Jakarta -
Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Department of Justice (DOJ) atau Kementerian Kehakiman telah menuduh Google memonopoli pasar mesin pencarian internet (search engine) dan juga melanggar aturan keamanan dan privasi atau antitrust.
Kekuatan Google sebagai raksasa search engine dan periklanan diyakini sebagai monopoli ilegal. Namun, Google juga sudah menyiapkan berbagai pembelaan untuk menepis tuduhan dari DOJ.
Dilansir dari CNN, Jumat (23/10/2020), Google menegaskan perusahaan selalu memberikan layanan gratis pada penggunanya. Selain itu, Google mengaku para penggunanya tak merasa dirugikan. Hal itu diharapkan dapat mematahkan tuduhan DOJ.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, klaim layanan Google sepenuhnya menguntungkan pelanggan akan terus menjadi perdebatan antara pemerintah dengan perusahaan di pengadilan.
UU antitrust di AS sendiri dibuat oleh pengadilan, bukan otoritas pada umumnya. Maka dari itu, tuduhan yang dilayangkan pada Google harus diajukan melalui gugatan, tak bisa langsung menghukum. Artinya, posisi hakim federal sangat kuat dalam kasus ini.
Jika menafsirkan undang-undang antimonopoli negara, hakim dapat menyetujui atau menolak rencana merger yang dapat mengguncang industri, memutuskan apakah perusahaan terbukti melakukan monopoli persaingan, dan memerintahkan perusahaan untuk bubar. Hakim federal juga bisa saja menutup mata pada tuduhan anti-persaingan itu.
Namun, selama pengguna tak dirugikan, dan pasar beroperasi secara efisien, seharusnya pemerintah tidak boleh terlalu terlibat.
Vice President dan Penasihat Umum dari NetChoice, organisasi advokasi bidang teknologi Carl Szabo mengatakan, DOJ harus membuktikan 3 elemen kunci jika menuduh Google bersalah dalam monopoli.
"Yang pertama adalah kekuatan pasar. Kedua adalah penyalahgunaan kekuatan pasar. Dan yang ketiga adalah kerugian konsumen," Szabo.
Sayangnya, ia menilai DOJ tak dapat membuktikan elemen ketiga, di mana hingga saat ini pengguna Google memang tak dirugikan.
Ada 2 gugatan utama DOJ terhadap Google. Pertama, Google sebagai search engine utama atau default dalam sistem operasi Android di seluruh dunia. Kedua, kontrak Google dengan Apple, Samsung, dan produsen perangkat lain yang menjadikan pencarian Google sebagai default di ponsel mereka.
Kedua praktik tersebut anti-persaingan, karena mereka mencegah penyedia search engine lain untuk mendapatkan porsi di pasar. Menurut Wakil Jaksa Agung Jeffrey Rosen, diduga juga mencegah konsumen memiliki pilihan.
Menepis itu, Google menilai gugatan terhadap perusahaan tak spesifik. Apalagi soal kerugian konsumen. Google menegaskan perusahaan telah memberikan apa yang diinginkan konsumen.
"Poin yang lebih besar adalah bahwa orang tidak menggunakan Google karena mereka harus, mereka menggunakannya karena mereka memilih untuk menggunakannya. Kami tetap benar-benar fokus untuk memberikan layanan gratis yang membantu orang Amerika setiap hari. Karena itulah yang paling penting," tulis pernyataan resmi Google.
Pernyataan itu diperkuat dengan preferensi konsumen dan rendahnya harga layanan yang diberikan.
"Kerugian konsumen adalah salah satu unsur kejahatan. Jika DOJ memiliki bukti kerugian konsumen, itu seharusnya ada dalam pengaduan. Karena tidak ada di sana, saya harus berasumsi bahwa itu tidak ada. Dan siapa pun yang pernah melihat episode 'Law and Order' tahu jika Anda tidak bisa membuktikan semua elemen kejahatan, maka tidak ada kejahatan yang dilakukan," tegas Szabo.
Namun, menurut hakim murahnya layanan Google justru akan membutakan konsumen, dan justru dapat menimbulkan kerugian, pasalnya konsumen harus memberikan data pribadi untuk memperoleh layanan Google. Penilaian itu dinilai sebagai obsesi hakim yang kabur dan ketinggalan zaman.