Anggota Komisi V DPR RI Rifqinizamy Karsayuda dari fraksi PDIP menilai Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih kurang tegas dalam menarik penerimaan negara bukan pajak (PNBP) khususnya terhadap pelaku usaha swasta.
"PNBP dalam lingkup transportasi bisa digunakan secara optimal untuk melayani warga negara kita. Kemenhub nampaknya cukup kewalahan untuk menarik PNBP," kata Rifqi dalam rapat kerja antara Komisi V dengan Kemenhub, Kementerian PUPR, dan Kemendes PDTT, di Jakarta, Rabu (15/7/2020).
Ia mencontohkan, dalam penerbitan Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) kepada para Agen Pemegang Merek (APM) atas 23 merek di tahun 2017 saja Kemenhub hanya bisa menarik sekitar Rp 147 miliar dari total yang seharusnya ialah Rp 700 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jumlah unitnya tidak kecil, hampir 6 juta unit kendaraan bermotor. Nilainya (PNBP) hampir Rp 700 miliar. Di 2018-2019 dan seterusnya kita belum tahu. Dan dari angka itu baru 21% yang bisa ditarik," kata Rifqi.
Begitu juga dengan penarikan PNBP bagi kapal-kapal tongkang yang melakukan alih muat ke kapal mother vessel di sebuah pelabuhan atau area Ship to Ship Transfer (STS).
"Di laut Kemenhub telah memberikan konsesi pada STS terminal yang konsesinya tidak tanggung-tanggung lebih dari 45 tahun. Di Kalimantan Selatan itu ada 1 STS yang dilalui oleh ribuan tongkang untuk disalin ke vessel. Kalau kita hitung nilai transaksi dari tongkang-tongkang ke vessel itu hampir Rp 11 triliun. Sementara PNBP yang diterima negara hanya Rp 200 juta. Konsesinya 45 tahun lebih," ungkap dia.
Rifqi menilai Kemenhub hanya memberikan keleluasaan pada swasta yang seharusnya bisa dilakukan oleh negara.
"Ini negara memberikan kesempatan pada swasta untuk mengelola aset di tengah laut yang sebetulnya menurut saya negara sendiri bisa mengelola. Dan proses serupa juga sedang dilakukan proses perizinannya di beberapa wilayah Indonesia, di Kaltim, di Sumsel, dan lain-lain. Kendati ini belum diperiksa BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," imbuh dia.