Medsos PNS Dikekang, Ada Gejala Neo Orba?

Medsos PNS Dikekang, Ada Gejala Neo Orba?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Rabu, 16 Okt 2019 08:22 WIB
Medsos PNS Dikekang, Ada Gejala Neo Orba?
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta - Badan Kepegawaian Negara (BKN) kembali mengingatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) tentang regulasi yang mengatur sikap ASN dalam menyampaikan pendapatnya di media sosial. Regulasi tersebut dibuat dalam Surat Edaran BKN kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) tentang Pencegahan Potensi Gangguan Ketertiban dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi PNS yang terbit Mei 2018 lalu.

Sejalan dengan edaran tersebut, BKN juga membuka layanan pengaduan ASN via media sosial BKN. Lalu, tercatat 990 laporan ketidaknetralan ASN yang disampaikan ke Komisi Aparatur Sipi Negara (KASN) untuk ditindaklanjuti bersama dengan PPK masing-masing instansi pusat dan daerah.

Mulai dari pengamat media sosial, politik, dan kebijakan publik pun angkat bicara soal kebijakan ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian, kebebasan ASN juga dipertanyakan. Bagaimana tanggapan BKN atas pro kontra tersebut?
Simak berita lengkapnya di sini.

Lanjut ke halaman berikutnya >>>
Pengamat media sosial Ismail Fahmi mengatakan, pemerintah yang mengeluarkan kebijakan tersebut harus memiliki ukuran dalam menetapkan suatu pendapat sebagai ujaran kebencian atau hanya kritik.

"Yang mungkin akan jadi masalah nanti ukuran kritiknya atau ketidaknetralan. Misalnya orang mengkritik kemudian dibilang tidak netral kan tidak bisa. Saya mengkritik pemerintah itu kan bukan karena saya tidak netral, tapi saya cinta. Kalau saya nggak cinta negeri ini, saya biarkan negeri ini mau jatuh, mau hancur, saya biarkan saja," kata Ismail kepada detikcom, Selasa (15/10/2019).

Menurut Ismail, jika pemahaman ujaran kebencian itu diperluas juga kepada kritik, maka pemerintah sudah berlebihan.

"Kalau itu kemudian interpretasinya diperluas bahkan menyampaikan kritik, atau ketidaksetujuan dilarang, itu sudah berlebihan. Dan yang rugi nanti bangsa itu sendiri. Ketika orang menyampaikan kritik, yang di dalam kepala orang itu kan beda-beda. Terhadap suatu program itu orang bisa sepakat, bisa tidak. Orang boleh menyampaikan kritiknya, dan kritik itu kan membangun. Kalau orang nggak boleh mengkritik itu akan ketakutan dan akan merugikan semuanya," terang Ismail.

Pengamat kebijakan publik Eko Sakapurnama menilai, menjadi ASN memang punya kewajiban menjaga sikapnya dalam menyampaikan kritik. Pasalnya, ASN mengemban tugas sebagai pegawai negara.

"Bukan saya ingin menyalahkan bahwa menjadi ASN itu diatur dan sebagainya, tapi ya normatif saja sih. Lalu, ASN itu kan pegawai negeri sipil, pegawai negara. Jadi ada yang harus dijaga oleh ASN seluruh Indonesia. Jadi memang sekarang jadi ASN harus sadar diri," terang Eko ketika dihubungi detikcom.

Menurut Eko, di era sosial media ini memang peraturan terhadap ASN harus diperketat. Pasalnya, ketika ASN tersebut menyampaikan kritiknya, itu memberikan gambaran atas dirinya dalam menanggapi kebijakan pemerintah dan publik bisa mengetahuinya.

"Saya melihat ada kebiasaan yang berubah dan treatment untuk ASN memang kelihatannya lebih strict, lebih ini dan itu. Karena sudah era sosial media, ia menyampaikan ketidaksetujuannya bukan lagi di warung kopi, tapi di sosial media. Tapi kita seringkali nggak aware bahwa sosial media sudah menjadi ranah publik yang memperlihatkan sikap happy si ASN sendiri terhadap kebijakan pemerintah," papar dia.

Lanjut ke halaman berikutnya >>>

Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Ahmad Khoirul Umam mengatakan pemerintah harus punya aturan teknis dalam menangani sebuah pendapat yang disampaikan ASN. Jika kritik yang disampaikan masih dalam konteks demokrasi, maka pemerintah tak bisa menindaknya dengan mengatasnamakan reformasi birokrasi.

"Aturan teknis yang menjadi koridor kebebasan politik PNS harus jelas dan tetap menjamin penguatan nilai-nilai demokrasi, bukan justru memberangusnya secara membabi buta atas nama reformasi birokasi," kata Umam kepada detikcom, Selasa (15/10/2019).

Selain itu, ia menuturkan, pemerintah harus memberikan kebijakan yang berbeda bagi PNS struktural dan PNS fungsional (dosen, peneliti, dokter, dan sebagainya).

"Perlu dibedakan antara PNS struktural di lembaga-lembaga negara, dan fungsional layaknya dosen, peneliti, dan widyaiswara. Aturan larangan PNS untuk berkomentar bahkan memberikan likes terhadap materi politik lebih proporsional diberikan kepada PNS struktural karena fungsi mereka sebagai Pelaksana keputusan-keputusan politik," terang Umam.

Sehingga, menurut dia pemerintah tak bisa melarang kebebasan berpendapat terhadap PNS fungsional.

Dalam surat edaran BKN tersebut juga tertulis soal ASN yang menanggapi postingan ujaran kebencian pun bisa ditindak. Misalnya, ASN memberikan likes atau love, bahkan mengomentari sebuah postingan nyinyir sebagai dukungan, itu pun bisa juga membuat PNS ditindak. Menurut Umam, aturan itu adalah ancaman yang berlebihan.

"Jika konteksnya begitu, maka ancaman tersebut cenderung berlebihan. Pemerintah sebaiknya tidak paranoid terhadap kritisisme kampus, peneliti dan dosen," tegas Umam.

Lanjut ke halaman berikutnya >>>

Ahmad Khoirul Umam menilai gejala neo-orba (orde baru) mulai muncul, terutama dalam aspek penegakan hukum. Pasalnya, demokrasi dirasa terbatas, terutama bagi seorang ASN.

"Memang gejala neo-orba ini mulai bermunculan, dalam aspek penegakan hukum, pemberantasan korupsi, konsep stabilitas keamanan yang dihadirkan. Karena itu, penting bagi kita untuk mengingatkan pemerintah agar tetap konsisten pada cita-cita demokrasi, dan tidak terbajak oleh kekuatan oligarki," kata Umam kepada detikcom, Selasa (15/10/2019).

Ia mengatakan, dalam mengukur suatu pendapat termasuk dalam ujaran kebencian atau hanya kritik harus diiringi dengan pemahaman aturan teknis dan pendidikan politik. Selain itu, ASN sendiri juga harus menyikapi media sosial dengan baik sebelum menyampaikan kritiknya.

"Diperlukan kedewasaan bermedia sosial, dan penegakan aturan teknis yang proporsional. Instrumen negara yang punya otoritas pengendalian hoax, fake news, dan hate speech perlu difungsikan dengan baik, tanpa memberangus nilai-nilai kebebasan & demokrasi itu sendiri. Di sinilah perlu pendidikan politik," papar dia.

Selain itu, menurut Umam pemerintah tak perlu mendikte ASN dalam menentukan sikapnya dalam menyampaikan pendapat.

"Masyarakat sebaiknya tidak dibiasakan didikte, kedewasaan politik mereka adalah jaminan kualitas demokrasi Indonesia ke depan," imbuhnya.

Hide Ads