Strategi Pemerintah Tahan Impor Diragukan

Strategi Pemerintah Tahan Impor Diragukan

Hendra Kusuma - detikFinance
Kamis, 30 Agu 2018 08:41 WIB
1.

Strategi Pemerintah Tahan Impor Diragukan

Strategi Pemerintah Tahan Impor Diragukan
Foto: agung pambudhy
Jakarta - Pemerintah tengah meninjau kembali 900 komoditas impor yang selama ini dianggap memberatkan neraca perdagangan. Peninjauan itu dilakukan agar transaksi berjalan keluar dari zona defisit.

Target pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian tengah meninjau 900 komoditas yang merupakan barang konsumsi seluruhnya.

Tinjauan tersebut dilakukan untuk mencari peluang produk yang tarif pajaknya penghasilan (PPh) impornya masih bisa ditingkatkan, dan mencari subtitusi di dalam negeri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Langkah pemerintah dalam menghemat devisa pun diragukan akan berhasil. Bahkan, kebijakan penyesuaian tarif PPh impor merupakan strategi yang difensif.

Bagaimana kelanjutanya, simak ulasannya di sini:

Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menilai strategi pemerintah dalam membenahi defisit transaksi berjalan terlalu defensif atau bertahan. Hal itu juga dianggap sulit bagi pemerintah memperbaiki defisit transaksi berjalan.

"Kelihatannya sejauh yang bisa saya nilai, strategi pemerintah cenderung defensif, nggak akan menang kita kalau defensif terus," kata Faisal dalam acara Kongkow Bisnis Pas FM, Jakarta, Rabu (29/8/2018).

Menurut Faisal, seharusnya pemerintah bisa menerapkan strategi yang ofensif atau menyerang dengan memaksimalkan kapasitas produksi industri dalam negeri dan memperluas pasar ekspor nasional.

"Kalau produk kita susah ke Eropa, kita buka ke Afrika, dan Asia Selatan yang pasarnya besar," jelas dia.

Pasar non tradisional ini, kata Faisal memang ada kelemahannya, namun hal itu bisa diantisipasi dengan aksi barter produk.

"Mungkin mereka tidak punya uang, tapi punya produknya kita ambil, dan kita menugaskan Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dan itu dijual ke pasar lain, itu yang ofensif," ujar dia.

Lebih lanjut Faisal mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa menegur kembali para duta besar (dubes) Indonesia yang bisa menjadi ujung tombak produk tanah air agar bisa masuk ke banyak negara.

Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi Gabungan Pengusaha (GP Farmasi) memastikan tidak terdampak besar dari aksi pemerintah yang meninjau kembali sekitar 900 komoditas impor.

Ketua GP Farmasi Vincent Harijanto mengatakan 900 komoditas impor ini merupakan barang konsumsi yang tidak dilakukan di sektor farmasi.

"Kita cari, barang konsumsi obat tidak ada, karena yang kita impor bahan baku obatnya," kata Vincent saat acara Kongkow Bisnis Pas FM, Jakarta, Rabu (29/8/2019).

Vincent mengaku, dari total produksi obat di tanah air, sekitar 80-90% merupakan produk dalam negeri, hanya sekitar 10% yang merupakan hasil impor.

Obat jadi yang diimpor, kata Vincent pun memang diperbolehkan oleh pemerintah lantaran spesifikasinya yang belum bisa diproduksi dalam negeri. Contohnya adalah obat anti kanker dan anti virus.

Dia menjelaskan, evaluasi 900 komoditas impor ini juga tidak akan menurunkan kinerja ekspor nasional. Vincent bilang, bahan baku obat tanah air lebih banyak didapat dari India.

Sehingga dari sektor farmasi tidak akan memberikan dampak besar terhadap defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang sekitar 3% terhadap PDB.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) khawatir dengan langkah pemerintah yang mengevaluasi 900 komoditas impordemi menyelamatkan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

Wakil Ketua Gapmmi Rachmat Hidayat mengatakan kekhawatiran tersebut muncul setelah pemerintah menyebut bahwa 900 komoditas tersebut adalah barang konsumsi.

"Kami deg-degan dan monitor terus barang apa yang akan diperketat. Kami harap-harap cemas juga, karena sekarang nggak gampang makanan olahan dapat bahan baku impor. Perizinannya tidak ada satupun yang tidak melalui perizinan," kata Rachmat dalam acara Kongkow Bisnis Pas FM, Jakarta, Rabu (29/8/2018).

Rachmat mengungkapkan produk makanan dan minuman sangat bergantung pada garam dan gula yang notabene produk konsumsi. Produk itu diimpor karena produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan industri.

Selain itu, impor barang konsumsi pun dilakukan karena di dalam negeri tidak bisa produksi, salah satunya adalah tepung terigu, di mana gandum sulit tumbuh di Indonesia.

"Kalau diwacanakan mau disetop, akan terjadi kelangkaan bahan baku. Itu yang kami khawatirkan. Mungkin pemerintah akan kendalikan impor barang jadi, tapi tidak bisa disetop total," tambah dia.

Meski demikian, Rachmat mengungkapkan jika hasil evaluasi 900 komoditas konsumsi terbit dan ada substitusi impor, maka para pelaku usaha di sektor makanan dan minuman akan mengutamakannya dalam memenuhi bahan baku produksi.

Hide Ads