Tidak Lockdown, Ekonomi Jepang Tetap Resesi

Tidak Lockdown, Ekonomi Jepang Tetap Resesi

Anisa Indraini - detikFinance
Senin, 17 Agu 2020 12:00 WIB
Wisata hiburan malam di Jepang terapkan sejumlah protokol kesehatan yang ketat bagi para pengunjung guna mencegah COVID-19. Apa saja aturannya?
Foto: Getty Images/Takashi Aoyama
Jakarta -

Resesi ekonomi Jepang kian dalam. Ekonominya pada kuartal II-2020 kembali mengalami kontraksi -7,8% secara kuartalan. Sementara secara tahunan atau year on year (yoy), ekonomi kuartal II -27,8%. Hal itu terjadi bukan lain akibat pandemi virus Corona yang mengganggu roda perekonomian.

Penanganan Corona di Jepang sempat dipuji oleh pemerintah Indonesia karena tidak melakukan lockdown total dalam menangani pandemi. Namun aktivitas ekonomi tetap menurun secara signifikan karena pekerja dan konsumen memilih untuk tetap tinggal di rumah.

"Kami mengalami pukulan besar pada bulan April dan Mei, tetapi ekonomi mencapai titik terendah pada bulan Mei, dan pada bulan Juni kami benar-benar mengalami rebound yang cukup besar," kata Kepala Ekonom Jepang di Bank of America Merrill Lynch, Izumi Devalier dikutip New York Times, Senin (17/8/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meskipun masuk jurang resesi, pada akhir kuartal II-2020 efek penuh dari paket stimulus ekonomi sekitar 40% dari produk domestik bruto termasuk pemberian tunai dan pinjaman tanpa bunga sudah mulai terasa. Negeri Matahari Terbit itu diprediksi akan keluar dari resesi lebih cepat dari yang dipikirkan banyak orang.

Peningkatan tersebut sebagian besar didorong oleh berakhirnya keadaan darurat nasional negara itu pada akhir Mei, ketika pekerja mulai kembali ke kantor dan konsumen kembali ke toko, didukung oleh subsidi pemerintah.

ADVERTISEMENT

"Kami mengalami rebound pembukaan kembali pada bulan Juni karena orang-orang mulai keluar dan berbelanja lagi. Pemberian uang tunai pada dasarnya diterima dari akhir Mei hingga Juni, jadi ketika ekonomi dibuka kembali, orang-orang memiliki uang tunai untuk dihabiskan," ucap Devalier.

Itu menjadi peningkatan tajam dalam penjualan ritel di bulan Juni. Produksi dan ekspor industri juga meningkat dan tingkat pengangguran negara itu benar-benar turun sepersepuluh poin menjadi 2,8% selama bulan yang sama.

Namun semua itu tergantung dari bagaimana negara itu mengendalikan virus Corona. Sejauh ini, negara telah melaporkan lebih dari 1.100 kematian, jauh lebih rendah daripada negara-negara tetangganya.

Pada bulan Juni, saat jumlah virus rendah pemerintah pusat mulai kampanye untuk mendorong perjalanan domestik dengan harapan menghidupkan kembali pariwisata lokal dan ekonomi jasa yang hampir mati. Tetapi kasus baru meningkat lagi pada bulan Juli.

Gubernur Okinawa dan prefektur Aichi di Jepang telah menekan pemerintah pusat untuk bertindak. Pemerintah Tokyo telah meminta restoran dan bar tutup pada pukul 10 malam setelah dilaporkan ada lebih dari 200 kasus baru sehari selama sebulan terakhir.

Hal itu membuat konsumen gelisah dan menghentikan peningkatan belanja yang terlihat di bulan Juni. Sehingga rebound di kuartal III-2020 berisiko menjadi cukup lemah.

"Korporasi dan konsumen memiliki kemampuan untuk menahan guncangan jangka pendek. Tetapi semakin lama kita berada di bawah normal, semakin lama kita berada jauh di bawah normal, akan ada efek urutan kedua yang akan mengarah pada keseimbangan pemulihan yang lebih lamban," tegasnya.

Ekonom di NLI Research Institute, Taro Saito mengatakan ketidakpastian seputar virus sulit untuk memprediksi masa depan. Dia menyebut butuh waktu setidaknya tiga tahun bagi ekonomi Jepang untuk kembali ke tingkat sebelum pandemi.

"Kami mungkin telah keluar dari periode terburuk. Tetapi kami masih jauh dari apa yang disebut normal," tandasnya.



Simak Video "Pesan Jokowi ke Pemerintah yang Baru: Hati-hati Mengelola Negara"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads