Simpang-siur Data Pangan, Pemerintah Bisa Kehilangan Kepercayaan

Simpang-siur Data Pangan, Pemerintah Bisa Kehilangan Kepercayaan

Puti Aini Yasmin - detikFinance
Senin, 04 Jun 2018 07:58 WIB
Simpang-siur Data Pangan, Pemerintah Bisa Kehilangan Kepercayaan
Foto: Selfie Miftahul Jannah/detikcom
Banyak yang bilang harga beras kita ini lebih tinggi dari negara lain. Pendapat ini bisa benar bisa salah. Kalau dibanding harga impor, memang harga impor baik dari Vietnam dan Thailand itu masih murah. Sehingga harga di dalam negeri dianggap mahal. Tetapi kalau harga eceran ditingkat konsumen, di Indonesia masih tergolong murah. Harga beras eceran di Malaysia, Singapor atau Thailand masih lebih mahal dibanding harga kita. Kita selalu takut dengan harga yang naik setiap tahun. Harga ekspor di negara-negara seperti Thailand, Vietnam dan India selalu naik setiap taun. Di Thailand untuk Januari-April tahun 2017 ke Januari-April 2018 indexnya naik 19,3%, Vietnam 22,5%, US long grain 34,4%. Jadi kalau harga beras tiap tahun naik ya wajar saja. Kita selalu berdebat soal HPP (Harga Pokok Pembelian di tingkat petani) dan HET (Harga Eceran Tertinggi di tingkat konsumen).

Faktanya HPP yang ditetapkan Rp. 3.700,-/kg padi kering panen selalu diributkan karena Bulog tidak bisa beli dengan harga itu, sebab di pasaran sudah jauh lebih tinggi bisa diatas Rp 5.500/kg gabah kering panen. Demikian juga soal HET dipasar lebih tinggi dari HET Rp 9.450/kg beras yang ditetapkan pemerintah. Harga pasar di tingkat petani yang sudah diatas HPP menurut saya itu karena hukum pasar supply and demand, demikian juga harga eceran diatas HET. Hal ini menandakan memang kita masih ada masalah dalam produksi dalam negeri. Kalau produksi sudah mencukupi dan surplus sudah pasti harga akan turun, mau direkayasa kayak apapun harga pasti turun karena tunduk pada hukum pasar. Artinya kalau harga masih tinggi itu karena produksi belum mencukupi sebagaimana diinginkan.
Hide Ads