Pengamat media sosial Ismail Fahmi mengatakan, pemerintah yang mengeluarkan kebijakan tersebut harus memiliki ukuran dalam menetapkan suatu pendapat sebagai ujaran kebencian atau hanya kritik.
"Yang mungkin akan jadi masalah nanti ukuran kritiknya atau ketidaknetralan. Misalnya orang mengkritik kemudian dibilang tidak netral kan tidak bisa. Saya mengkritik pemerintah itu kan bukan karena saya tidak netral, tapi saya cinta. Kalau saya nggak cinta negeri ini, saya biarkan negeri ini mau jatuh, mau hancur, saya biarkan saja," kata Ismail kepada detikcom, Selasa (15/10/2019).
Menurut Ismail, jika pemahaman ujaran kebencian itu diperluas juga kepada kritik, maka pemerintah sudah berlebihan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat kebijakan publik Eko Sakapurnama menilai, menjadi ASN memang punya kewajiban menjaga sikapnya dalam menyampaikan kritik. Pasalnya, ASN mengemban tugas sebagai pegawai negara.
"Bukan saya ingin menyalahkan bahwa menjadi ASN itu diatur dan sebagainya, tapi ya normatif saja sih. Lalu, ASN itu kan pegawai negeri sipil, pegawai negara. Jadi ada yang harus dijaga oleh ASN seluruh Indonesia. Jadi memang sekarang jadi ASN harus sadar diri," terang Eko ketika dihubungi detikcom.
Menurut Eko, di era sosial media ini memang peraturan terhadap ASN harus diperketat. Pasalnya, ketika ASN tersebut menyampaikan kritiknya, itu memberikan gambaran atas dirinya dalam menanggapi kebijakan pemerintah dan publik bisa mengetahuinya.
"Saya melihat ada kebiasaan yang berubah dan treatment untuk ASN memang kelihatannya lebih strict, lebih ini dan itu. Karena sudah era sosial media, ia menyampaikan ketidaksetujuannya bukan lagi di warung kopi, tapi di sosial media. Tapi kita seringkali nggak aware bahwa sosial media sudah menjadi ranah publik yang memperlihatkan sikap happy si ASN sendiri terhadap kebijakan pemerintah," papar dia.
Lanjut ke halaman berikutnya >>>