (22/5/2017) lalu.
Saat kedatangan Bill Gates ke Indonesia dalam rangka kerja sama untuk memberikan sumbangan pada 2014 lalu, media massa gempar. Tahir mengatakan kerja samanya dengan Bill Gates praktis membuat kehebohan di media massa.
Ulasan media yang muncul saat itu tidak terlalu banyak menyoroti hendak ke arah mana uang itu disumbangkan. Namun saat itu media lebih banyak mengobarkan satu isu yang kemudian marak menjadi headline.
"Berapa kekayaan Tahir sampai bersedia membagikan uang triliunan? Lalu, isu itu juga diramaikan lagi dengan komentar seperti ini, Tahir sudah kaya raya dan sekarang asyik mempertontonkan sumbangan," kata Tahir dalam biografinya yang berjudul Living Sacrifice, seperti dikutip detikFinance.
"Apapun pemberitaan yang muncul, saya menghargai media. Saya sadar, hal yang saya lakukan memang masih terasa aneh di negeri ini. Barangkali kecurigaan juga terselip di balik hangatnya media merespon peristiwa ini. Tidak masalah. Sebuah niat baik tak membuat saya gentar," sambungnya.
Tahir menjelaskan, dirinya melakukan hal itu bukan untuk mencari panggung untuk pamer. Menurutnya, berbagi kepada sesama merupakan kebutuhan dasar yang diajari oleh orang tuanya. Dengan memberikan sumbangan miliknya, dia akan terus mengingat masa lalunya yang juga pernah mengalami kesusahan.
"Memberi merupakan cara kami memperkuat diri ketika masih hidup dalam belitan kesusahan. Memberi adalah sumber semangat kami. Dan ketika saya telah berkembang menjadi seorang bankir yang relatif berhasil, tentu saja apa yang beri sepadan dengan apa yang saya miliki," katanya.
Pria yang dinobatkan sebagai orang terkaya Indonesia nomor empat fersi Forbes ini mengaku membagi-bagikan hartanya hanya karena hati nurani. Dia mengaku ada tiga hal yang mendasarinya untuk memberikan banyak bantuan kepada orang-orang membutuhkan hingga keliling dunia.
Yang pertama, kata Tahir, ialah tanggung jawabnya kepada Sang Pencipta. Sebagai seorang manusia, Tahir mengaku memiliki kewajiban kepada sesama sesuai dengan nilai-nilai religi yang dianutnya. Karena, kata Tahir, hidup di dunia hanya sekali, oleh sebab itu ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Saya mau ibadah saya baik di depan Tuhan, berkenan lah. Nanti suatu hari saya menghadap Gusti Allah Sang Pencipta, saya, rapor saya lulus, itu penting. Hidup ini kan bukan cuma sekarang, ada yang akan datang. Saya harus berbuat yang baik sehingga ibadah saya diterima dengan baik," kata Tahir.
Selain itu, kata Tahir, kegiatannya dalam memberikan banyak sumbangan ini karena ini merubah hidup orang, walaupun sedikit. Tahir ingin, agar kehidupan dirinya bisa memberikan manfaat bagi orang lain.
"Karena saya lahir di Indonesia, saya hidup di Indonesia, saya mau lihat masyarakat Indonesia, mungkin cuma sebagian kecil, tapi karena kehadiran saya, saya bisa rubah nasibnya sedikit. Saya puas, senang saya," kata dia.
Terakhir, Tahir mengatakan, dengan berbuat dia ingin anak-anaknya juga bisa tumbuh menjadi orang yang baik. Dia ingin agar anak-anaknya bisa memiliki rasa rendah hati dan memberikan banyak manfaat bagi sekitar.
"Ketiga saya juga mau lihat keturunan saya bener, anak-anak saya jadi orang baik. Tiga hal ini harapan saya di dalam hidup itu," jelasnya.
Bos Mayapada Group Dato Sri Tahir kerap membagikan sumbangan ke banyak orang yang membutuhkan. Tak hanya di Indonesia, salah satu orang terkaya di Indonesia itu juga membagikan hartanya di negara-negara lain.
Sumbangan yang sangat dikenal darinya adalah US$ 75 juta untuk The Global Fund dalam melawan TBC, HIV, dan Malaria di Indonesia, bermitra dengan Bill & Melinda Gates Foundation, yayasan sosial milik miliarder terkaya di dunia Bill Gates.
Namun, Tahir mengaku tak pernah menghitung berapa jumlah harta yang telah dibagikannya selama ini.
"Nggak pernah hitung saya berapa jumlahnya. Ngapain saya hitung. Orang niat saya hanya untuk membantu, jadi nggak pernah memikirkan untuk hitung-hitung berapa jumlahnya itu," kata Tahir.
Tahir mengatakan niatnya membagikan uang tersebut murni untuk kemanusiaan. Oleh sebab itu dirinya tak mau menghitung sudah berapa banyak uang yang dibagikannya selama ini hingga ke negara-negara lain.
Selain itu, Tahir pun tak mengetahui sudah berapa banyak orang pernah diberikan sumbangan darinya. Dia mengaku tak mau ambil pusing dengan hal-hal tersebut.
