Jakarta -
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 sebesar 5,02%, sedangkan pertumbuhan ekonomi di 2018 sebesar 5,17%.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengungkapkan penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mentok di kisaran 5%. Dia menjelaskan itu disebabkan nilai ekspor yang menurun dibandingkan 2018.
"Secara nilai ekspor kita alami kontraksi minus 4,86% karena aspek cyclical, bukan karena kemudian ketiadaan usaha. Usahanya sudah maksimal," kata Arif dalam Press Briefing di Wisma Negara, Jakarta Pusat (10/2/2020).
Dia menjelaskan, dari sisi volume, ekspor memang mengalami peningkatan, yaitu 9,82%, khususnya ekspor non migas seperti sawit dan batu bara. Tapi dari sisi nilai ada penurunan akibat penurunan harga komoditas.
"Memang secara nilai mengalami kontraksi karena harga komoditi yang kontraksinya cukup dalam, batu baru turun 27% di 2019 dibandingkan 2018, CPO turun 6% year on year," jelasnya.
Dia juga menjelaskan adanya tekanan terhadap harga minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP) yang rata-rata turun sekitar 8%. Pemerintah memproyeksikan ICP di angka US$ 70 per barel pada 2019, sementara realisasinya sekitar US$ 62-63 per barel.
Dia menjelaskan bahwa kondisi tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
"Jadi inilah yang mengakibatkan ada tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi kita. Jadi walau secara volume ekspor meningkat non migas, tapi secara nilai ada kontraksi terhadap harga komoditas, terutama batu bara dan CPO, maka berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan," tambahnya.
Bagaimana dengan ekonomi tahun ini? Cek halaman selanjutnya.
Pemerintah masih yakin ekonomi Indonesia bakal tumbuh 5,3% pada tahun ini, sesuai yang ditargetkan. Ada sejumlah faktor yang membuat pemerintah optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi 2020 bakal lebih baik.
"2020 kita punya asumsi pertumbuhan ekonomi di APBN 2020 itu 5,3%. Ada beberapa faktor eksternal yang akan menopang sehingga kita bisa tumbuh baik di 2020," kata Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta dalam Press Briefing di Wisma Negara, Jakarta Pusat (10/2/2020).
Faktor pertama adalah rezim suku bunga rendah yang diterapkan banyak negara maju, sementara suku bunga Indonesia masih di level 5%. Menurutnya itu dapat membuat Indonesia lebih menarik sehingga memungkinkan menerima lebih banyak aliran modal.
"Belum lagi kemudian dari sisi obligasi juga, kita yield 10 tahun sekarang rata-rata 7%. Jadi ini adalah faktor eksternal yang sebenarnya kondisinya cukup baik untuk mendorong ekonomi Indonesia sepanjang kita dapat memanfaatkannya," jelasnya.
Faktor kedua adalah membaiknya harga komoditas seperti harga crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit yang merupakan salah satu komoditas andalan ekspor.
Dari internal ada sejumlah faktor pendukung untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu stabilitas politik pasca Pileg dan Pilpres.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah menandatangani Perpres RPJM 2020-2024. Menurutnya itu akan membuat kebijakan pemerintah lebih terarah sehingga positif untuk pertumbuhan ekonomi.
Kemudian nilai tukar rupiah juga diyakini akan lebih baik tahun ini. Lalu adanya program-program peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang akan berpengaruh terhadap perekonomian nasional.
"Faktor pendorong lain yang kita harapkan juga timbul adalah omnibus law yang sekarang lagi proses, nantinya untuk dibahas bersama-sama dengan DPR, baik omnibus law cipta lapangan kerja maupun perpajakan," tambahnya.
Strategi pemerintah genjot ekonomi Papua yang minus di halaman selanjutnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi di Maluku dan Papua selama 2019 terkontraksi -7,4%. Padahal hampir seluruh wilayah di Indonesia perekonomiannya tumbuh positif.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta menjelaskan upaya yang dilakukan adalah mengoptimalkan sumber daya perikanan dan kayu.
"Di Papua selain mempercepat hilirisasi juga pengembangan dari potensi sumber daya perikanan dan jenis kayu hasil hutan kayu, serta non kayu. Ini juga menjadi bagian yang perlu kita maksimalkan mengingat potensinya juga besar," kata dia dalam Press Briefing di Wisma Negara, Jakarta Pusat (10/2/2020).
Dia menjelaskan, Maluku dan Papua mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi karena sektor pertambangan dan penggalian yang minus 43,21%. Itu lantaran jatuhnya harga komoditas tersebut.
Ke depannya pemerintah juga mendorong hilirisasi di wilayah timur tersebut. Tujuannya agar Maluku dan Papua tidak lagi bergantung pada komoditas yang harganya fluktuatif atau mudah bergejolak.
"Agar kemudian ketergantungan kita terhadap fluktuasi harga komoditi tidak terjadi lagi. Jadi ekonomi kita memang basisnya adalah ekonomi yang bernilai tambah tinggi," terangnya.
Tak sebatas Papua, wilayah Indonesia timur lainnya pun akan didorong untuk tidak lagi bergantung pada komoditas yang harganya penuh ketidakpastian.
"Untuk itu kemudian strateginya misalnya adalah pengembangan-pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK). Karena pengembangan KEK itu semuanya diarahkan untuk pengembangan nilai tambah dari industri, apakah itu di Sei Mangkei, atau kawasan ekonomi khusus yang dikembangkan di Kalimantan Timur, itu juga diarahkan untuk pengembangan petrokimia," tambahnya.
Simak Video "Ekonomi RI Tumbuh 5,11%, Jokowi: Didukung Investasi yang Masuk ke RI"
[Gambas:Video 20detik]