"Nggak mau saya hitung itu, saya nggak mau tau, saya nggak mau pusingin. Saya nggak mau bicara mengenai cost and benefit. Saya bicara mengenai saya lihat orang menjadi baik, bantuan saya mungki uang U$ 1 bisa merubah nasib dia. Thats enough," katanya.
"Coba dipikirkan uang satu juta makan di restoran belum tentu cukup. Tapi uang satu juta itu bisa merubah nasib satu keluarga. Kalau kita pikir rasional, yang tenang, kerakusan kita, keserakahan kita, kita buang itu semua untuk bisa membantu yang lain," sambungnya.
Lebih lanjut Tahir mengaku tak masalah bila orang yang dibantunya juga tak mengenal siapa dirinya. Sebab, memang Tahir mengatakan niatnya dari awal hanya sekadar membantu sesama. Konglomerat ini hanya menginginkan agar bantuan yang diberikannya selama ini dapat bermanfaat bagi orang-orang.
Sudah tak terhitung berapa banyak jumlah harta yang dibagikan oleh Pengusaha Nasional Dato Sri Tahir kepada orang-orang yang membutuhkan. Tak banyak konglomerat atau pengusaha lain yang melakukan pemberian sumbangan atau bagi-bagi duit, sesering yang dilakukan Tahir.
Dalam menjalankan kegiatannya dalam membagikan sumbangan, Bos Mayapada Group ini mengaku tak mempermasalahkan materil yang dimilikinya. Dia mengaku tak takut rugi bila terus membagikan hartanya.
"Rugi apanya? Ya nggak apa-apa dong. Belum pernah dalam hidup ini, saya lihat orang kerja baik dan bangkrut, itu belum pernah," kata Tahir.
Dalam hidupnya, Tahir percaya bahwa berbuat baik kepada sesama tak akan membuat dirinya sengsara. Dirinya meyakini, berbuat baik juga pasti akan memberikan hasil yang baik pula kepada setiap orang.
"Saya belum pernah lihat ada orang sumbang orang miskin, dia jadi bangkrut. Jadi miskin. Tapi saya sudah sering lihat konglomerat jadi bangkrut," katanya.
"Tahun 1997, Indonesia, kita nggak usah sebut nama lah, itu top 10 konglomerat semua bangkrut. Tapi dalam hidup saya, saya punya keyakinan, dan tidak pernah melihat, orang berbuat kebaikan dan bangkrut, belum pernah," sambungnya.
Namun siapa yang menyangka orang terkaya ke-4 Indonesia itu dulunya merupakan seorang anak penyewa becak yang miskin. Pria kelahiran 26 Maret 1952 ini mengaku hidup dari keluarga yang tak mampu di rumah kontrakan yang berada di Surabaya.
"Saya itu dari Surabaya, dulu rumah saja kontrak. Saya lahir rumahnya kontrak, sampai umur 20 tahun rumahnya masih kontrak di Surabaya. Lebar rumah saya berapa kira-kira 3,5 meter atau 4 meter sama panjang. Orang tua saya kerjaannya sebagai penyewa becak," kata Tahir.
Hingga mencapai kesuksesannya sekarang ini, Tahir mengaku tak pernah melupakan asal-usulnya sebagai seorang anak penyewa becak. Bahkan, dirinya juga masih menyimpan foto-foto masa lalunya saat duduk di becak milik orang tuanya.
"Bu Risma (Walikota Surabaya) saja bilang sama saya, 'Pak Tahir itu saya taruh becak di museum Surabaya supaya ingat asal-usulnya', begitu kata beliau. Becak saya dulu becak Solo, karena ibu saya orang Solo kan. Bikin becak Solo lalu disewakan ke orang," jelas Tahir.
Tak hanya itu, Tahir pun mengaku terus menyimpan rasa minder karena hidupnya yang dinilai miskin. Bahkan rasa minder itu terus ia simpan ketika menjadi seorang menantu orang kaya, Mochtar Riady, dan hingga berumur 40 tahunan.
"Saya minder itu ya, sangat minder kira-kira sampai umur 40-an. Masih minder. Karena begini, Anda mungkin bisa bayangin ya, saya nikah jadi keluarganya orang kaya, saya di keluarga orang kaya nggak dihormati loh. Karena mereka itu menempatkan diri sebagai anaknya orang kaya. Mereka pikir Tahir ini apa?" katanya.
Walau memiliki rasa minder yang terus ada di dalam hati, namun Tahir mengaku tidak pernah menyerah untuk berusaha. Di dalam hatinya, Tahir terus percaya agar bisa merubah nasibnya menjadi orang yang sukses.
Selama bertahun-tahun,Tahir mengaku banyak mengalami jatuh bangun dalam setiap usaha yang dijalaninya. Berkat kerja keras dan keteguhan hatinya, akhirnya Tahir bisa membuktikan bahwa dia mampu untuk merubah nasibnya dari seorang anak penyewa becak yang miskin hingga menjadi konglomerat ternama Indonesia.
"Jadi saya berjuang, saya tidak ada dendam, tapi saya tidak mau diremehkan. Itu berat sekali. Maka itu, saya tidak senang dengan orang kaya, saya benci sama orang kaya. Orang kaya saya anggap itu imperialisme. Orang kaya itu kerjanya menindas, orang kaya itu kerjanya membully orang. Sampai sekarang. Habitat saya itu ada di orang miskin. Itu habitat saya," tuturnya.